SINOPSIS
Sore itu di sebuah supermarket di daerah St. Lucia, Australia, Ujang bermaksud membeli daging sapi dan daging ayam.
“Assalâmu ‘alaikum, Brother. Mengapa membeli daging di sini? Ini kan tidak ada cap halalnya,” Sajid, seorang brother dari Pakistan, menegur Ujang.
“Saya mau membeli daging sapi dan ayam, bukan babi. Apa kalau tidak ada cap halalnya sudah pasti haram?” sergah Ujang.
“Kamu nggak paham tentang aturan Islam, ya. Beli daging halal itu di halal butcher, jangan di supermarket,” balas Sajid sambil berlalu.
***
Itulah nukilan salah satu kisah yang dikumpulkan Nadirsyah “Gus Nadir” Hosen dalam buku ini, kisah-kisah yang dialaminya sendiri selama tinggal di Negeri Kanguru.
Dengan gaya khasnya yang ringan, dosen di Monash University ini mengajak kita memahami Al-Quran dan Hadis dengan pikiran yang lebih terbuka dan tidak kaku.
Meski terjadi di Australia, kisah-kisah Gus Nadir ini sangat relevan untuk pembaca Indonesia, terutama di tengah maraknya sikap-sikap merasa benar sendiri saat ini.
Nadirsyah Hosen, yang lahir pada 8 Desember 1973, adalah Rais Syuriah PCI (Pengurus Cabang Istimewa) Nahdlatul Ulama (NU) di Australia dan New Zealand. Menempuh pendidikan formal dalam dua bidang yang berbeda, Ilmu Syari’ah dan Ilmu Hukum, sejak S1, S2 dan S3. Pemegang dua gelar Ph.D. ini memilih berkiprah di Australia, hingga meraih posisi Associate Professor di Fakultas Hukum, University of Wollongong. Namun kemudian, dia “dibajak” untuk pindah ke Monash University pada tahun 2015, di mana Monash Law School adalah salah satu Fakultas Hukum terbaik di dunia.
Di Kampus Monash, beliau mengajar Hukum Tata Negara Australia, Pengantar Hukum Islam dan Hukum Asia Tenggara. Sudah lebih dari 50 artikel di publikasi internasional dan 16 buku yang dihasilkannya.
Gus Nadir, begitu warga NU biasa menyapanya, adalah putra bungsu dari almarhum Prof. K.H. Ibrahim Hosen, seorang ulama besar ahli fiqih dan fatwa yang juga pendiri dan rektor pertama Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) dan Institut Ilmu Al-Quran (IIQ), dan 20 tahun menjadi ketua MUI/Ketua Komisi Fatwa (1980-2000). Dari Abahnya inilah Gus Nadir belajar mengenai ilmu tafsir, fiqih, dan ushûl al-fiqh. Dari jalur Abahnya pula dia memiliki sanad keilmuan melalui Buntet Pesantren. Gus Nadir juga belajar ushûl al-fiqh kepada almarhum K.H. Makki Rafi’i yang pada masa pensiunnya menetap kembali di Cirebon. Gus Nadir juga belajar Bahasa Arab dan Ilmu Hadis kepada almarhum Prof. Dr. K.H. Ali Musthafa Ya‘qub. Kyai Makki dan Kyai Ali Musthafa alumni dari Pesantren Tebuireng, maka sanad Gus Nadir baik dari jalur Buntet maupun Tebuireng menyambung sampai ke Hadratus Syaikh Hasyim Asy‘ari (Allâh yarham). Tahun 2012, saat sabbatical leave dari kampus tempat dia bekerja, Gus Nadir memilih meneruskan studinya di Mesir, sambil berziarah ke makam para aulia.
Walhasil, latar belakang pendidikan formal dan nonformal Gus Nadir membawanya ke dalam posisi yang unik. Kajian klasik-modern; timur-barat; hukum Islam-hukum umum dikuasainya. Menjadi dosen di kampus kelas dunia, tapi juga ikut mengasuh Ma‘had Aly Pesantren Raudhatul Muhibbin di Caringin Bogor pimpinan Dr. K.H. Luqman Hakim; diundang sebagai pembicara di berbagai seminar internasional namun juga rutin setiap bulan mengurusi majelis khataman Quran. Tak heran dia menjadi orang Indonesia pertama dan satu-satunya yang diangkat sebagai dosen tetap di Fakultas Hukum, Australia. Pergaulannya luas, akrab dengan para profesor kelas dunia begitu juga dengan para gus dan kiai pondok pesantren di tanah air. Ini karena pembawaan Gus Nadir sendiri yang ramah, humoris, santun, dan santai. Tahun 2019 Gus Nadir akan memulai membuka kursus online keislaman untuk menebar Islam yang rahmatan lil-âlamîn di ranah medsos.
