Buku KAPITALISME TANPA ETIKA - Dr. Junanto… | Mizanstore
  • KAPITALISME TANPA ETIKA
Ketersediaan : Habis

KAPITALISME TANPA ETIKA

    Deskripsi Singkat

    “Buku ini mengajak—bahkan memaksa—kita untuk menyadari bahwa perumusan arah pembangunan bukan hanya bersifat politis dan teknokratik, melainkan berdimensi etis.” —Yanuar Nugroho, Dosen STF Driyarkara Jakarta, Deputi Kepala Staf Kepresidenan RI 2015—2019, Visiting Senior Fellow ISEAS Singapura, dan Honorary Fellow University of Manchester Inggris   “... buku ini memuat tiga gugus… Baca Selengkapnya...

    Rp 119.000 Rp 101.150
    -
    +

    “Buku ini mengajak—bahkan memaksa—kita untuk menyadari bahwa perumusan arah pembangunan bukan hanya bersifat politis dan teknokratik, melainkan berdimensi etis.”

    —Yanuar Nugroho, Dosen STF Driyarkara Jakarta, Deputi Kepala Staf Kepresidenan RI 2015—2019, Visiting Senior Fellow ISEAS Singapura, dan Honorary Fellow University of Manchester Inggris

     

    “... buku ini memuat tiga gugus pemikiran David Harvey, salah seorang pemikir kontemporer kondang, sebagai sebuah kesatuan (three in one): filsafat sosial, ilmu ekonomi, dan geografi ....”

    —Dr. S.P. Lili Tjahjadi, Dosen STF Driyarkara Jakarta

     

    Karl Marx pernah mewacanakan bahwa kapitalisme mengandung kontradiksi internal dan bergerak menuju kehancuran. Kapitalisme juga dianggap telah mengakibatkan semakin melebarnya ketimpangan sosial, khususnya dalam empat puluh tahun terakhir. Namun, ramalan Marx nyatanya tidak terbukti, setidaknya hingga saat ini. Kapitalisme mampu terus bertahan dan mengatasi kontradiksi yang dikandungnya.

    Apakah ramalan Marx memeleset?

    David Harvey, ilmuwan neomarxis sekaligus ahli geografi, mengatakan kapitalisme memang mampu mengatasi permasalahan yang dimilikinya sehingga dapat terus beradaptasi. Namun Harvey, yang juga Profesor Antropologi dan Geografi di City University of New York, mengingatkan bahwa berkembangnya teknologi dan inovasi telah mengakibatkan kapitalisme kembali menghadapi permasalahan. Terjadinya krisis global 2008, krisis akibat pandemi Covid-19, yang telah menjadikan ketimpangan terus melebar, kerusakan alam dan lingkungan semakin parah, adalah contoh-contoh problem kapitalisme yang diangkat Harvey. Kapitalisme telah berada dalam tahap yang tidak dapat ditoleransi sehingga perlu diganti sebelum membawa kita menuju jurang kehancuran. Mungkinkah mengganti kapitalisme?

    Buku ini akan mencoba melacak pemikiran Harvey dan mengonfigurasi ulang pemahaman akan kinerja kapitalisme, yang dalam praktiknya, kerap melupakan atau meminggirkan dimensi etis.



