When you say hello, are you ready to say goodbye?
Ditta Amelia Saraswati lahir di Bandung pada tanggal 20 Juli. Bercita-cita memelihara lumba-lumba. Menggambar ilustrasi sebagai terapi antistres. Sangat menyukai stasiun kereta dan komik.
Ditta juga menulis cerita untuk komik berjudul Blue Serenade di platform komik digital CIAYO.
Kamu bisa membaca tulisannya yang lain di helloditta.com atau akun media sosialnya:
Twitter: dittameliaa
Instagram: helloditta
Di Balik Hello Goodbye …
7 tahun lalu, saat saya mulai jadi pelajar SMA, saya lagi terobsesi untuk jadi penulis fiksi. Tiap hari membaca buku fiksi, menulis sesuatu di tumblr, menabung tulisan satu persatu di microsoft word.
Semua berawal dari sebuah draft yang diberi judul 'Hello Goodbye', ini pernah diniatkan untuk jadi sebuah hadiah ulang tahun yang tidak pernah dikirim. Dan berkumpul dalam sebuah folder dengan draft lain yang tidak pernah diselesaikan.
Tahun demi tahun, draft dalam folder itu semakin bertambah, sampai akhirnya di usia saya yang ke 21, saya memutuskan bahwa semua tulisan yang pernah saya buat akan saya tunjukan pada mereka yang benar-benar akan menghargai ini.
Lalu beginilah proses saya memulai kembali pengerjaan buku saya yang berjudul 'Hello Goodbye'..
"Lo kenapa engga pernah posting tulisan lo di mana-mana sih?" siang itu, di bilangan Jakarta Selatan, seorang teman bertanya. Kami sedang membicarakan tentang fiksi. Dia juga menulis fiksi yang tentu saja genrenya berbeda dengan saya, sci-fi. Ah, bukan dia inti cerita ini.
Semua isi dari buku ini memang hampir tidak pernah saya posting di internet, semuanya mengendap di folder laptop, hanya beberapa orang saja yang sempat saya beri draft pertama buku ini. Draft yang sama sekali belum saya ubah sejak 7 tahun lalu.
Saya tidak cukup percaya diri untuk menunjukan tulisan saya ke orang-orang, kepada publik. Saya cukup puas saat beberapa teman saya membacanya dan bilang bahwa cerita yang saya buat itu bagus, sesederhana itu.
Sampai saya tiba di usia 21, belum ada hal yang bisa saya banggakan, belum ada hal yang saya capai, dan saya rasa ini mungkin waktunya 'Hello Goodbye' lahir. Memiliki wujud fisik, bisa dinikmati banyak orang. Dan mungkin menginspirasi, mungkin.
Dan mulailah sejak November 2016, saya membuka kembali draft cerpen-cerpen saya. Mengumpulkannya, memilah, dan mulai memperbaikinya.
Tulisan-tulisan itu hanya ditumpuk dalam satu wadah, belum memiliki nama, belum memiliki tema.
Tadinya judul 'Hello Goodbye' tidak akan saya gunakan lagi, tapi saya rasa judul ini justru yang paling menggambarkan isi buku itu nantinya. Berbagai pertemuan dan perpisahan, dan bagaimana saya melihat itu dari berbagai sudut kacamata.
Judul ini saya pilih selain karena saya suka lagu the beatles dengan judul yang sama, juga karena kata hello goodbye sendiri pernah saya pakai untuk domain blog saya semasa sekolah. Nostalgik.
Sebelum saya sortir cerpen yang ada di dalamnya, ada sekitar 40 cerita yang bertebaran di sana, belum termasuk prosa-prosa yang tiba-tiba saya tulis. Dan saya rasa itu terlalu banyak. Lalu saya coba memisahkan mana cerita yang layak saya sajikan, mana yang sebaiknya saya simpan dan saya perbaiki untuk lain waktu.
Untuk mempermudah, saya akhirnya membuat 7 tema yang ada di buku ini;
Ceritanya sendiri jadi hanya berjumlah 20, ditambah beberapa prosa sebagai pemanis dan penambah jumlah halaman. Angka itu memiliki arti tersendiri bagi saya, tanggal 20 bulan 7, iya, hari lahir. Sudahlah, saya memang menyukai hari lahir. Dan buku ini saat rilis, akan jadi hadiah bagi diri saya sendiri di usia baru. Picisan.
