Apa yang kita petik hari ini adalah yang kita tanam kemarin. Apa yang kita miliki atau tak kita miliki sekarang adalah hasil dari yang kita semaikan sebelumnya. Apa yang kita syukuri dan kita sesali, adalah hasil dari pilihan kita dahulu untuk menyirami atau membiarkannya kering.
Teman-teman di Markas Maiyah menugasi saya untuk menuliskan secara berkala rentang proses yang saya semaikan, tanam dan siram, sejak era Dipowinatan, Kadipaten, Patangpuluhan, Kasihan, hingga Kadipiro. Termasuk cerita di balik kelahiran KiaiKanjeng dan Dinasti. Tujuannya supaya semua yang mengenyam buah, mengerti kembang dan daun kisahnya, ranting dan dahan kisah sejarahnya, serta batang pohon dan akar asal-usulnya, bahkan tanah bumi dan kebun surga sangkan paran-nya.
***
Buku ini merupakan catatan ingatan Emha Ainun Nadjib tentang bagaimana benih sebuah komunitas dituai dan ditumbuhkan. Sebuah memoar yang menceritakan masa muda Emha ketika bertemu dengan berbagai sosok penting dalam hidupnya.
Apa yang kita petik hari ini adalah yang kita tanam kemarin. Apa yang kita miliki atau tak kita miliki sekarang adalah hasil dari yang kita semaikan sebelumnya. Apa yang kita syukuri dan kita sesali, adalah hasil dari pilihan kita dahulu untuk menyirami atau membiarkannya kering.
Teman-teman di Markas Maiyah menugasi saya untuk menuliskan secara berkala rentang proses yang saya semaikan, tanam dan siram, sejak era Dipowinatan, Kadipaten, Patangpuluhan, Kasihan, hingga Kadipiro. Termasuk cerita di balik kelahiran KiaiKanjeng dan Dinasti. Tujuannya supaya semua yang mengenyam buah, mengerti kembang dan daun kisahnya, ranting dan dahan kisah sejarahnya, serta batang pohon dan akar asal-usulnya, bahkan tanah bumi dan kebun surga sangkan paran-nya.
***
Buku ini merupakan catatan ingatan Emha Ainun Nadjib tentang bagaimana benih sebuah komunitas dituai dan ditumbuhkan. Sebuah memoar yang menceritakan masa muda Emha ketika bertemu dengan berbagai sosok penting dalam hidupnya.
EMHA AINUN NADJIB, lahir pada 27 Mei 1953 di Jombang, Jawa Timur. Pernah meguru di Pondok Pesantren Gontor, dan “singgah” di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Emha Ainun Nadjib merupakan cendekiawan sekaligus budayawan yang piawai dalam menggagas dan menoreh katakata. Tulisan-tulisannya, baik esai, kolom, cerpen, dan puisi-puisinya banyak menghiasi pelbagai media cetak terkemuka. Pada 1980-an aktif mengikuti kegiatan kesenian internasional, seperti Lokakarya Teater di Filipina (1980); International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, AS (1984); Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984); serta Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman Barat (1985). Cukup banyak dari karya-karyanya, baik sajak maupun esai, yang telah dibukukan. Di antara sajak yang telah terbit, antara lain “M” Frustasi (1976), Sajak Sepanjang Jalan (1978), Syair Lautan Jilbab (1989), Seribu Masjid Satu Jumlahnya (1990), dan Cahaya Maha Cahaya (1991). Adapun kumpulan esainya yang telah diterbitkan oleh Bentang Pustaka, antara lain Arus Bawah (2014), Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (2015 dan 2018), Gelandangan di Kampung Sendiri (2015 dan 2018), Sedang Tuhan pun Cemburu (2015 dan 2018), 99 untuk Tuhanku (2015), Istriku Seribu (2015), Kagum kepada Orang Indonesia (2015), Orang Maiyah (2015) Titik Nadir Demokrasi (2016), Tidak. Jibril Tidak Pensiun! (2016), Daur I: Anak Asuh Bernama Indonesia (2017), Daur II: Iblis Tidak Butuh Pengikut (2017), Daur III: Mencari Buah Simalakama (2017), Daur IV: Kapal Nuh Abad 21 (2017), Kiai Hologram (2018), Pemimpin yang Tuhan (2018), Markesot Belajar Ngaji (2019), Siapa Sebenarnya Markesot? (2019), Sinau Bareng Markesot (2019), Lockdown 309 Tahun (2020), Apa yang Benar Bukan Siapa yang Benar (2020), dan Indonesia Bukan Bagian dari Desa Saya (2020).
