Merasa dibuntuti, pimpinan perampok itu berpaling seraya berkata, “Celakalah kau! Kembalilah kalau ingin selamat!”
Al-Ghazali kecil tak gentar. Dia berkata, “Dengan kebesaran Allah yang kepada-Nya kau memohon keselamatan, kembalikan bukuku. Ia tidak bermanfaat bagi kalian.”
“Buku apa?” tanya sang pemimpin heran.
“Buku di dalam tas kecil itu. Catatan pelajaranku dari para ulama di berbagai tempat,” jelas Al-Ghazali.
Terbahak-bahak menertawakan Al-Ghazali, pemimpin perampok itu berkata, “Sekarang kau tak memiliki ilmu lagi. Bukumu bersama kami!” Tapi kemudian, dia perintahkan anak buahnya menyerahkan buku itu kepada anak kecil di hadapannya.
Sejak peristiwa itu, Al-Ghazali berjuang menghafal semua catatannya.
Buku ini berisi kisah-kisah perjalanan sembilan ulama Islam dalam mencari ilmu—
inspirasi dan teladan kita semua.
Fuad Abdurahman, lahir 24 Mei di Cianjur, Jawa Barat. Jenjang Pendidikan yang pernah ditempuhnya, yaitu: MI Islamiyyah Sayang, MTs. Manarulhuda Karangtengah, PGAN Cianjur dan IAIN (sekarang UIN) Sunan Gunung Djati Bandung. Sempat beberapa tahun nyantri di Ponpes Nailul Kiram, Cinunuk Bandung.
Penulis—yang juga kaligrafer ini—pernah mengabdi di beberapa sekolah sebagai tenaga pengajar, dan bekerja di Maktabah dan Tidzkar Gallery di Al-Zulfi, Riyadh KSA, dari 2004-2007. Kini, dia menjadi penerjemah, penulis dan tour leader umrah. Pada waktu-waktu tertentu, dia juga menerima pesanan lukisan kaligrafi dan dekorasi kaligrafi di masjid-masjid.
Pada 2011, penulis meraih Islamic Book Award lewat bukunya Senyumlah Bunda, sebagai buku Islam Terbaik kategori Fiksi Anak, serta 2017 meraih Islamic Book Award lewat bukunya Keluarga yang Diberkahi sebagai buku Islam Terbaik kategori Nonfiksi Anak. Lebih kurang sudah 30 judul buku yang dia tulis.
Kini, penulis tinggal bersama istri tercinta, Siti Noor Aisah, dan kedua putranya, Faiz Zainulfikri Sulthoni dan Muhammad Farhan Rasyidi, di East Garden Residences (Komplek Perumahan Taman Cileunyi), Blok J-2, RT. 01/22, Desa Cileunyi Kulon, Cileunyi, Bandung 40261.
Penulis bisa dihubungi melalui surel: [email protected], FB: Fuad Abdurahman, IG: @kang_fuad24, Call 081395075024, dan WA 0895601757802.
- Berisi kisah menarik para pencari ilmu, di antaranya: Imam Hanafi, Imam Malik, Imam As-Syafi’i, Imam Hanbali, Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam An-Nasa’i, dan Imam Al-Ghazali.
- Gambar di dalam buku penuh warna (Full color).
- Dikemas dengan bahasa yang ringan dan mudah dipahami pembaca.
Nukilan Buku
Di setiap fase peradaban manusia dari dulu hingga sekarang, selalu dijumpai orang-orang hebat. Mereka laksana pelita yang menerangi alam semesta dan mempunyai pengaruh hingga generasi sesudahnya. Begitu juga dalam peradaban Islam, banyak dijumpai para tokoh hebat dan mumpuni serta diakui hingga sekarang.
Buku ini memuat para tokoh Islam di zamannya yang namanya harum sampai saat ini. Mereka meninggalkan warisan yang tak ternilai harganya berupa ilmu, pemikiran, fatwa, dan lainnya. Semuanya terekam dalam karya tulis mereka atau dikutip oleh para muridnya, yang berharga dan bermanfaat sampai hari ini. Nama-nama mereka tetap abadi kendati mereka sudah tiada, ratusan bahkan ribuan tahun silam.