Pemilihan temanya cenderung seperti lagu-lagu dari band indie, sadar tidak? Mengingat proses pembuatan buku ini terjadi sejak 7 tahun lalu di mana saya masih sering hilir mudik ke gigs di Bandung menonton band-band indie dan mendengarkan lagu-lagu mereka. Tapi bab favorit saya justru adalah bab yang tidak terkontaminasi band-band indie kesukaan saya tersebut, Destinasi, bab itu lebih seperti metamorfosa yang terjadi pada diri saya sendiri.
Tadinya saya mau membuat buku ini bertemakan hampir di Bandung semua, hanya saja saya harus pindah ke luar kota saat proses penyelesaian buku ini, sehingga beberapa foto yang tadinya harusnya diambil di Bandung, jadi berpindah ke Tangerang dan Jakarta. Tapi tidak apa, still legit. Beberapa foto yang saya ambil ditemani oleh teman saya, Dion, kami berkeliling Tangerang, lalu ke Jakarta, semuanya saya sortir lagi supaya sesuai dengan cerita dan tema yang ada.
Meskipun sayangnya semua foto harus saya buat hitam putih supaya tidak terlalu mahal saat dijual, tapi untuk beberapa pemesan pertama saya melampirkan foto aslinya, sekedar ucapan terima kasih.
Kepindahan saya ke Tangerang (dan sekarang di Jakarta) membuat beberapa proses menjadi lebih cepat, saya menulis beberapa cerita baru, mendapat foto yang saya butuhkan untuk ilustrasi, sayangnya saya tidak cukup punya waktu untuk menggambar beberapa part di buku ini, padahal seharusnya itu mengambil porsi lebih banyak dibanding foto. Mungkin akan saya perbaiki jika buku lanjutannya ada. Mungkin.
Buku ini saya cetak secara indie, selfpublishing, semuanya juga hampir saya kerjakan sendiri, tapi tentu saja semua ini tidak akan selesai jika tidak dibantu banyak pihak. Pada 19 Juli tahun ini, sehari sebelum saya berulang tahun, saya mengakhiri usia 21 saya dengan merilis buku ini.
Senang sekali saat melihat respon orang-orang, teman dekat, berkata bahwa mereka akan membeli buku ini. Tidak pernah saya sangka bahwa sekumpulan tulisan di kala senggang ini akan benar-benar memiliki wujud, disukai orang, dan mendapat cukup banyak apresiasi dari sekitar.
Terima kasih semuanya!
Untuk inspirasi yang tidak pernah berhenti. Sampai bertemu di kisah selanjutnya.
NUKILAN
Late Night
Melisa berjalan pelan, setengah berjinjit, supaya tidak ada yang terbangun karena suara langkahnya. Dijinjingnya sepatu di tangan kiri dan tangan kanannya memegang kunci pintu rumah.
Kriit ...
Pintu terbuka, Melisa buru-buru menguncinya lagi.
Jarak 2 blok dari rumahnya, ada seseorang sedang menunggu.
*
Randy baru saja akan meminum soda kalengannya, saat Melisa mengetuk-ketuk jendela mobilnya dari luar.
“Heran deh, kenapa lo selalu minta cabut hari Rabu gini sih? Udah dadakan, tengah malem pula.” Randy menyeruput soda yang keluar dari kaleng minuman.
“Gue kayaknya udah bilang berkali-kali. Kalau Rabu, pasti bokap balik.”
“Terus? Kan lo tinggal diem aja di kamar. Tidur, enak.”
“Dan harus mendengar mereka berdua berantem semaleman? Enggak deh!”
Randy memutar bola matanya.
“Mau ke mana sekarang?” tanya Randy sambil menyalakan mesin mobil.
“Ke mana aja.Yang jauh.”
“Lembang mau? Atau Puncak?”
“Gila! Jauh banget!”
“Tadi katanya mau yang jauh!!”
“Ya udah, terserah, deh. Ngikut aja.”
Randy mulai melajukan mobilnya, dia juga sebenarnya belum menentukan tujuan. Randy melihat wajah Melisa yang tertunduk sibuk memainkan hp.