Buku ini merupakan rangkuman "dialog" Gus Nadir dengan para “santri”nya, yang menjadi jawaban Islam yang relevan dan mewakili banyak tantangan serta peristiwa dalam kehidupan Muslim masa kini.
Endorsment
Cover depan:
“… Cerdas. Cerita-ceritanya luar biasa.”
–K.H. A. Mustofa Bisri
Cover belakang:
“Kalau mau tahu jawaban masalah keislaman, tanya sama Gus Nadir, yang nasab dan nasibnya luar biasa.”
–K.H. Hasyim Muzadi
“Senior saya di kampus ini dari dulu hebat banget. Buku ini bakal bikin kawan-kawan jadi berubah & maju.”
–Ustadz Yusuf Mansur
***
Jalan Dakwah Nadirsyah Hosen
Bulan Juli tahun 2015, Prof Nadirsyah Hosen memutuskan pindah ke Universitas Monash. Sebelumnya, ia menghabiskan waktu selama delapan tahun (2007-2015) mengajar hukum Islam di Fakultas Hukum, Universitas Wollongong, Australia.
Pria kelahiran 1973 ini menilai, salah satu kampus terbaik di Australia adalah Universitas Monash. Kepindahannya itu diyakini akan membawa dampak besar terhadap perkembangan kajian hukum Islam di Australia bahkan tidak menutup kemungkinan hingga ke level dunia.
“Salah satu tujuan saya pindah mengajar dari Fakultas Hukum University of Wollongong ke Fakultas Hukum Monash University pada tahun 2015 adalah untuk terus membawa kajian hukum Islam ke kampus top di Australia, bahkan dunia,” katanya melalui akun facebook pribadi, Kamis (20/7).
Selama delapan tahun mengajar di Wollongong, kajian hukum Islam yang diajarkan secara akademik sangat digemari oleh para mahasiswa hukum.
“Mereka memiliki kesempatan untuk bertanya kepada saya seluk beluk hukum Islam dan aplikasinya di masyarakat Islam. Sebelumnya mereka hanya tahu dari media saja,” tulis Rais Syuriah PCINU Australia-New Zealand ini.
Mata kuliah hukum Islam yang ia ajarkan di Universitas Monash berada dalam Monash Malaysia Law Program. Dalam program ini, Fakultas Hukum Universitas Monash di Melbourne memanfaatkan "kelas pendek" saat liburan musim dingin dengan memakai kampus yang berada di Malaysia. Selama dua bulan program ini dilangsungkan, memaksanya tinggal di Kuala Lumpur.
Tahun ini penulis buku Human Rights, Politics and Corruption in Indonesia: A Critical Reflection on the Post Soeharto Era tersebut juga dipercaya menjadi manager program (Convenor).
“Program berbeda juga dilakukan di Prato, Italia memanfaatkan Monash Centre di sana. Convenor untuk Prato adalah kolega saya Prof Marilyn Pittard,” katanya sambil menjelaskan bahwa program di Malaysia, dan juga Prato dilakukan dengan kolaborasi bersama sejumlah kampus di Eropa dan Kanada.
“Untuk di Malaysia tahun ini sekitar 100 mahasiswa hadir dari Melbourne, Perancis, Belanda, Canada, Jerman dan juga Malaysia. Mereka tersebar mengambil 7 mata kuliah yang berbeda, salah satunya mata kuliah hukum Islam yang saya asuh,” ungkap meraih gelar Graduate Diploma in Islamic Studies serta Master of Arts with Honours dari Universitas New England.
Nadirsyah mengaku tidak mudah mengajar hukum Islam ditengah kecenderungan sebagian pihak yang "khawatir" dengan segala sesuatu berbau Islam, dan juga sebagian Muslim yang "curiga" dengan segala sesuatu berbau Barat.
