Pre Order Hingga 31 Juli 2022
Benefit : Pouch Mizan Classic (persediaan terbatas)
“Nyonya Dalloway berkata, bunga-bunganya akan dia beli sendiri.” Ini merupakan kalimat pembuka paling populer dalam sastra, mahakarya Virgina Woolf yang berkisah tentang waktu, kenangan, dan Kota London.
Setelah Perang Dunia I dan pandemi flu 1918, Clarissa Dalloway, seorang perempuan elegan dan lincah, tengah menyiapkan pesta dan mengenang orang-orang terkasih. Di bagian lain London, Septimus Smith menghadapi syok berat dan di ambang ketakwarasan. Hari-hari mereka terjalin dan kehidupan mereka bertemu saat pesta yang mencapai puncak kilauannya.
Dalam novelnya ini, Woolf menyempurnakan teknik naratif stream of consciousness. Dia juga piawai merekam serta memadukan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan, kesan demi kesan, menit demi menit, nuansa hidup itu sendiri.
Nyonya Dalloway berkata, bunga-bunganya akan dia beli sendiri.
Sebab Lucy sudah punya tugas lain. Pintu-pintu akan dicopot dari engselnya; orang-orang dari toko Rumpelmayer akan datang. Lagi pula, pikir Clarissa Dalloway, pagi ini yang sangat indah–segar bagai tercipta untuk anak-anak di pantai.
Riang ria! Bebas lepas! Begitu yang selalu terasa oleh Clarissa, ketika terdengar engsel berdecit, seperti terdengar olehnya sekarang, tatkala dia membuka lebar pintu-pintu rumahnya dan melepas diri ke tengah udara bebas Bourton. Betapa segar, betapa tenang, lebih hening dari pagi ini tentu, udara pagi kala itu; bagai alunan ombak, kecup gelombang, dingin menyengat tapi terasa khidmat (untuk gadis delapan belas tahun seperti dirinya kala itu), sementara dia berdiri di ambang terbuka, mendapat firasat bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi; menatap bunga-bunga, pohon-pohon, serta asap yang membubung di antara celah pepohonan, burung-burung gagak terbang tinggi dan menukik; terus berdiri dan hanya memandangi sampai Peter Walsh berkata,
“Melamun di antara sayur-mayur?” Itukah ucapnya? “Aku lebih suka manusia daripada kembang kol.” Atau itu? Rasa-rasanya Peter mengatakan itu suatu pagi saat sarapan, setelah Clarissa beranjak ke teras—Peter Walsh. Dia akan pulang dari India dalam waktu dekat, Juni atau Juli, Clarissa lupa, karena surat-surat Peter hambar bukan kepalang, hingga yang teringat malah kata-katanya; matanya, pisau lipatnya, senyumnya, gerutunya, dan sementara berjuta hal telah lenyap tanpa bekas—sungguh heran!—yang teringat justru beberapa ujaran pendek tentang sayur kol.
Tubuh Clarissa agak menegang di pinggir jalan, menunggu mobil barang Durtnall melintas. Perempuan memesona, pikir Scrope Purvis tentang Clarissa (sebab dia mengenalnya sebagai tetangga yang tinggal bersebelahan di Westminster); ada sesuatu ibarat burung pada diri perempuan itu, burung jenis jay, berbulu biru-hijau, ringan, lincah, meskipun usianya telah lewat lima puluh tahun, dan dia menjadi amat pucat semenjak jatuh sakit. Di sanalah dia bertengger, tak melirik Purvis sama sekali, menunggu untuk menyeberang dengan tubuh amat tegak.
Sebab dia sudah bermukim di Westminster–sudah berapa lama? 20 tahun lebih–dia merasakan, meskipun berada di tengah lalu-lintas, atau saat terjaga malam-malam, Clarissa tahu persis, semacam kesenyapan yang khas, mungkin kesyahduan; jeda tak terpeta; rasa berdebar-debar (itu karena jantungnya sendiri, barangkali, yang kata orang sudah terpapar influenza) sebelum jam besar Big Ben berdentang. Dengar!
