Empat puluh lima tahun silam, ketika modernitas yang diatasnamakan oleh televisi dan kendaraan bermotor mulai menyebarkan virusnya di Indonesia, perubahan budaya seketika terjadi dalam waktu sangat cepat. Warga desa kebingungan memutuskan apa yang menjadi prioritasnya. Membeli televisi yang hidup sepanjang hari meski bahasanya tak mereka pahami, membeli kendaraan bermotor sekadar untuk pajangan rumah sementara atap bocor tak diperbaiki, hingga terjebak pertikaian akibat beda pilihan partai yang sesungguhnya tak mereka kenali.
Setiap dinamika meminta ongkos terjadinya kehilangan-kehilangan. Buku ini hadir agar kita mampu becermin pada masa lalu secara apa adanya. Juga karena banyak substansi dan nuansa “wajah akhir 70-an” ternyata tetap kita jumpai pada hari-hari ini, terutama yang menyangkut seberapa matang kesiapan sosial budaya masyarakat kita dalam melayani “tabrakan langsung” dengan arus yang kita agung-agungkan sebagai kemajuan.
EMHA AINUN NADJIB, lahir pada 27 Mei 1953 di Jombang, Jawa Timur. Pernah meguru di Pondok Pesantren Gontor, dan “singgah” di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Emha Ainun Nadjib merupakan cendekiawan sekaligus budayawan yang piawai dalam menggagas dan menoreh katakata. Tulisan-tulisannya, baik esai, kolom, cerpen, dan puisi-puisinya banyak menghiasi pelbagai media cetak terkemuka. Pada 1980-an aktif mengikuti kegiatan kesenian internasional, seperti Lokakarya Teater di Filipina (1980); International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, AS (1984); Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984); serta Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman Barat (1985). Cukup banyak dari karya-karyanya, baik sajak maupun esai, yang telah dibukukan. Di antara sajak yang telah terbit, antara lain “M” Frustasi (1976), Sajak Sepanjang Jalan (1978), Syair Lautan Jilbab (1989), Seribu Masjid Satu Jumlahnya (1990), dan Cahaya Maha Cahaya (1991). Adapun kumpulan esainya yang telah diterbitkan oleh Bentang Pustaka, antara lain Arus Bawah (2014), Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (2015 dan 2018), Gelandangan di Kampung Sendiri (2015 dan 2018), Sedang Tuhan pun Cemburu (2015 dan 2018), 99 untuk Tuhanku (2015), Istriku Seribu (2015), Kagum kepada Orang Indonesia (2015), Orang Maiyah (2015) Titik Nadir Demokrasi (2016), Tidak. Jibril Tidak Pensiun! (2016), Daur I: Anak Asuh Bernama Indonesia (2017), Daur II: Iblis Tidak Butuh Pengikut (2017), Daur III: Mencari Buah Simalakama (2017), Daur IV: Kapal Nuh Abad 21 (2017), Kiai Hologram (2018), Pemimpin yang Tuhan (2018), Markesot Belajar Ngaji (2019), Siapa Sebenarnya Markesot? (2019), Sinau Bareng Markesot (2019), Lockdown 309 Tahun (2020), dan Apa yang Benar Bukan Siapa yang Benar (2020).
Endorsement
“Emha telah menghirup pendidikan masa kanak-kanak dan remaja di kalangan santri pelosok daerah yang terkenal beriklim keagamaan ketat, Jombang Jawa Timur, tempat anak-anak masih terdidik oleh tradisi untuk wajib selalu menyunggi Kitab Al-Qur’an di atas kepala bila sedang membawanya; dan bila sampai terjatuh harus mengucapkan ayat-ayat suci tertentu sebagai pepulih.
Selaku eksponen dari sekian banyak kaum muda yang masih merasa berutang budi pada keakraban diri, beserta seluruh tradisi warisan yang sudah mantap dan dinilainya berharga sehingga merasa mengemban kewajiban moral terhadap nilai-nilai tradisional berharga tadi, Emha mengetik esai-esainya. Ia mengimbau kawan untuk jangan menyerah pada segala modernisasi yang melanda dari ‘kota’ yang berkebudayaan asing dan beranilah untuk seleksi.”
— (Alm.) Y.B. Mangunwijaya, Budayawan
“’Kemajuan’ oleh kaum modernis pada kurun waktu puluhan tahun yang lalu dibanggakan, justru kini kita menyaksikan album foto “kerusakan” kemanusiaan yang luar biasa, dehumanisasi yang akut serta keruntuhan nilai-nilai ketuhanan. Boleh dikata ini adalah kembalinya jaman jahiliyah, subur menjamur jamaah penyembah ‘berhala’ materialisme sambil bernyanyi mengagungkan nama-Mu.”