“Diskusi di dalam kelas kadang menjadi panas, dan memang topik yang saya pilihkan sengaja memantik kontroversi agar para mahasiswa bisa saling bertukar pikiran,” ujar lulusan Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Mahasiswa yang ikut program kajian hukum Islam tidak hanya dari kalangan Muslim, tetapi banyak diantara mereka dari berbagai latar belakang berbeda. Bahkan mahasiswa pascasarjana juga ikut ambil bagian dari kelas yang ia ampu.
Dalam mengajar, putra Prof K.H. Ibrahim Hossen, Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dua dasawarsa (1981- 2000) ini umumnya menggembangkan model dialog dan diskusi. Hal itu dipilih agar kondisi kelas tetap dinamis, dan mahasiswa bisa dengan leluasa bertukar pikiran terhadap lahirnya sebuah produk hukum.
Mengajar hukum Islam di level internasional menjadi jalan dakwah bagi Nadirsyah Hosen. Harapanya sederhana, mahasiswa yang nimbrung di kelasnya dan datang dari berbagai negara itu mampu mengenal Islam yang rahmatan lil-âlamîn.
Sumber: http://www.nu.or.id/post/read/79734/jalan-dakwah-nadirsyah-hosen
Wawancara dengan Prof. Nadirsyah Hosen: Tidak Semua Hadis Bisa Langsung Diterapkan
Hadis adalah gambaran utuh kehidupan Nabi yang dikisahkan oleh para sahabat dan orang-orang setelahnya. Gambaran kehidupan tersebut sebagian mengandung muatan budaya dan agama. Oleh sebab itu, hadis perlu dipahami secara kontekstual, terutama hadis yang berkaitan dengan lokalitas, budaya, politik, dan lain-lain.
Pemahaman secara tekstual terhadap hadis yang tidak mengandung muatan agama pada gilirannya membuat islam tidak produktif dan akomadatif terhadap perubahan sosial. Bahkan hadis seperti ini sering dipelintir dan dipolitisasi oleh sebagian kelompok untuk mempromosikan gerakan dan ideologi mereka.
Seiring merebaknya gerakan islamisasi yang cenderung radikal, mungkin lebih ke arabisasi, penafsiran tekstual sering juga mengarah pada politisasi Hadis, di mana mereka sering membidahkan tradisi lokal yang ada di masyarakat. Namun di era kita saat ini, gerakan tekstualis tersebut semakin tak terbendung, karena pemahaman-pemahaman semacam itu seringkali terlihat viral menyebar di media sosial. Penyebarannya yang sangat cepat mampu menggerakkan massa dalam waktu singkat.
Memang realitanya banyak sekali Hadis yang cenderung dipahami masyarkat awam secara tekstual. Belakangan, juga mulai muncul gejala pemahaman tekstualis di kalangan generasi muda Islam di Indonesia. Kutipan Hadis yang secara viral menyebar di media sosial seperti instagram banyak di-publish hanya teks saja tanpa penjelasan, dan ini kebanyakan dikutip oleh anak-anak muda yang sekarang sepertinya sedang tren mengutip Hadis.
Bagaimana sebenarnya kita mengatasi fenomena orang Muslim yang menggunakan Hadis secara tekstualis? Bagaimana cara menghadapi komunitas yang sering mempolitisasi Hadis atau teks agama lainnya? Berikut perbincangan Prof. Dr Nadirsyah Hosen, pengajar senior Hukum Islam di Monash University, Australia, bersama Yogi Febriandi saat mengunjungi Melbourne dalam sebuah konferensi yang diadakan oleh Universitas Melbourne yang bertajuk CILIS “Conference of Indonesian Law, Islam and Society” pada tanggal (15/11).
Bagaimana tanggapan Anda mengenai fenomena berkembangnya politisasi Hadis yang dilakukan oleh beberapa gerakan Islam di Indonesia?
Saya kira cukup mengkhawatirkan apa yang sedang terjadi saat ini di tanah air. Masyarakat awam itu taunya kan yang namanya dalil itu hanya Alquran dan Hadis. Seakan-akan di luar itu tidak ada dalil lagi. Kalau sudah mengutip ayat Alquran kemudian Hadis, dianggap sudah selesai permasalahannya.