Tentu saja, mereka bisa seperti itu karena hasil dari kerja keras mereka dalam menuntut ilmu. Mereka melakukan pengembaraan dalam mencari ilmu ke pelbagai kota dan negeri. Mereka tetap semangat, sabar, dan tekun, kendati mereka kurang biaya dan terbatasnya sarana dan transportasi. Man Jadda wa Jada, siapa yang bersungguh-sungguh dalam suatu hal, pasti dia akan mendapatkannya.
Kisah-kisah perjalanan mereka dari mulai mencari ilmu hingga menjadi ulama hebat, bisa disimak dalam buku ini. Semoga menjadi inspirasi dan teladan bagi kita semua, terutama kepada anak-anak yang masih menuntut ilmu.
Selain untuk anak-anak, buku ini juga penting dimiliki oleh para orangtua dan para pendidik. Mudah-mudahan bermanfaat untuk semuanya. ?mîn yâ mujîbas sâilîn. Selamat membaca!
IMAM HANAFI
BIOGRAFI SINGKAT IMAM HANAFI
Suatu hari, Tsabit, ketika masih kecil, pernah diajak oleh ayahnya, Zautha, menemui Khalifah Ali bin Abi Thalib di Kufah. Sang Khalifah menerimanya dengan baik. Saat itu, Khalifah Ali berkata kepada Zautha yang ditujukan untuk Tsabit, “Mudah-mudahan, dari antara keturunannya ada yang menjadi orang yang saleh dan agung.”
Zautha dalam kisah di atas adalah kakeknya Imam Hanafi, sedangkan Tsabit adalah ayahanda Imam Hanafi. Doa Khalifah Ali dikabulkan oleh Allah Swt. karena akhirnya Tsabit mempunyai seorang anak lelaki yang kelak menjadi seorang imam yang diikuti. Ya, beliaulah Nu’man bin Tsabit atau lebih dikenal dengan sebutan Imam Hanafi.
Imam Hanafi lahir di Kufah pada 80 Hijrah, pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan. Beliau lahir pada masa hidup para sahabat muda. Beliau pernah melihat sahabat Nabi, Anas bin Malik, di Kufah. Imam Hanafi pernah berkata, “Aku pernah bertemu dengan tujuh sahabat Rasulullah, dan aku pernah mendengar hadis dari mereka masing-masing.”
Julukan Hanafi atau Hanifah yang beliau sandang karena beliau punya putra, di antaranya bernama Hanifah. Jadilah orang memanggilnya dengan Abu Hanifah. Ada juga yang mengatakan bahwa Nu’man disebut Abu Hanifah karena beliau erat berteman dengan “tinta”. Ke mana pun beliau selalu membawa tinta untuk menulis pelajaran yang diperoleh dari gurunya. Kata “hanifah” dalam bahasa Irak berarti tinta.
Dalam bidang fiqih, Imam Hanafi menjadi rujukan utama. Pendapat-pendapatnya masih diikuti sampai sekarang. Para muridnyalah yang menyebarluaskan pendapat-pendapat Imam Hanafi tersebut, lalu menulisnya, lalu menamakannya sebagai Mazhab Hanafi.
Selain mengajar di majelisnya, Imam Hanafi juga berdagang kain di pasar. Beliau mewarisi ayahnya yang juga seorang pedagang besar. Sejak remaja, beliau telah diajak oleh ayahnya untuk menemaninya berdagang kain di pasar sehingga pada saat beliau sudah menjadi ulama besar dan menjadi panutan umat pun, Imam Hanafi masih berdagang kain di pasar.
***
Suatu ketika, Imam Hanafi mendapat cobaan. Pada 127 Hijrah, pemerintahan Dinasti Umayyah jatuh dan digantikan oleh Dinasti Abbasiyah. Wilayah Irak ketika itu dipimpin oleh seorang gubernur bernama Yazid bin Amr. Beliau menunjuk Imam Hanafi sebagai Kepala Urusan Perbendaharaan Negara (Baitul Mal). Namun, Imam Hanafi menolaknya. Beliau lebih mencintai mengajar daripada menjadi pejabat.