—Toto Rahardjo, pendiri Komunitas Kiai Kanjeng
KITA tahu: Saudara Emha Ainun Nadjib terkenal sebagai penyair muda dan aktif dalam dunia drama serta sastra seumumnya. Banyak pula ia menulis esai di media massa tentang kebudayaan dengan bahasanya yang lirik. Dengan bahagia, saya menulis Kata Pengantar ini untuk tidak hanya tersirat, tetapi sangat jelas terbacalah dalam tulisan-tulisannya, keprihatinan yang besar untuk tidak mengatakan keberangannya, melihat kesimpangsiuran bahkan kedangkalan kebudayaan serta kebobrokan moral zaman sekarang.
Betapa tidak. Emha telah menghirup pendidikan masa kanak-kanak dan remaja di kalangan santri pelosok daerah yang terkenal beriklim keagamaan ketat, Jombang Jawa Timur, tempat anak-anak masih terdidik oleh tradisi untuk wajib selalu menyunggi Kitab Al-Qur’an di atas kepala bila sedang membawanya; dan bila sampai terjatuh harus mengucapkan ayat-ayat suci tertentu sebagai pepulih.
Selaku eksponen dari sekian banyak kaum muda yang masih merasa berutang budi pada keakraban diri, beserta seluruh tradisi warisan yang sudah mantap dan dinilainya berharga sehingga merasa mengemban kewajiban moral terhadap nilai-nilai tradisional berharga tadi, Emha mengetik esai-esainya. Ia mengimbau kawan untuk jangan menyerah pada segala modernisasi yang melanda dari “kota” yang berkebudayaan asing dan beranilah untuk seleksi. Apalagi bila asing di sinisama artinya dengan maksiat. Ia paham bahwa semua itu “wis sakmesthine”. Sudah semestinya.
Akan tetapi, dengan sedih ia berungkap, “Terasa ada yang terurai, ada yang meluntur, mencair, semacam tak kental lagi” dalam masyarakat desa yang ia cintai. Sebaliknya juga yang ia khawatirkan: bahwa yang kental malahan akan menjadi kebekuan. Andai saja TV, kendaraan bermotor, dan benda-benda “kota” lain itu didatangkan dan dipergunakan mengikuti kodrat dan tujuan benda yang wajar, tak mengapa. Namun, ternyata tidak. Konsumerisme boros, pertentangan si Kaya dan si Miskin, yang dahulu dalam pola tradisional tidak terasa nyeri karena ada mekanisme pengimbangannya, kini menjadi luka-luka tak terbalut. Pengotak-ngotakan tidak hanya dalam hal harta, tetapi sudah meradak juga ke dalam cara berpikir, cara merasakan semesta. Hidup terasa terkeping-keping tanpa perpaduan sejati. Banyaklah kesalahan datang dari kebudayaan Barat yang datang tanpa ampun itu, tetapi tajam. Emha pernah melontarkan kritiknya:
“Gendruwo bule mudharake tapabrata,
“Gendruwo soklat sugih dadakan jalaran saka mulasara.”
Emha banyak melibatkan diri dalam dunia seni. Maka, dunia seni yang sangat ia kenal ia khawatirkan mengarah salah. Penulis muda dari Jombang yang sudah menghayati Kota Yogyakarta selaku ibu keduanya mencatat sesuatu yang menurutnya “salah kaprah” di kalangan seniman, yakni merasa diri selaku manusia super atau dewa yang hanya mengikuti pola seniman model Barat; berdiri di atas moral, merasa berdaulat di atas kemanusiawian warga masyarakat normal, dan yang pada dasarnya individualis. Seniman pun, menurut penyair ini, bertugas juga untuk “lulusmenjadi manusia”. Emha memberang terhadap segala yang ia rasakan tidak wajar, palsu, individualisme liar terselubung atau kaum yang berbahasa “gogog petog”.
Akan tetapi, tak lupa diajukan juga oleh esais Emha bahwa masih banyak manusia yang utuh, yang berkualitas mendalam. Cerita-cerita dan laporan-laporannya tentang misalnya sang Kiai dengan Pak Cendol, dan si anak kelas 3 SD, Masadji Paratama, dll. direkam dan direnungkan selaku penguatan diri kita. Dan, ternyatalah Emha tidak mau cuma berhenti kenes di atas panggung horizontal kebudayaan belaka. Serius ia menanjaki pula anak tangga dimensi-dimensi vertikal kehidupan sehari-hari yang menunjuk ke Tuhan. Dimensi religiositas bukan suatu masalah lampau belaka. Seperti seumumnya generasi muda sekarang mencari hakikat dan sari wahyu yang sebenarnya, bukan hanya seonggok peraturan warisan. Halaman-halaman akhir kumpulan karangan ini semakin mendalam ke arah pertanyaan-pertanyaan “the ultimate destination of mankind”.
