Raden Saleh masih terlalu muda ketika dipisahkan dari keluarganya di Terbaya, Semarang, menjelang berakhirnya Perang Jawa. Kegeniusan dan tangan dinginnya dalam mengayunkan kuas tercium oleh para pejabat kolonial sehingga dia dikirim ribuan mil jauhnya menuju Belanda, sebuah negeri yang selama ini hanya didengarnya lewat cerita para kaum terpelajar Jawa. Terbukti dia mampu melukis bukan hanya sejarah dirinya yang gemerlap, melainkan juga wajah dan peristiwa zaman Romantis di Eropa. Bertahun hidup di tanah seberang, sang Pangeran justru merasa asing di tanah kelahirannya. Namun, tetap saja panggilan darah sebagai bangsa Jawa tidak dapat disembunyikannya di atas kanvas. Ditambah kegetiran yang menghiasi masa tua, karya dan hidup Raden Saleh berhasil menciptakan perdebatan sengit di kalangan kaum pemaham seni di masa pergerakan menuju kemerdekaan Indonesia, satu abad berikutnya.
Syamsudin, seorang arsitek awal abad ke-20, menguasai pengetahuan seni yang berkembang pada masanya. Dia berhasil menularkan minatnya terhadap lukisan Raden Saleh kepada Ratna Juwita, gadis pujaannya. Di sisi yang berbeda, Syafei, dengan gairah pemberontaknya, menempuh jalan keras menuju cita-cita sebagai bangsa merdeka. Mereka melengkapi sejarah berdirinya sebuah negeri, dengan hasrat, ambisi, dan gelora masing-masing. Dan, di tengah kekalutan panjang sosial politik sebuah bangsa yang sedang memperjuangkan nasibnya, kisah cinta selalu memberikan nyala api: hangat dan berbahaya.
“Mereka dijauhi karena gagasan-gagasan pemikiran bebas mereka ... karena manusia yang berpikir merupakan objek menakutkan bagi orang Belanda, yang menuntut kepatuhan buta.”
— Therese von Lützow, sahabat Raden Saleh di Dresden
“Hormatilah Tuhan dan cintailah manusia.”
— Moto Raden Saleh yang tertulis di pintu masuk Masjid Biru di Maxen, Dresden
“Belajarlah dari Barat, tetapi jangan jadi peniru Barat. Namun, jadilah murid dari Timur yang cerdas.”
— Tan Malaka
Iksaka Banu dilahirkan di Yogyakarta, 7 Oktober 1964. Menamatkan kuliah di Jurusan Desain Grafis, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung. Bekerja di bidang periklanan di Jakarta hingga tahun 2006, kemudian memutuskan menjadi praktisi iklan yang bekerja lepas.
Semasa kanak-kanak (1974—1976), beberapa tulisannya dimuat di Rubrik Anak Harian Angkatan Bersenjata. Pernah pula dimuat di rubrik anak Kompas, dan majalah Kawanku. Setelah dewasa, kesibukan sebagai seorang pengarah seni di beberapa biro iklan membuatnya seolah lupa dunia tulis-menulis.
Pada tahun 2000, saat menunggu ibunya yang sakit, dia mencoba menulis sebuah cerita pendek. Ternyata dimuat di majalah Matra. Sejak itu, dia kembali giat menulis. Sejumlah karyanya muncul di majalah Femina, Horison, Majas, Jurnal Perempuan, Litera, koran Media Indonesia, dan Koran Tempo. Dua buah cerpennya, “Mawar di Kanal Macan” dan “Semua untuk Hindia” berturut-turut terpilih menjadi salah satu dari 20 cerpen terbaik Indonesia versi Pena Kencana tahun 2008 dan 2009.
Buku kumpulan cerita pendeknya yang bertema kolonial, Semua untuk Hindia (2014) dan Teh dan Pengkhianat (2019) meraih penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa kategori prosa. Teh dan Pengkhianat juga menjadi buku kumpulan cerpen terbaik pilihan Badan Bahasa. Buku-bukunya yang lain adalah Ratu Sekop (2017) dan Sang Raja (2017).