Sungguh lantang. Awalnya ibarat pengingat, merdu, sebelum tiba sang waktu, tak dapat ditarik mundur. Lingkar-lingkar timah lesap di udara. Alangkah bodoh kita ini, pikir Clarissa sambil menyeberang Victoria Street. Karena entah apa sebab-nya kita sangat mencintai kehidupan, betapa kita menganggap-nya berharga, mereka-rekanya dalam benak, membangun nya di sekeliling kita, meruntuhkannya, menciptanya lagi dan lagi setiap saat; wanita-wanita paling lusuh, pria-pria paling nelangsa, yang duduk di muka pintu-pintu (merayakan ke jatuhan dengan mabuk-mabukan), mereka pun sama; tak terbantahkan lagi, Clarissa yakin, sungguh yakin ibarat didukung oleh Undang-Undang Parlemen: mereka cinta akan kehidupan. Di mata orang-orang, dalam tindak, langkah, dan kiprah; dalam lenguh serta ingar-bingar; kereta kuda, mobil, omnibus, mobil barang, papan reklame manusia, yang melanglang dan melenggang; orkes tiup; organ putar; dalam kejayaan dan gemerincing dan desir aneh pesawat terbang di atas kepala, di dalam semua itu ada sesuatu yang dia cintai; kehidupan; London; bulan Juni saat ini.
Waktu itu pertengahan Juni. Perang telah usai, kecuali untuk beberapa orang seperti Nyonya Foxcroft di Kedutaan, yang semalam mengenyam duka lara lantaran anak laki-lakinya yang baik telah gugur, hingga griya tua keluarga terpaksa diwariskan ke seorang sepupu; atau Lady Bexborough yang konon menggelar bazar amal sambil masih menggenggam telegram berisi kabar bahwa John, putra kesayangan, gugur; tapi perang sudah usai; syukur kepada Tuhan—sudah selesai.
Ini bulan Juni. Raja dan Ratu sedang berdiam di Istana. Di sana-sini, sungguh hari masih pagi benar, kuda-kuda poni yang lari kencang tengah dilecut dan digalakkan, tongkat kriket bertipak-tipuk; Lords, Ascot, Ranelagh dan seluruh lapangan sejenisnya, tersalut udara pagi serupa kelambu biru-abu, yang seiring datangnya siang, akan mengantar suasana rehat dan membawa duduk-duduk di rumput dan di lapangan, kuda-kuda poni yang sekarang masih berjingkrak, meloncat langsung tinggi begitu kaki depan mereka mengetuk tanah, para pemuda yang berkisar, para gadis dalam gelak tawa, terbalut gaun muslin tembus pandang, yang meskipun sudah berdansa semalam suntuk, masih mengajak berlari anjing-anjing piaraan berbulu terlalu tebal; bahkan kini, pada jam ini, para janda tua pergi tanpa bilang-bilang dalam mobil mereka demi aneka urusan misterius; pemilik toko-toko kalang kabut di balik etalase, membenahi permata imitasi dan berlian, bros-bros cantik kuno warna hijau laut dalam rancangan abad delapan belas, guna memikat calon pembeli Amerika (tapi dia harus berhemat, jangan asal membeli sesuatu dia untuk Elizabeth), dan Clarissa juga mencintai semua itu dengan gairah setia yang tak masuk akal, dia cinta menjadi dia bagian dari semua itu, sebab keluarganya dahulu bangsawan istana pada masa raja-raja George, sedang dia pun nanti malam akan berkobar dan berpendar; dia akan mengadakan pesta. dia Namun sungguh aneh, begitu melangkah ke taman, dia mendapati keheningan; ada kabut, ada dengung, itik-itik bahagia berenang lamban, burung-burung berparuh kantong terkedek-kedek; lantas siapakah itu, yang berjalan menyongsongnya, memunggungi gedung-gedung Pemerintah, dan betapa pantasnya, seraya menenteng koper berstempel Lambang Kerajaan, kalau bukan Hugh Whitbread; Hugh sahabat lamanya—Hugh yang mengagumkan!
