Kala kita percaya bahwa
Ada harta karun dalam diri anak kita
Kita harus jadi penyelam untuk menemukannya
Tak peduli kedalaman samudera yang terdalam
Tak peduli gelapnya lautan yang tergelap
Orangtua adalah konsumen pendidikan yang penting—selain siswa—di sebuah sekolah. Jika paradigma orangtua tidak sama dengan paradigma sekolah, biasanya banyak konflik antara keduanya. Dan, yang menjadi korban adalah anak kita.
Lewat buku ringan dan praktis ini, Munif Chatib ingin membantu para orangtua menyukseskan pendidikan anak-anaknya. Berdasarkan pengalamannya sebagai praktisi pendidikan, baik mengajar langsung maupun menjadi konsultan, penulis bestseller Sekolahnya Manusia dan Gurunya Manusia ini memberikan wawasan baru yang mengubah paradigma orangtua bahwa setiap anak itu cerdas, setiap anak berpotensi, setiap anak adalah bintang, dan tak ada “produk” yang gagal.
Dengan pemahaman tersebut, diharapkan orangtua dapat memberikan stimulus dan lingkungan yang tepat sesuai bakat dan minat setiap anak. Dengan demikian, putra-putri kita akan menjadi sumber daya manusia yang tak sekadar cerdas, tetapi juga peduli terhadap lingkungannya dan menjadi seorang profesional.
Untuk itu, dapatkan dalam Orangtuanya Manusia ini paradigma baru pendidikan dan tips n tricks bagaimana:
Begitu banyak hal positif dan terpuji dalam buku ini yang akan membantu orangtua melihat keistimewaan setiap anak.
—Thomas Armstrong, Ph.D.
Ayo, segera belajar jadi orangtuanya manusia!!! Semoga kita bisa segera lulus menjadi Orangtuanya Manusia, bukan hanya orangtua yang mendidik anak-anaknya hanya bermodalkan nekad belaka.
—Ayah Edy, Penggagas Gerakan Membangun Indonesia yang Kuat dari Keluarga
Kesungguhan kita jadi orangtua akan memberikan dampak berbeda untuk anak-anak kita.
—Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari, Direktur Auladi Parenting School
Ternyata, kita semua tidak siap menjadi orangtua. Buku ini menjadi “penunjuk arah” bagaimana menjadi orangtua yang benar, tidak salah arah, dan tidak salah asuh.
—Bunda Elly Risman, Psi., Yayasan Kita dan Buah Hati
Munif Chatib adalah penulis buku laris Sekolahnya Manusia, yang terbit pada 2009 sebagai buku pertamanya. Pada tahun itu juga dia bertemu dan menjadi pembicara bersama Bobbi DePorter, gurunya dari California, Amerika Serikat, di aula kantor Kementerian Pendidikan. Hampir seribu guru hadir di ruangan itu. Pada 2009, dia juga kuliah pascasarjana mengambil Program Jurusan Pendidikan Anak Usia Dini di Universitas Negeri Jakarta. Ketertarikan mantan Direktur Lembaga Pendidikan YIMI Gresik ini pada dunia pendidikan berawal di SMA, saat ikut membantu gurunya memberikan bimbingan belajar kepada teman-temannya. Sayangnya, karena tak ada yang mengarahkan, dia masuk ke Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, “Tahun pertama seperti masuk ke dunia lain,” kenang bapak seorang putri ini. Oleh karenanya, dia tidak begitu tertarik pada dunia hukum, meskipun profesi pengacara pernah dijalaninya pada tahun pertama menjadi sarjana hukum. Hatinya lebih mantap menjadi pengajar. Bahkan sebelum lulus sarjana pun, dia pernah menjadi asisten dosen di fakultas hukum sebuah universitas baru di Sidoarjo. Sempat pula memimpin sebuah lembaga pendidikan komputer dan bahasa Inggris di Jakarta, dan akhirnya diminta oleh Universitas Nasional Jakarta untuk menjadi pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Semakin memantapkan langkahnya di dunia pendidikan, pada 1998-1999, bapak yang senang menulis puisi ini menyelesaikan studi Distance Learning di Supercamp Oceanside, California, Amerika Serikat, yang dipimpin oleh Bobbi DePorter. Dari 73 lulusan alumni pertama tersebut, dia menduduki peringkat ke-5 dan satu-satunya lulusan dari Indonesia. Tesisnya, “Islamic Quantum Learning”, cukup menggemparkan dan sampai sekarang dijadikan referensi yang diminati di Supercamp. “Islamic Quantum Learning adalah kritik tentang penokohan fiktif yang dikembangkan oleh Bobbi DePorter. Dan sepertinya, saya menemukan hal yang luar biasa, yaitu ternyata mereka mengakui bahwa nilai-nilai Islam adalah nilainilai terbaik dalam penerapan penokohan dan character building yang diajarkan di sekolah-sekolah. Ibaratnya, air sumur. Air sumur itu adalah nilai Islam dan mereka menyedotnya dengan mesin yang canggih. Sedangkan kita di Indonesia atau di sekolah-sekolah Islam mengambil air itu dengan timba bocor. Jadi, kelemahan kita terletak pada metodologi,” ujar Munif Chatib yang selalu yakin bahwa sekolah Islam mestinya dapat menjadi sekolah terbaik dan unggul. Kini, Munif Chatib menjabat CEO Next Worldview, sebuah Lembaga Konsultan dan Pelatihan Pendidikan, serta salah seorang anggota Majelis Penguji Penataan Ulang Kurikulum 2014 Pusat Kurikulum di Kementerian Pendidikan Nasional. Munif bisa dihubungi melalui:
e-mail : [email protected]
twitter : @munifchatib
situs : www.munifchatib.com
SKU | AC-26 |
ISBN | 978-602-8994-85-9 |
Berat | 400 Gram |
Dimensi (P/L/T) | 19 Cm / 24 Cm/ 0 Cm |
Halaman | 236 |
Jenis Cover | Soft Cover |