“Sudah bangun, Den? Aden tidur pulas sejak berangkat. Sekarang pasti sudah lumayan segar. Betul?” Mang Ihin menoleh kepada penumpang kecil di bangku belakang, sementara tangannya sibuk memegang kendali sado dan menyalakan rokok kelobot. Batang kedua.
“Sumuhun, Mang.” Sarip Saleh memutar pinggang beberapa kali, melemaskan otot serta tulang yang terasa kaku, lantas membiarkan kedua mulutnya menguap lebar tanpa berusaha menutup dengan tangan layaknya adab para priayi. “Parantos dugi ieu teh, Mang?”
“Teu acan. Sakedap deui. Baru saja masuk gerbang tamannya, Den.” Mang Ihin menjawab pelan, di antara kepulan asap kelobotnya.
Sarip Saleh menebar pandangan ke sekeliling. Dari gerumbul daun yang tak begitu rapat, cahaya matahari pagi menerobos ke bawah, lalu berlayar di atas kabut asap hasil pembakaran dedaunan dan ranting kering, membentuk tiang putih yang berjuluran di antara deretan pohon kenari di kiri kanan jalan lurus penghubung Taman Botani dengan halaman belakang Istana Buitenzorg. Sejak memasuki
gerbang dari arah Cibatok tadi, Sarip Saleh dapat menatap sebagian kebun yang luas itu tanpa menggeser duduknya di dalam sado milik Pamanda Bupati Cianjur.
Di sisi kanan, tampak seorang bujang rumput bertubuh kurus, bertelanjang dada, sedang sibuk dengan sebatang galah, membolak-balik tumpukan daun dan ranting dalam sebuah lubang galian besar, memastikan api berkobar merata, melahap semua ada di dalam lubang. Setelah itu, si bujang menepi ke tempat dia menyimpan sepasang pikulan rotan dan peralatan potong rumput. Sambil sesekali mengucurkan air kendi ke dalam mulut, dia duduk di sebuah batu besar, membuang pandangan dari kiri ke kanan, seolah menaksir berapa lama lagi dia bersama rekan-rekannya mesti berkutat memotong rumput dan alang-alang, mencabut gulma, serta membersihkan dedaunan kering di tempat itu.
Sarip tahu, kendati bukan hal baru, pekerjaan para bujang rumput itu tak bisa disebut ringan. Seperti pernah dituturkan oleh Kanjeng Paman Bupati Cianjur kepada Sarip beberapa waktu lalu, ‘s Lands Plantentuin atau Taman Botani itu luasnya sekitar 47 hektare dengan puluhan jenis tanaman unik. Beberapa di antaranya didatangkan dari daerah-daerah terpencil di luar Pulau Jawa yang tak terbayangkan oleh Sarip sebelumnya. Di lingkungan bercurah hujan tinggi seperti Buitenzorg, kebanyakan tanaman tropis tumbuh begitu pesat, termasuk rumput dan gulmanya. Dalam beberapa pekan, boleh jadi, kerja keras si bujang rumput dan kawan-kawan tidak tampak lagi bekasnya. Walaupun demikian, agaknya iklim sejuk berikut perlakuan baik yang diperlihatkan oleh tuan-tuan kulit putih penguasa kebun ini membuat mereka cukup betah bekerja. Terbukti sejak keretanya memasuki lingkungan asri ini, Sarip selalu disambut wajah-wajah cerah bersahabat, yang berdiri sambil melambaikan tangan kepadanya.
Beberapa meter dari tempat si bujang rumput, agak ke tengah dekat kolam teratai yang sangat luas, sekelompok tentara yang tergabung dalam Korps Musik Militer Hindia Belanda sedang tekun berlatih memainkan alat tiup dan perkusi sambil menyusun barisan dalam beberapa formasi.