“Selamat pagi, Clarissa!” sapa Hugh dalam nada agak meledak-ledak, karena mereka telah saling mengenal sejak kecil. “Mau ke mana?”
“Aku senang berjalan kaki di London,” jawab Nyonya Dalloway. “Lain sekali rasanya daripada berjalan kaki di desa.”
Suami istri Whitbread, sayangnya, pergi ke kota untuk menemui dokter. Orang lain pergi ke kota untuk melihat lukisan, menonton opera, membawa putri-putri mereka berkeliling; suami istri Whitbread pergi “untuk menemui dokter”. Tak terhitung berapa kali Clarissa menjenguk Evelyn Whitbread di rumah sakit. Apakah Evelyn sakit lagi? Evelyn merasa kurang sehat, Hugh bercerita, mengisyaratkan lewat bibir cemberut dan badan mengembang, badan yang jantan, amat gagah, dilapisi rapi oleh busana paripurna (pakaiannya agak terlalu apik, tapi mungkin itu wajib baginya karena pekerjaannya di Istana Raja) bahwa istrinya menderita semacam penyakit dalam, tapi tidak parah, dan sebagai sahabat lama, Clarissa Dalloway memahami ini tanpa perlu dijelaskan lagi secara terperinci oleh Hugh. Ya, tentu dia mengerti; pasti tak enak rasanya; dia jatuh iba pada Evelyn seperti saudara sendiri, tapi pada saat bersamaan merasa canggung oleh topi yang sedang dipakainya. Topi ini tak sesuai untuk pagi hari, bukan? Karena Hugh selalu membuat dirinya merasa—Hugh yang sambil bergegas hendak pergi, mengangkat topi dengan polah berlebihan, meyakinkan Clarissa bahwa dia tak berbeda dari seorang gadis delapan belas tahun, dan bahwa ia akan datang ke pesta Clarissa nanti malam sebab Evelyn benar-benar memaksanya, bahwa mungkin dia datang agak terlambat, lantaran harus lebih dulu mengantar salah satu putra Jim ke pesta di Istana—merasa selalu kurang pantas di sisi Hugh; seperti murid sekolahan; tapi dia memiliki ikatan dengan lelaki itu, sebagian alasannya karena dia mengenal Hugh sejak lama, tapi sungguh, menurutnya Hugh lelaki yang baik dalam cara tersendiri, walaupun Richard sangat geregetan dibuatnya, sedangkan Peter Walsh sampai hari ini belum memaafkan Clarissa karena menyukai Hugh.
Dia masih ingat adegan demi adegan yang berlangsung di Bourton—Peter marah besar; Hugh jelas bukan tandingan Peter dalam apa pun, tapi toh dia bukan orang dungu asli seperti kata Peter; bukan otak udang. Jika ibunya yang sudah sepuh meminta Hugh berhenti berburu atau mengantarnya ke Bath, Hugh bakal menurut tanpa sepatah pun membantah; dia benar-benar tidak egois, dan jika Peter pernah mengolok Hugh tak berhati, tak berotak, tidak punya apa-apa selain tata krama dan didikan keluarga Inggris terpandang, itu hanya karena Peter sangat geram; terkadang Peter memang luar biasa menjengkelkan; kadang sangat rewel; tapi dia kawan yang menyenangkan untuk diajak berjalan-jalan pada pagi seperti ini.
“Virginia Woolf adalah raksasa (dalam dunia kesusastraan), dan novel keempatnya yang berjudul Mrs. Dalloway adalah salah satu puncak pencapaiannya, sebuah buku yang terus menginspirasi para penulis dan pembaca generasi berikutnya.”
—The Guardian
SKU | PKT-623 |
ISBN | 0 |
Berat | 900 Gram |
Jenis Cover | Soft Cover |