Sementara para ulama fikih tidak mengatakan begitu. Tidak semua Hadis sahih bisa langsung kita terapkan. Siapa tau Hadis itu sudah di-mansukh (tidak berlaku hukumnya), misalkan. Sedangkan untuk tahu nasikh dan mansukh itu kan harus ada ilmunya. Tapi bagi masyarakat awam asal Hadisnya sahih ya sudah. Simpel.
Nah, perdebatan semacam ini tidak sampai kepada masyarakat awam. Jadi asal ada ayat dan ada Hadisnya, kemudian itu langsung diterima mentah oleh masarakat awam. Memang ini cara yang sangat efektif bagi kelompok gerakan yang mempolitisasi Hadis atau gerakan yang ingin kembali kepada Alquran dan Hadis untuk lebih diterima oleh masyarakat. Kenapa? Itu karena tidak njelimet.
Saya kira ini cukup memperihatinkan, karena membuat umat semakin tidak cerdas. Tapi kalau kita sudah jelaskan panjang lebar lalu ditanya Hadisnya mana? sahih atau tidak? padahal mereka juga tidak mengerti kriteria sahih itu apa, tsiqah apa, perawi itu apa, kriteria adil itu apa, mereka tidak sampai kesana. Ini problematika kita.
Saat ini, gejala menguatnya pemahaman tekstualis di kalangan anak-anak muda sangat banyak tersebar di media sosial. Bagaimana tanggapan Anda mengenai gerakan yang viral di medsos ini?
Sekarang memang era di mana belajar bisa instan lewat Google, Instagram dan sebagainya. Sementara Hadis adalah teks, sedangkan konteksnya seperti apa harus belajar asbabul wurud (konteks sejarah Hadis), melihat syarahnya. Sementara mereka hanya bilang, “Oh, ini Hadis sahih bukhari, berarti tidak ada permasalahan.”
Mengenai penjelasan lebih lanjut terkait hadis itu, mereka seolah tidak mau tahu bagaimana Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menjelaskan, Imam Nawawi dalam syarah Sahih Muslim menjelaskan, mereka tidak sampai jauh ke sana. Ini yang harus dilawan dan kita harus susah payah menjelaskan.
Jadi kalau mereka berdakwah melalui medsos seperti itu, harapan saya para kiai dan para santri turun tangan juga bersusah payah menjelaskan di media sosial, di Facebook, Instagram, Twitter, untuk menjelaskan itu. Kita juga butuh mengikuti media tren sekarang untuk menjelaskan, tentu dengan bahasa yang mudah dimengerti dan tidak njelimet.
Nah ini saya kira bagus juga kalau teman-teman di el-Bukhari Institute, buat pelatihan bagaimana menjelaskan Hadis di media sosial dengan bahasa yang simple atau kalau sekarang yang sedang tren membuat video berdurasi 30 detik di instagram dan bisa viral kemana-mana. Saya rasa itu tidak mudah bagi seseorang yang mempunyai ilmu banyak menjelaskan semuanya hanya dalam 30 detik. Hal ini karena banyak sekali yang mau dijelaskan, tapi harus bisa 30 detik. Sedangkan orang yang tekstualis ilmu mereka tidak banyak jadi bisa jelaskan dalam 30 detik saja. Ini yang harus dilatih di kalangan kita.
Kalau teman-teman seperti di el-Bukhari tidak melangkah ke sana dan hanya mengkaji dalam ruang tertutup seperti ruang pengajian, kuliah, bahsul masail dan tidak masuk ke media sosial ya kita akan kalah dengan gerakan yang tadi itu.
Lihat saja di youtube misalnya, banyak sekali ceramah ulama salafi yang di manapun mereka ceramah itu ada tim yg mengikuti dan selalu siap merekam, begitu selesai ceramah langsung di-upload dan pengikutnya langsung share kemana-mana. Jadi kita juga harus terorganisir. Sayang sekali jika ulama di kalangan kita menguasai dan mumpuni ilmunya, tapi hal teknis semacam ini kurang jadi perhatian.
Saat ini bermunculan ustad-ustad yang baru mengenal Islam, sehingga hadis-hadis yang mereka gunakan cenderung menyudutkan kelompok lain dan hadisnya sedikit bermasalah. Bagaimana solusinya menurut Anda?