Di lain hari, sang Gubernur menawari Imam Hanafi sebagai Qadhi (hakim). Namun, jabatan ini pun ditolaknya. Sang Gubernur marah atas penolakan Imam Hanafi. Beliau dimata-matai setiap gerak-geriknya, sampai diancam akan dipenjara. Mendengar ancaman sang Gubernur, Imam Hanafi yang berjiwa tegar dan jujur menanggapinya, “Demi Allah, apa pun yang terjadi aku tidak akan menerima jabatan yang ditawarkan kepadaku.”
Sang Gubernur telah bersumpah akan memukul dan memenjarakan Imam Hanafi jika beliau menolak jabatan yang ditawarkannya. Bahkan, para ulama yang mendengar sumpah sang Gubernur, merasa khawatir akan keselamatan Imam Hanafi. Kemudian, mereka mendatangi Imam Hanafi dan meminta agar beliau menerima tawaran sang Gubernur.
Imam Hanafi tetap pada pendiriannya. Beliau pun ditangkap dan dipenjara. Setiap hari, beliau dicambuk sepuluh kali. Sang Gubernur berharap Imam Hanafi mau menerima jabatan yang ditawarkannya. Akan tetapi, Imam Hanafi bersikukuh tidak mau menerima jabatan apa pun. Beliau menerima cobaan yang dialaminya dengan ikhlas dan sabar. Imam Hanafi hanya berkata, “Hukuman dunia dengan cemeti itu lebih baik dan lebih ringan
bagiku daripada cemeti di akhirat nanti.” Karena keteguhan hatinya, akhirnya Imam Hanafi dibebaskan dari penjara.
Namun, pada 132 Hijrah, di usia senjanya, Imam Hanafi kembali mendapat ujian. Beliau ditawari jabatan sebagai Qadhi (hakim) kerajaan Abbasiyah di Bagdad. Imam Hanafi menolaknya. Karena menolak, untuk kedua kalinya Imam Hanafi dimasukkan ke penjara. Setiap pagi, beliau menerima cambukan serta lehebeliau dikalungi rantai besi yang berat. Padahal, usianya sudah mendekati 60 tahun.
Mendengar anaknya dicambuk sedemikian rupa oleh khalifah yang kejam, ibunya merasa iba dan mendatanginya suatu hari. Sang Ibu berkata kepada Imam Hanafi yang bertambah lemah, “Wahai Nu’man! Anakku yang kucintai! Buanglah jauh-jauh pengetahuan yang telah engkau punyai itu. Karena tidak ada
yang kau dapati selama ini, selain penjara, pukulan, cambuk, dan kalung rantai besi itu!”
Sang Anak, Imam Hanafi, tersenyum dan menjawabnya dengan lemah lembut, “Wahai Ibu! Jika aku menghendaki kemewahan hidup di dunia ini, tentu tidak akan dipukuli dan dipenjarakan. Namun, aku menghendaki keridhaan Allah semata-mata dengan memelihara ilmu pengetahuan yang telah kudapati. Aku tidak akan
berpaling dari pengetahuan yang selama ini kupelihara pada kebinasaan yang dimurkai Allah Swt.”
Suatu hari, Imam Hanafi dipanggil Khalifah Al-Manshur. Ketika sudah berada di hadapannya, beliau dipersilakan untuk minum. Tanpa ada curiga sedikit pun, Imam Hanafi lalu meminumnya. Kemudian, beliau dikembalikan ke penjara. Namun, beberapa saat kemudian, Imam Hanafi merasakan tidak enak badan. Ternyata, beliau diracun oleh penguasa kejam.
Merasa dirinya akan wafat, Imam Hanafi, lalu bersujud kepada Allah. Beliau wafat dalam keadaan sujud khusyuk kepada Allah Swt. di dalam penjara. Beliau wafat pada bulan Rajab tahun 150Hijrah, dalam usia 70 tahun. Jenazah beliau dimakamkan di pekuburan Al-Khaizaran di Kota Bagdad.
SKU | NA-179 |
ISBN | 978-602-385-715-9 |
Berat | 380 Gram |
Dimensi (P/L/T) | 19 Cm / 24 Cm/ 0 Cm |
Halaman | 228 |
Jenis Cover | Soft Cover |