    Keunggulan Buku

    “Tantangan struktural pembangunan saat ini adalah rendahnya mobilitas sosial yang memicu meningkatnya ketimpangan dan kemiskinan. Selain itu, urbanisasi dan tersierisasi, serta kerusakan lingkungan hidup, juga menjadi tantangan yang perlu dijadikan fondasi dalam merumuskan arah pembangunan masa depan. Buku ini mencoba untuk menukik lebih dalam membongkar tantangan-tantangan tersebut dari kacamata filsafat, ekonomi, dan geografi. Melalui pemikiran David Harvey, seorang ilmuwan geografi, buku ini mengangkat kontradiksi-kontradiksi internal kapitalisme yang dalam perjalanan sejarahnya telah memicu munculnya berbagai problem struktural dan krisis ekonomi. Penulis, yang memiliki latar belakang ilmu ekonomi dan mempelajari ilmu filsafat, mencoba memasukkan dimensi etis dalam analisis interdisiplinernya.
    “Buku ini mengajak—bahkan memaksa—kita untuk menyadari bahwa perumusan arah pembangunan bukan hanya bersifat politis dan teknokratik, melainkan berdimensi etis. Buku ini wajib dibaca oleh mereka yang menekuni pembangunan dan kebijakan, khususnya para pemikir, perencana pembangunan, dan pembuat kebijakan. Ia perlu dijadikan referensi untuk memperkaya horizon pemikiran dan mempertajam refleksi—sesuatu yang makin langka didapatkan hari-hari ini.”
    —Yanuar Nugroho, Dosen STF Driyarkara Jakarta, Deputi Kepala Staf Kepresidenan RI 2015—2019, Visiting Senior Fellow ISEAS Singapura dan Honorary Fellow University of Manchester Inggris


    “Buku ini memuat tiga gugus pemikiran David Harvey, salah seorang pemikir kontemporer kondang, sebagai sebuah kesatuan (three in one): filsafat sosial, ilmu ekonomi, dan geografi, khususnya di kalangan masyarakat urban global dewasa ini. Penulis yang memiliki latar belakang studi filsafat dan ilmu ekonomi telah berhasil memperlihatkan korelasi ketiga elemen itu dan batas-batasnya lewat riset interdisipliner yang elaboratif dan sekaligus kritis dalam buku ini.”
    —Dr. S.P. Lili Tjahjadi, Dosen STF Driyarkara Jakarta

     

    Kata Pengantar
    Prof. Dr. J. Sudarminta, S.J.
    Ketua Prodi Magister STF Driyarkara, Jakarta

    Buku berjudul Kapitalisme Tanpa Etika: Melacak Pemikiran David Harvey tentang Kontradiksi Kapitalisme yang Mengakibatkan Semakin Lebarnya Ketimpangan Sosial dan
    Kemiskinan ini berawal dari disertasi penulis (Dr. Junanto Herdiawan) yang pernah dipertahankan dalam Sidang Ujian Promosi Doktor di STF Driyarkara, 6 Februari 2021.
    Merupakan sebuah kehormatan sekaligus menggembirakan bagi saya, sebagai mantan promotor disertasinya, untuk memenuhi permintaan penulis memberi kata pengantar
    bagi buku ini. Sebenarnya tanpa kata pengantar dari saya, maksud pokok penulisan buku ini telah cukup jelas. Seperti sudah dikemukakan oleh penulis sendiri (dalam draf yang dikirim ke saya hlm. 14): “Tema buku ini berpusat pada pandangan Harvey yang memakai pemikiran Karl Marx untuk mengintegrasikan proses terbentuknya perkotaan dengan proses akumulasi modal.” Penulis buku juga bermaksud menelaah masalah etis yang terkait dengan kontradiksi internal modal. (Lihat draf buku hlm. 22). Seperti tersirat dari subjudul buku, penulis bermaksud melacak pemikiran David Harvey tentang kontradiksi internal modal yang telah mengakibatkan semakin lebarnya jurang ketimpangan sosial dan kemiskinan. Gagasan tentang kontradiksi internal modal sudah dikemukakan oleh Karl Marx pada abad ke-19 dalam karyanya Das Kapital. Menurut analisis sosial Harvey dalam perspektif geografi perkotaannya yang bernada marxis, kontradiksi internal modal itu telah melahirkan berbagai krisis kapitalisme pada berbagai kurun waktu dalam sejarah umat manusia. Berbagai krisis kapitalisme pada berbagai kurun waktu dalam sejarah umat manusia ini juga dibahas oleh penulis dalam buku ini. Seperti dikemukakan oleh penulis buku, dengan merujuk pada gagasan Harvey, krisis kapitalisme yang ditimbulkan oleh kontradiksi internal modal tidak dengan sendirinya bersifat negatif. “Krisis dapat merupakan momen yang digunakan oleh modal untuk bertransformasi sehingga modal mampu menciptakan dirinya kembali (reinvent) dan mengubah diri menjadi bentuk lain.” (Draf buku hlm. 16).