Apa yang kita petik hari ini adalah yang kita tanam kemarin. Apa yang kita miliki atau tak kita miliki sekarang adalah hasil dari yang kita semaikan sebelumnya. Apa yang kita syukuri dan kita sesali, adalah hasil dari pilihan kita dahulu untuk menyirami atau membiarkannya kering.
Teman-teman di Markas Maiyah menugasi saya untuk menuliskan secara berkala rentang proses yang saya semaikan, tanam dan siram, sejak era Dipowinatan, Kadipaten, Patangpuluhan, Kasihan, hingga Kadipiro. Tujuannya supaya semua yang mengenyam buah, mengerti kembang dan daun kisahnya, ranting dan dahan kisah sejarahnya, serta batang pohon dan akar asal-usulnya, bahkan tanah bumi dan kebun surga sangkan paran-nya.
Meminjam terminologi hikmah Jawa dari Gusti Yudhaningrat Kraton Yogya, “Kalau sekarang mulai menikmati tetinggal, sebaiknya menelusuri, mendalami, menghayati, dan mensyukuri tahap bebakal dan cecikal-nya”. Dengan kata lain, kalau saya dan para anak cucu saya menikmati anugerah Allah yang bernama Maiyah—yang menakjubkan secara sosial, budaya, keilmuan, dan kerohanian—akan bisa benar-benar menjadi DNA peradaban baru apabila kita napak tilas prosesnya sejak ia disemai, ditanam, dan disirami.
Jadi, kisah yang saya rentang ini harus balik menelusuri jejak sejarah sejak dari Dipowinatan, Kadipaten, Patangpuluhan, Kasihan, hingga Kadipiro. Banyak dimensi nilai yang bisa kita temukan apabila mem-flashback ke Gontor dan Menturo.
Tentu saja semua yang saya alami hampir tiga perempat abad hidup saya berposisi hanya “diperjalankan” oleh Allah. Artinya, tidak sejak awal kita punya blueprint riwayat hidup, punya konsep, maupun outline menuju masa depan. Sangat banyak hal yang semasa usia kanak-kanak dan muda kita perjuangkan, baru kita sadari esensi maknanya ketika uzur usia seperti saya. Misalnya kesadaran menyemai, menanam, dan menyirami, bukanlah suatu ideologi dengan rangka perencanaan dan rundown yang tertata ketika semua tahap itu dilakukan dan diperjuangkan.
“Man yazra’ yahshud [siapa menanam, mengetam]”, saya mendengar kata mutiara ini dari Guru mata pelajarah Mahfudlat tatkala nyantri di Pondok Gontor Ponorogo. Puluhan tahun saya hafal kata-kata itu, tapi baru belakangan ini saya tenggelam ke kedalaman maknanya. Terutama setelah mengalami duka derita kekisruhan negara dan masyarakat yang memang dulu salah pilih benih yang disemaikan, keliru orientasi sejarah soal apa yang mesti ditanam, kemudian salah-salah dan luput-luput juga menyirami yang apa dan tidak menyirami yang mana.
Provokator atau pendorong saya menuliskan semua ini adalah Kiai Tohar, sahabat saya hampir setengah abad. Rangsangannya berasal dari rencana acara romantik Festival Dipowinatan, Yogya. Sahabat-sahabat lama saya diminta untuk mempersembahkan kembali karya-karya musik-puisi yang dulu menghiasi jagat budaya Yogya akhir 1970-an sampai awal 1980-an.
Memandang pantaimu Bali
Batu karang di timur itu adalah seorang Yogi
Duduk bersila dalam samudra.
Tidak bergeming ia oleh gelombangnya
Langit yang perkasa, menyelipkan kembang di telinganya
Bulan cantik berkunjung ke pura dan ia berkata,
“Aku persembahkan napasku kepada tanah yang merendah
dan kepada gunung, si pertapa.”