*
Mobil biru itu melaju di jalanan Jakarta. Melisa sedari tadi hanya memainkan seatbelt-nya.
“Napa lo? Tumben diem aja.Biasanya ngacak-ngacak dashboard nyari CD.” tegur Randy sambil tetap fokus menyetir.
“Lagi enggak mood.” Melisa menjawab ketus.
“Eh, Ran, matiin AC dong, gue buka jendelanya, ya.”
Randy mematikan AC, Melisa langsung membuka jendela mobil. Angin berembus di sela-sela rambutnya.
Dia melihat lampu jalanan dengan anteng.
“Ran, kesel gue. Badmood parah.”
“Soal orang tua lo, ya?” tebak Randy.
“Iya.”
Randy tidak melanjutkan pertanyaannya, dan membiarkan Melisa menikmati waktunya. Randy menyalakan radio mobilnya.
Take me out tonight
Where there's music and there's people
And they're young and alive
Suara Morrissey menyanyikan There’s a Light That Never Goes Out memenuhi mobil Randy. Bersama angin malam, tumbuh rasa tenang baru. Melisa meninggikan volume radio.
“Cie, kesukaan lo, ya?”
“Somehow, gue ngerasa kalau lagu The Smiths yang ini persis kondisi gue sekarang.” Melisa berhenti memainkan seatbelt, hanya memandang lurus ke jalanan.
Driving in your car
I never never want to go home
Because I haven't got one
Anymore ...
*
“Mel, laper gak? Mau drive thru?” Randy menunjuk restoran makanan cepat saji dengan logo M yang tidak terlalu jauh.
“Boleh.”
“Satu cheese burger paket ya, Mba. Minumnya Cola. Lo?” Randy menoleh ke Melisa.
“Samain aja.”
“Jadi, dua ya mba.”
“Ran ...”
“Oit?”
“Makan sini aja deh.”
“Lah? Tau gitu ngapain drive thru?”
“Hehe, sorry... lo parkir deh.”
“Ya udah.” Randy segera memarkirkan mobilnya setelah mendapat sekantong pesanannya.
Melisa memasuki restoran, memilih kursi pojokan. Randy segera menyusul. Menyimpan pesanan mereka.
Mereka berdua sibuk mengunyah cheese burger. Suara Sabrina mengisi kekosongan di antara mereka. Randy tidak cukup cakap memulai obrolan. Dan Melisa pun tidak seperti ingin diajak bicara.
Melisa menggenggam cheeseburger yang sisa setengah. Wajahnya menekuk. Ada tetesan air di sekitar pipi Melisa.
“Orang tua gue mau cerai, Ran.”
Randy menyimpan burgernya, mengelus perlahan rambut Melisa.
“Kenapa sih, mereka egois banget, mereka enggak mikir apa gue bakal jadi kaya gimana?” Randy tidak menjawab, hanya terus mencoba menenangkan Melisa.
Melisa menangis sejadinya. Malam menjadi saksi bahwa anak manusia masih memiliki banyak kelemahan.
*
“Mel, pulang yuk?” ajak Randy.
“Ke mana?”
“Rumah lo. Lo butuh istirahat.”
“Tapi gue gak mau ketemu mereka, Ran.”
“Iya, gue tahu, lo sedih, lo kecewa. Tapi enggak gini cara menyelesaikan persoalan.”
Melisa hanya diam.
“Yuk, pulang...” ulang Randy.
Randy melihat jam tangannya, hampir jam 3 pagi, dia sudah kembali mengendarai mobil birunya, mengantar Melisa pulang. Melisa sedang tertidur di sampingnya dengan rambut kusut dan bekas air mata. Dielusnya rambut Melisa, menggenggam tangannya perlahan, lalu kembali memperhatikan jalan. Pijar bintang tertutup awan malam. Randy sesekali mengamati wajah Melisa.
Randy bersenandung pelan, There’s a light that never goes out ....[]
SKU | ND-350 |
ISBN | 978-602-385-584-1 |
Berat | 350 Gram |
Dimensi (P/L/T) | 12 Cm / 18 Cm/ 0 Cm |
Halaman | 168 |
Jenis Cover | Hard Cover |