    Judul Kapitalisme Tanpa Etika, bagi para pemikir sosialis marxis, yang memang anti-kapitalisme, mungkin langsung menimbulkan reaksi berupa pertanyaan: “Apakah kapitalisme pernah beretika?” “Bukankah kapitalisme, selaras dengan logika kapital yang ingin terus bergerak mengejar keuntungan yang lebih besar dan berakumulasi, memang merupakan sebuah ideologi ekonomi-politis yang tidak peduli dengan dampak etis dari kegiatannya?” Namun, sebaliknya bagi para pemikir kapitalis liberal,1 mungkin melihat judul ini langsung membuat mereka mengernyitkan dahi dan bertanya: “Benarkah kapitalisme itu tanpa etika?” “Bukankah melimpahnya produksi barang dan jasa yang diciptakan oleh kapitalisme dengan sistem pasar bebasnya membuat kehidupan manusia dalam masyarakat lebih makmur dan sejahtera?” “Bukankah sistem ekonomi pasar bebas tidak hanya menunjang peningkatan jumlah produksi barang dan jasa, tetapi juga kelancaran distribusinya?”


    Seperti sudah dikatakan oleh penulis buku ini, David Harvey, yang pemikirannya mendasari gagasan pokok penulis, adalah seorang pemikir sosialis-marxis. Ia mengawali karier intelektualnya dengan mengambil spesialisasi dalam bidang geografi. Buku pertamanya yang berjudul Explanation in Geography (1969) merupakan sebuah buku yang membahas metode dan filsafat (ilmu) di bidang geografi. Geografi David Harvey sering disebut sebagai geografi marxis karena ia memperluas lingkup kajian geografi, bukan hanya sebagai ilmu yang mengkaji tentang ciri-ciri ruang fisik permukaan bumi dengan kota-kota dan desa-desa serta wilayah tempat manusia tinggal dan menjalin hubungan, melainkan geografi yang membuat analisis sosial masyarakat modern industrial dengan menyuntikkan konsep ruang dan waktu dalam kritik terhadap kapitalisme. Tidak lama setelah menulis buku tentang ilmu geografi pada 1970-an, setelah bergeser ke geografi perkotaan dengan kacamata analisis sosial marxis, Harvey banyak menyoroti masalah ketidakadilan sosial dan sifat dasar sistem ekonomi kapitalis. Pada 1973 misalnya, ia menerbitkan buku berjudul Social Justice and the City. Dalam buku ini Harvey berargumentasi bahwa demi mereproduksi dirinya, kapitalisme menghancurkan ruang-ruang yang sudah ada dan membangun kembali ruang-ruang baru atau melakukan akumulasi modal dengan merombak lanskap ruang yang sudah ada (accumulation by dispossession). Akibatnya, bisa terjadi penggusuran dan peminggiran orang
    miskin di wilayah perkotaan dengan segala penyakit sosial yang ditimbulkannya.


    Dengan memakai konsep materialisme dialektis Karl Marx, David Harvey terus mengembangkan geografi marxisnya. Hal itu tecermin misalnya dalam bukunya The Limits of
    Capital (1984). Buku ini bermaksud mengintegrasikan aspek finansial (percepatan waktu perputaran modal) dan aspek perluasan ruang geografis (yang bersifat global dan spasial) dalam kerangka argumentasi Karl Marx secara keseluruhan tentang modal. Buku ini telah memberi inspirasi bagi kajian tentang perkembangan geografis kapitalisme yang tidak merata atau tak seimbang berikut adanya kontradiksi kapital yang terlibat dalam lingkungan-lingkungan fisik dan sosial yang dibangun dalam perubahan-perubahan tata ruang perkotaan. Buku Harvey The Condition of Postmodernity (1989) yang banyak dibaca orang merupakan sebuah kritik dari perspektif materialisme dialektis dan kontradiksi internal modal Marx terhadap pemikiran dan argumentasi yang sering dikemukakan oleh kaum pascamodern. Harvey mengaitkan konsep kompresi ruang-waktu yang menandai era pascamodern dengan akumulasi modal. Sedangkan dalam buku berjudul Justice, Nature, and the Geography of Difference (1996), Harvey memusatkan perhatiannya pada masalah ketidakadilan sosial dan kerusakan lingkungan hidup.


