Faishal Digdoyo lahir dan dibesarkan di Bengkulu dan sampai sekarang masih heran mengapa dirinya tidak punah bersama dinosaurus. Saat tidak sedang menjalani pendidikan arsitekturnya di Malang, dia sibuk menjadi babysitter pribadi bagi dua keponakan-tengil-empat-bulan yang tengah serius mendalami hobi nonton TV. Saat bagian ini ditulis, dia baru saja selesai membuat 120 ml susu untuk mereka. Haunted House adalah naskah solo keduanya yang dipublikasikan, setelah House of Lavender. Bisa—dan akan sangat senang—dihubungi via Instagram: @faishaldeprasojo, Facebook: Faishal Digdoyo, e-mail: Faishal_digdoyo@yahoo. com

Dari sedikit naskah yang pernah saya kerjakan, Haunted House sejauh ini merupakan yang tercepat selesai dan meninggalkan banyak kesan. Dalam keadaan yang saya sendiri tidak yakin bisa bertahan di dalamnya, di luar ekspektasi, naskah ini membawa saya kepada banyak hal baru: jam menulis yang lebih teratur, pengembangan naskah yang lebih terkonsep, dan bakat ‘bertebal muka untuk duduk di sudut kafe selama berjam-jam dengan hanya segelas es kopi yang dihabiskan ekstra-pelan’ yang ternyata saya miliki.

Saya bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk segala hal yang telah disebutkan di lembar ini dan yang tidak. Terima kasih kepada Kak Nurul Amanah yang memercayakan dan menawarkan proyek ini di hari terburuk—she made my day that day; kepada Kak Anisa Nurul Aida; dan juga tim redaksi DAR! Mizan terkait yang lagi-lagi berkenan mewujudkan mimpi saya. Ada banyak orang yang membantu secara tidak langsung dalam menyelesaikan naskah ini.

Untuk itu saya berterima kasih kepada Achmad Fahmi—yang selalu mendengar tanpa tendensi; Kang Habib Safllah; Kak Ziggy yang dengan rendah hati membimbing diskusi (re: gibah) di depan T*gamas ‘?’v ; Kak Stebby, Kak Ucis, Kak Nita, dan Kak Siieyo yang membuat Probolinggo tidak terasa asing; panitia rusuh kamar 31—Romi, Fansha, Yoga, Yardha, Ifan; rekan-rekan seperjuangan TA’17 dan Chansa Billa yang merelakan uang dan waktunya untuk House of Lavender; para pembaca House of Lavender dan yang berbaik hati mengirimi saya surel—it means a lot to me. Buku ini juga saya persembahkan untuk semua orang yang memilih tidak bertanya apa yang saya lakukan antara tengah malam sampai pukul tiga pagi. Untuk semua orang yang tidak melihat apa pentingnya saya ‘menghabiskan waktu’ untuk menulis.

Usia remaja adalah usia saat kita berkembang secara imajinatif, usia saat kita banyak bereksplorasi, juga usia saat kita sedang menggebu-gebu dalam melakukan sesuatu yang kita sukai. Seri Fantasteen adalah seri yang dibentuk dengan mengemban misi pengembangan imajinasi para remaja. Dalam seri ini, akan disajikan cerita-cerita fantasi yang luar biasa dahsyat, saat imajinasi tidak terbatas adalah senjata utamanya dan keseriusan menulis adalah amunisinya. Inilah masa-masa para remaja menunjukkan dirinya, masa bagi para remaja untuk muncul ke permukaan sebagai orang yang hebat. Tunjukkan karya kalian dengan bangga! Jangan biarkan masa remajamu berlalu tanpa prestasi yang bisa dibanggakan di kemudian hari!