Saya kira itu fenomena yang terjadi tapi sekarang solusinya apa? Kita tidak bisa melarang orang untuk berceramah. Sebab tidak ada sertifikasi buat ceramah. Sebenarnya yang disebut ustad itu apa? Asal pakai sorban apalagi mengutip ayat dan Hadis dibilang ustad oleh masyarakat kita. Kalau standarnya itu, sekarang makanya jadi banyak para artis yang mendadak menjadi ustad dan ustadzah.
Solusinya apa? Seperti tadi saya bilang, ikuti arusnya. Harus muncul para ustad yang berpandangan terbuka yang bisa menjelaskan dengan tidak njelimet, dengan bahasa yang ringan dan mudah. Kalau kita tidak mengisi tempat itu, ya mereka yang akan dapat tempat. Apalagi mereka secara penampilan menarik dan gak ndeso, dan mereka juga punya jaringan.
Saya sempat tanyakan juga, kenapa kok media lebih menyukai ustad-ustad yang seperti itu. Responnya adalah jika mereka mau mengikuti penampilan di televisi ya penampilannya harus dipoles agar eye cathing alias enak dipandang. Sedangkan di kalangan kita mungkin terlalu sufi ya susah dipolesnya.
Yang kedua, ustad di kalangan kita sukanya menjelaskan materi panjang lebar, seperti huruf ba dalam kalimat bismilah itu penjelasannya bisa panjang lebar sekali padahal umat tidak membutuhkannya. Sementara buat kita, bisa mengupas perbedaan dari berbagai macam tafsir menyenangkan. Tapi ternyata bagi masyarakat bawah tidak, bingung, bosen, ribet. Nah kubu sebelah sana itu bisa menjelaskan dengan baik. Itu kekurangan kita.
Jadi tidak cukup dan tidak boleh berhenti hanya sampai tidak menyukai keberadaan mereka. Tapi kita juga harus berpikir, misalnya kalau kita tidak bisa tampil bagaimana kita mendekati dan mengisi ilmu mereka sehingga mereka akan lebih hati-hati ketika ceramah. Bagaimana misalnya mendekati para artis yang mendadak menjadi ustad itu dengan mengadakan pelatihan Hadis dan paparkan betapa kompleks permasalahannya.
Fenomena instan dalam memahami agama juga begitu marak ditemukan. Apakah ini menandakan semacam adanya gerakan keimanan secara sosial dari masyarakat atau gerakan semacam frustasi akan ilmu agama yang dianggap terlalu sulit untuk digapai oleh masyarakat metropolitan di tengah kesibukan mereka?
Jadi ilmu agama yang dipahami masyarakat modern itu adalah agama yang praktis. Buat apa berdebat panjang kaya tadi saya bilang, tafsir ini bilang gitu. tafsir itu bilang begitu. Mereka hanya mau tau mana amalannya, aplikasinya apa? Akhirnya jadi kulitnya saja memahami agama seperti itu.
Jadi ya itu tadi, kita harus berlatih bagaimana kita sampaikan ceramah tetap dengan kedalaman materi tapi juga dengan bahasa yang santai. Sebab dialog yang santai itu bisa diterima. Memang tidak semua orang akhirnya bisa mempertahankan kedalaman materi tapi juga memoles dengan bahasa yang santai. Latihan saja di medsos di status di facebook atau media sosial lainnya. Beberapa topik di facebook saya itu misalnya lumayan berat karena saya harus bongkar beberapa kitab , tapi ternyata mereka bisa mengerti terlihat dari respon mereka di kolom komentar saya.
Ternyata dari yang saya alami justru mereka merindukan penjelasan yang seperti itu tidak cuma kulit-kulitnya. Banyak sebetulnya. Cuma para ustad tradisional ini susah kita polesnya. Seneng sekali berlama-lama menjelaskan mengenai gramatikal Arab dulu, baru keisinya. Seperti itu kan masyarakat awam mana ngerti? Ya mungkin kita gak perlu sampai sejauh itu.
Sumber: https://islami.co/wawancara-prof-nadirsyah-hosen-tidak-hadis-langsung-diterapkan/
SKU | NA-203 |
ISBN | 978-602-385-804-0 |
Berat | 250 Gram |
Dimensi (P/L/T) | 14 Cm / 21 Cm/ 0 Cm |
Halaman | 280 |
Jenis Cover | Soft Cover |