    Sebagai seorang pemikir marxis, David Harvey sangat memiliki perhatian terhadap adanya kontradiksi internal modal yang membawa ke berbagai krisis kapitalisme di dunia
    dari masa ke masa (Seventeen Contradictions and the End of Capitalism, 2014). Seperti dijelaskan penulis buku ini (draf buku hlm. 17—18), dalam buku Seventeen Contradictions and the End of Capitalism Harvey mengelaborasi kontradiksi internal modal ke dalam tujuh belas kontradiksi yang terbagi atas tiga jenis kontradiksi, yakni kontradiksi fondasional (foundational contradictions), kontradiksi yang bergerak (moving contradictions), dan kontradiksi yang berbahaya (dangerous contradictions).
    Apakah gerak akumulasi kapital lewat percepatan waktu perputaran dan perluasan ruang geografis dengan menciptakan ruang-ruang perkotaan baru memang tanpa
    etika? Dalam menjawab pertanyaan ini dan mencoba melihat relevansi aktual gagasan yang dikemukakan dalam buku ini, mungkin baik kalau kita kaitkan dengan rencana dan
    keputusan pemerintah Indonesia untuk memindahkan ibu kota negara RI dari Jakarta ke Penajam, Kalimantan Timur, yang belakangan ini banyak diperdebatkan. Salah satu alasan yang sering dikemukakan untuk pemindahan ibu kota negara Indonesia dari Jakarta ke Penajam, Kalimantan Timur (yang nantinya akan disebut Nusantara) sebenarnya bersifat etisekonomis, yakni untuk lebih membawa pemerataan ekonomi ke luar Jawa atau sebuah upaya untuk mengurangi atau mengoreksi ketidakseimbangan geografis yang telah terjadi di Indonesia. Ada alasan lain juga terkait aspek etis-ekologis, yakni sudah semakin padatnya penduduk Kota Jakarta sehingga Jakarta menjadi kota yang amat macet, penuh polusi, dan semakin tidak nyaman untuk dihuni. Selain itu, ternyata dari tahun ke tahun permukaan tanah di Jakarta semakin turun akibat banyak tersedotnya air tanah oleh sumur-sumur artesis yang selama ini telah beroperasi guna memenuhi kebutuhan air bagi penduduk Kota Jakarta. Hal tersebut ikut mengakibatkan Jakarta sering sekali terlanda banjir di musim hujan.


    Akan tetapi, tujuan etis yang memang layak diapresiasi itu nantinya belum tentu terwujud dalam kenyataan. Kalau nantinya dalam pelaksanaan pembangunan ibu kota baru
    di Kalimantan Timur itu kuasa modal para investor atau para pengusaha penanam modal yang banyak bicara dan menentukan kebijakan yang diambil, benarkah bahwa
    kepentingan etis demi meningkatnya kemakmuran dan kesejahteraan penduduk di seputar ibu kota baru itu sungguh akan diperhatikan? Seperti biasa, para investor selalu akan berusaha mengejar return of investment secepatnya dan memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Sejarah perjalanan kiprah kapitalisme global menunjukkan bahwa peningkatan jumlah produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh sistem ekonomi kapitalis tidak selalu disertai dengan distribusi atau pembagian pendapatan yang adil. Sistem ekonomi kapitalis liberal telah menciptakan kesenjangan sosial yang semakin besar antara kelompok kaya dan yang miskin. Dengan memakai judul Kapitalisme Tanpa Etika, saya duga penulis juga ingin menyampaikan pesan kepada para pembaca agar mereka jeli melihat implikasi etis yang sering dilupakan dalam gerak kapital atau gerak akumulasi modal dalam mengejar keuntungan yang lebih besar dan berakumulasi lewat perluasan usaha dengan merombak ruang-ruang perkotaan lama dan membuka ruang-ruang perkotaan baru.