Semua esai Emha diwarnai oleh tanah-tumbuh kejawaannya. Oleh karena itu, tema-tema seperti “kesatuan kealamsemestaan” sering serbaparadoks. “Berkatalah sang Sufi: Ia Mati, Alhamdulillah ....” dsb. mengimbau kita pada kesejatian dan citra bahasa hidup kita yang semogalah semakin berisi dan berkualitas. Laporan dan komentarnya tentang perjumpaan serta dialognya dengan Kiai Hammam Dja’far dari pesantren Pabelan sungguh berharga, juga bagi yang tidak beragama Islam.
Pada hemat kami, bukanlah suatu celaan bagi penulis esai-esai dalam kumpulan ini bila ada pembaca yang berpendapat lain dari apa yang di-“berang”-kan Emha. Sebab, esai-esai semacam ini lebih berfungsi dan lebih berhasil sebagai pembuka pintu-pintu baru atau cambuk diskusi daripada sebagai suatukumpulan khotbah. Dan, bila diskusi tentang itu semua dapat dinyalakan, kendatipun ada satu segi yang terhangus, kami yakin, si Penulis pasti tidak jera untuk bersyukur. Kita semua mengucapkan selamat atas terbitan kedua ini. Semoga berkenan bagi Tuhan karena berguna bagi masyarakat kita.[]
Sungai Code,
1 Januari 1992
Buku ini diterbitkan kembali sesudah 41 tahun silam awal diterbitkan, yakni 1979, ketika saya berusia 26 tahun. Sekarang saya sudah hampir memasuki ransum tahun ke-68 hidup saya. Jadi, buku ini adalah “bacaan kuno”.
Pada usia 14—15 tahun secara tekun saya menghimpun tulisan berbahasa Arab, yang sebenarnya merupakan teks pidato dalam acara “Muhadlarah” (presentasi) di Pondok Modern Gontor. Tetapi karena buruknya tradisi budaya dokumentasi, naskah-naskah itu sudah tidak saya lacak: kelak semoga saya sempat ke Perpustakaan “Lauhil Mahfudh” untuk mencarinya, memfotokopinya, atau memakai cara lain, misalnya microfilm documentary. Syukur kalau ternyata di surga nanti ada toko-toko buku dan di salah satu raknya ada buku saya 1979 ini, dan sudah terpampang dengan teknologi cetakan yang mewah serta bercahaya. Saya tidak punya kapasitas atau otoritas apa pun untuk memastikannya, tetapi saya berhunuzan atau bersangka baik mestinya toko dan buku itu ada di surga.
Sebab informasi dari Tuhan sangat jelas dan tegas: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan kepadanya. Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna.”
Dari 1968 sampai dengan 1979, sesudah diusir dari Pondok Gontor, saya melakukan dengan sangat rajin dan tekun apa yang Tuhan katakan “apa yang diusahakannya”. Buku ini akan “diperlihatkan kepadanya” di surga (kalau tidak, lantas di mana?), dengan performa teknologi cetakan yang membuktikan “balasan yang paling sempurna”. Jangankan di surga, sekarang saja di dunia buku itu sudah dicetak lagi sesudah 41 tahun. Apa itu namanya kalau bukan indikator pengabadian dan keabadian? Karena memang hidup manusia itu abadi, dengan sejumlah formula transformasi. Yang hanya sementara adalah dunia.
Ketika saya diminta untuk juga menulis pengantar atas buku kuno ini, hal utama yang saya ingat adalah kesungguhan atau kesungguh-sungguhan. Saya menjalani hidup dengan sungguh-sungguh karena watak primer Nabi saya, Muhammad Saw., adalah “Shiddiq”: orang yang penuh kesungguh-sungguhan. Dan, Yogya adalah lapangan proses pemanusiaan dan pengualitasan hidup yang sangat kondusif dan kaya. Yogya adalah kawah candradimuka bagi lelaku kesungguh-sungguhan dan teknologisasi cahaya kemanusiaan.