“Bagus, ya, Den? Gagah dan rapi. Menurut penjaga gerbang, rombongan tentara itu sudah di sini sejak jam tujuh pagi. Seminggu sekali mereka latihan musik.” Mang Ihin mengikuti arah pandang Sarip.
Sarip mengangguk. Jam tujuh? Tak heran seragam korps berwarna biru cerah dengan jumbai-jumbai epolet kuning itu kini kelihatan lembap karena keringat. Sarip enggan membayangkan berada di antara mereka saat ini, menghirup aroma tubuh berselimut peluh yang terpanggang matahari.
“Apakah kita akan berhenti di depan gedung besar bertingkat dua itu, Mang?” tanya Sarip sambil tangannya menunjuk ke depan, melewati pundak kusir.
“Bukan, Aden. Itu mah istana. Tujuan kita gedung yang lebih kecil di sebelah kanan. Setelah melewati kolam di depan itu, pasti Aden akan melihat gedungnya. Namanya, Kantor Administrasi Kebon Raya. Tah, yang itu!”
Mata Sarip mengikuti telunjuk Mang Ihin. Persis di ujung belakang barisan pemusik, tampak sebuah bangunan bercat putih, terpisah dari istana.
“Administratiekantoor van ‘s Lands Plantentuin!” Sarip membaca papan besar yang terpancang di muka bangunan itu.
“Betul, Aden, itu namanya. Aden pandai bahasa Belanda. Lidah Mamang tidak bisa menyebutkannya,” sahut Mang Ihin.
Bangunan terakhir yang diselesaikan di lingkungan Taman Botani ini adalah pelengkap dari seluruh rancangan Profesor Dr. Caspar Georg Karl Reinwardt dalam mendirikan kebun botani tropis pertama di Asia Tenggara yang diharapkan mampu menyaingi Kebun Botani Kew di Richmond, Inggris.
Dibandingkan istana bergaya Neoklasik di depannya, kantor administrasi itu tampak sangat bersahaja: sebuah bangunan segi empat yang memiliki ruang tamu menjorok ke depan, dilanjutkan dengan kanopi panjang yang menaungi jalan di depan kantor. Ruang tamu itu dilengkapi empat jendela besar bergaya kupu tarung alias berdaun ganda. Setiap jendela merupakan bingkai persegi empat yang menjulang tinggi dengan bilah-bilah kayu tersusun miring, berfungsi sebagai jalan udara jika jendela ditutup. Di atas setiap jendela, terdapat lubang angin berbentuk setengah lingkaran. Keempat jendela besar kuning gading itu pagi ini dibuka lebar, tetapi Sarip tak melihat siapa pun di dalam sana.
“Kita berhenti di sini, Aden.” Mang Ihin menarik kekang, memasukkan palang pengganjal roda, lalu melompat turun dari kereta.
“Barang-barangnya nanti saja, Mang. Kata Paman Bupati, ada kemungkinan aku tidak menginap di sini, tetapi di rumah Tuan Payen.” Sarip melambai kepada Mang Ihin yang sudah bersiap membuka tali bagasi di bagian belakang kereta.
“Euleuh. Rumah Tuan Payen itu tempat kita tidur tadi malam, bukan? Mengapa atuh Aden tidak minta Mamang menurunkannya di sana tadi malam? Jadi bolak-balik wae ieu teh.”
“Maaf, Mang. Aku sendiri belum tahu kepastian rencananya. Bukankah lebih baik membiarkan barang-barang itu tetap tersimpan di kereta daripada susah payah membongkarnya semalam, lalu menaikkannya lagi?”
“Baiklah, Aden. Tapi, Mamang tidak boleh berhenti di sini. Ini tempat orang masuk-keluar bangunan,” kata Mang Ihin sambil mengembuskan asap kelobot
SKU | BT-563 |
ISBN | 978-602-291-675-8 |
Berat | 700 Gram |
Dimensi (P/L/T) | 16 Cm / 24 Cm/ 0 Cm |
Halaman | 604 |
Jenis Cover | Soft Cover |