    Pada Bab V buku ini, ketika penulis membahas tentang pemberontakan etis terhadap kinerja kapitalisme, ditunjukkan bahwa David Harvey sesungguhnya menemukan
    kesulitan untuk menjawab permasalahan etis terkait kontradiksi internal modal yang membawa ketimpangan sosial, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan hidup. Guna
    mengatasi kesulitan itu, penulis mencoba menunjukkan signifikansi konsep gerakan-balik atau double movement Karl Polanyi yang dikemukakan dalam bukunya The Great
    Transformation (1944) sebagai pengantar untuk menganalisis jalan keluar mengatasi permasalahan etis dalam kinerja kapitalisme. Dengan konsep double-movement Polanyi,
    dimaksudkan gerakan menemukan keseimbangan antara peran regulasi sosial yang perlu digariskan oleh pemerintah dan kebebasan berusaha dalam kehidupan ekonomi. Ketika gerak kehidupan ekonomi terhambat oleh situasi kebanyakan regulasi (over regulation), kebebasan berusaha mesti lebih diberi ruang; tetapi ketika kebebasan berusaha terlalu besar, sebagaimana tecermin dalam sistem ekonomi swatata atau prinsip pasar-bebas dalam sistem ekonomi kapitalis, regulasi guna mengatasi kesenjangan sosial sangat diperlukan. Asumsi di balik pemikiran Karl Polanyi adalah bahwa tidak pernah dalam sejarah suatu sistem sosial dapat sama sekali terpisah dari, atau melulu menjadi subordinat, ekonomi. Sistem ekonomi swatata dalam sistem pasar-bebas yang tercerabut dari masyarakat dan alam tidak akan dapat lestari. Penulis buku juga mengambil inspirasi dari pernyataan Amartya Sen dalam bukunya On Ethics and Economics (1987: 78) bahwa pemisahan ilmu ekonomi dari etika membuat miskin ekonomi kesejahteraan dan semakin memperlemah dasar-dasar ilmu ekonomi, baik untuk tugas deskriptif maupun prediktif dalam berbagai kajiannya. Dalam pandangan penulis buku ini, gagasan aksi gerak-balik Polanyi yang merupakan sebuah bentuk pemberontakan etis terhadap sistem ekonomi swatata yang mengakibatkan dehumanisasi tatanan masyarakat juga dapat dipakai sebagai pintu masuk melakukan pemberontakan etis terhadap gerak kapitalisme yang juga melahirkan dehumanisasi tatanan masyarakat.


    Uraian dalam buku ini, kendati kadang kurang mengalir karena misalnya di tengah pembahasan yang memberi latar belakang yang mengantar ke rumusan permasalahan tiba-tiba pembaca sudah langsung dihadapkan pada beberapa kritik terhadap pemikiran David Harvey (lihat draf buku hlm. 18—19), tetapi pada umumnya sistematika pembahasannya cukup jelas. Akhirnya, tanpa berpanjang kata lagi, saya ucapkan selamat membaca buku ini dan mencerna pemikiran David Harvey yang oleh penulis, pada bagian akhir bukunya juga coba ditunjukkan relevansinya bagi penentuan kebijakan publik di Indonesia.


    Jakarta, 23 Februari 2022
    Yustinus Prastowo
    Ketua Ikatan Alumni STF Driyarkara (IKAD), Staf Khusus
    Menteri Keuangan

     

    Resensi

    Spesifikasi Produk

    SKU BJ-501
    ISBN 978-602-291-903-2
    Berat 340 Gram
    Dimensi (P/L/T) 13 Cm / 21 Cm/ 0 Cm
    Halaman 372
    Jenis Cover Soft Cover

    Produk Dr. Junanto Herdiawan

















    Produk Rekomendasi