***
Berdekatankah kita
Berdekatankah kita
Sedang rasa teramat jauh
Tapi berjauhankah kita
Sedang rasa begini dekat
Seperti langit dan warna biru
Seperti sepi menyeru
O, Kekasih
Kau kandung aku
Kukandung Engkau
Seperti mengandung mimpi
Terendam di kepala
Namun sayup tak terhingga
Hanya sunyi, mengajari kita
Untuk tak mendua
Untuk tak mendua
***
Jakarta meraung
Kehidupan berderak-derak
Jakarta mengaum
Manusia berserak-serak
Kita hanya debu
Lekat di ban mobil
Terimpit aspal panas
Kita terlempar
Di parit busuk kita terkapar
Di balik gemuruh
Terdengar tangis
Dari daerah asing
Di tengah keringat dan makian
Menyelinap pisau rahasia
Menunggu saat penikaman tiba
Hujan turun
***
Adapun aku. Adapun aku, saudaraku, hanyalah ayam budak
Keringat mengucur tubuh cokelat yang keruh
Kujilat tapak kakimu di pasir tanah kurus
Kami harus membangun dunia. Kami diseret oleh zaman
Kami harus belajar A…B…C…D…
Kami dirangkul, kami disetubuhi oleh para bule
“Ini tanah kami, Tuan, silakan ambil
Sepuluh dolar, Sir, borong saja
Ini seni, seni khas Bali, ini martabat bangsa kami
Dan ini gigolo kami, Madame
Tuan-Tuan, mari telanjang bulat menyatu dengan alam
Silakan copot pakaian, kami juga sudah telanjang
Tuan perlu hiburan, kami butuh uang”
***
Tuhan, aku berguru kepada-Mu
Mendengarkan batu dan angin yang bisu
Kedunguan memberiku pengertian
Buta mata menganugerahi penglihatan
Kelemahan menyimpan berlimpah kekuatan
Jika aku tahu, terasa betapa tak tahu
Waktu melihat, betapa penuh rahasia gelap
yang dikandung cahaya
Tuhanku, aku berguru kepada-Mu
tidak tidur di kereta waktu
lebur dalam ruang
karena setiap satu mengandung seribu
Tuhan aku berguru kepada-Mu
Meragukan setiap yang kutemu
Kutimba ilmu dari yang paling dungu
Tuhan, aku berguru kepada-Mu
Gelap dan terang saling menegaskan
Garis batasnya memusnahkan jaraknya
Pada pertentangannya memancarkan kesatuannya
***
Bermakna lebih dari segala ilmu
Ialah mentertawakan diri sendiri
Sesudah kegagahan dipacu
Tahu langkah tak sedalam tangis bayi
Kelahiran dan maut memain-mainkan
Kita jadi perlu sekeras ini bersitegang
Padahal, gua Ibunda tak di masa silam
Dan, kematian tak nunggu di usia petang
Nyembah puisi, buku dikeloni, sejarah dibongkar
Kemudian sumpek dan ngerti kita terbongkar sendiri
Maka, laron tahu usia tak sampai semalam
Maka, kita pilih saat wajah sendiri dilecehkan
Membantu malaikat ngerjakan tugas dari Ki Dalang
Melakonkan cilukba wayang pergantian siang malam
Heran, kenapa Chairil minta cuma seribu tahun lagi
Padahal, jelas jatah kita abadi
***
Jabang bayi jantan betina!
Inikah yang disebut gelagat zaman yang luwes,
warna yang samar, atau pelajaran bagaimana memahami
inti nilai yang lebih tersembunyi?!
Hari-hari berputar kita terserimpung dari engsel dalam
roda mesin yang lancar
Ketika makin jelas bahwa hidup adalah pentas Barong
yang tidak pernah bubar-bubar
Kita terimpit beku dalam lingkaran setan,
karena itu berdoalah semoga malaikat juga sempat
bikin-bikin lingkaran
Hei … ini gereja, ini masjid, ini kuil, ini Diamond Night
Club, ini negara itu agama, ini penari-penari bugil itu
wakil-wakil rakyat, ini peradaban tinggi itu kehancuran
yang dianggap siluman, ini kultur ultra modern itu
primitivisme dan ultra-jahiliah, ini hak asasi manusia itu
daging kehormatan perempuan, dengan dua ribu perak
silakan pesan.
***
Bayangan suara Tuhan dan pinggul yang digoyang-goyang
Kenapa kamu merasa gatal memandangnya sebagai wayang
yang jejer berhadapan
Kata orang inilah lanskap yang membingungkan
Tapi di pandanganku: apa salahnya Kitab Suci dilombakan
sebab toh kitab suci memang hanya untuk dilomba-lombakan,
sebab kalau dipraktikkan dan dilaksanakan akan justru
menimbulkan permusuhan dan pertengkaran
Dan, apa salahnya pinggul digoyang-goyang kalau memang
untuk jiwa kita yang menggelegak bagai lautan tidak ada lain
yang bisa memberi tawaran
Hei … wahai kamu bintang gemintang
Hei … kami telah ditipu oleh arah, arah, arah
Utara dan selatan hanyalah arah, tapi utara bisa menjadi
selatan dan selatan bisa menjadi arah. Dan, selatan bisa
menjadi utara.
Jadi, ayo! Ayolah ayo ini bayangan suara Tuhan. Dan, ini
pinggul yang digoyang-goyang.
SKU | BS-542 |
ISBN | 978-602-291-793-9 |
Berat | 250 Gram |
Dimensi (P/L/T) | 13 Cm / 21 Cm/ 0 Cm |
Halaman | 228 |
Jenis Cover | Soft Cover |