Tidur sungguh-sungguh tidur. Bangun benar-benar bangun. Makan-minum sungguh-sungguh makan-minum. Saya diusir dari Gontor karena saya sangat bersungguh-sungguh terhadap aturan, hukum dan sunnah (tradisi etika) pondok. Saya sungguh-sungguh berbicara. Saya sungguh-sungguh menulis. Saya sungguh-sungguh rela dijadikan manusia. Saya sungguh-sungguh menerima peran sebagai makhluk. Saya bersungguh-sungguh berlaku sebagai manusia, yang bukan hanya hewan dan tetanaman. Saya berjuang sungguh-sungguh untuk mencapai kualitas “ahsani taqwim” (sebaik-baik makhluk yang ditegakkan segala sesuatunya oleh Penciptanya). Saya sungguh-sungguh belajar dan mondok. Saya sungguh-sungguh bergaul, bersahabat, silaturahmi, dan bebrayan. Saya sungguh-sungguh berjuang menjadi Muslim. Saya sungguh-sungguh menjadibagian dari masyarakat dan umat. Saya bersungguh-sungguh menjadi warga negara. Saya sungguh-sungguh terhadap sejarah, bangsa, negara, dan pemerintah. Saya bersungguh-sungguh tentang “local wisdom” dan “globalisasi”. Saya bersungguh-sungguh sejak DNA, gen, sel, serbuk, sari pati, glepung, dan apa pun yang diciptakan oleh Yang Maha Lembut (Al-Lathif, mungkin tidak kebetulan saya adalah putra ke-5 dari Bapak Muhammad Abdul Lathif). Putra ke-5, bukan ke-4 atau ke-6. Saya sungguh-sungguh mengabdi kepada Tuhan. Saya sungguh-sungguh shalat 5 waktu. Saya sungguh-sungguh dengan setiap serpih nilai, setiap huruf, setiap kata, kalimat, ayat, setiap bagian dari hamparan ruang dan mengalirnya waktu. Saya bersungguh-sungguh menulis puisi, merenangi kata, mendalami makna. Saya bersungguh-sungguh menuliskan apa saja yang Tuhan tuntun dan izinkan atas proses usia muda saya. Saya bersungguh-sungguh terhadap cahaya. Sejak kecil ayat Al-Qur’an yang saya selerai atau hobi adalah “Allah adalah cahaya langit dan bumi”. Bukan Allah menciptakan cahaya, melainkan Allah adalah cahaya. “Allahu nurus-samawati wal-ardli”.
Karena dzat utama Allah adalah cahaya dan mencahayai maka saya tidak punya kemungkinan lain dalam menjalani hidup ini kecuali berupaya dan berjuang untuk menjadi cahaya dan mencahayai. Sungguh-sungguh mencahayai. Sungguh-sungguh mengenali segala hal, mengetahui, memahami, menghayati, mendalami, menghidupi, mencahayai. Sufi Jalaluddin Rumi berkata, “Jika sekitarmu tampak gelap, lihatlah lagi, mungkin kaulah cahayanya”.
Berkata, menulis, berkomunikasi, ber-tabligh (menyambungkan sesuatu dari diri ke lainnya), menulis puisi, atau bentuk lain apa pun, menulis sesuatu sampai menjadi buku—semua itu adalah pekerjaan mencahayai. Tentu saja menurut pemahaman ilmu bukan aku atau saya yang mencahayai, melainkan saya hanya meneruskan penyampaian cahaya Tuhan.
“Desa Saya Bagian dari Indonesia” adalah sebuah tataran ilmu. “Indonesia Bagian dari Desa Saya” adalah tataran yang lain, bisa lebih tinggi, bisa lebih luas. Atau kedua-duanya berfungsi sekaligus. Dialektis-dinamis. Ulang-alik dialektika pandangan, kesadaran dan kecerdasan itulah yang saya alami secara sangat deras pada usia muda ketika tulisan-tulisan di buku ini akhirnya terhimpun.
Sebagaimana saya bersungguh-sungguh memproses penulisan sampai akhirnya menjadi buku ini, kalau Anda pun membaca dan mengasihi isinya dengan sungguh-sungguh pula maka akan terbuka dua pintu di depan Anda. Pertama, kita akan bermesraan dan asyik-masyuk saling mencahayai. Kedua, pintu kemungkinan di mana Anda diberi perkenan dan hidayah untuk menulis lebih bagus dan lebih mencahayai dibanding yang Anda baca dari buku ini.
Saya persilakan Anda bersilaturahmi (mempersambungkan kepercayaan dan kasih sayang) dengan setiap judul, setiap bab, setiap tema, setiap butiran dan apa pun di buku ini. Saya doakan menghasilkan resonansi, peluasan, pendalaman, dan penajaman yang berlipat-lipat dibanding buku ini.[]
SKU | BS-541 |
ISBN | 978-602-291-754-0 |
Berat | 330 Gram |
Dimensi (P/L/T) | 13 Cm / 21 Cm/ 0 Cm |
Halaman | 316 |
Jenis Cover | Soft Cover |