Buku PEMIMPIN YANG TUHAN - Emha Ainun… | Mizanstore
  • PEMIMPIN YANG TUHAN
Ketersediaan : Tersedia

PEMIMPIN YANG TUHAN

    Deskripsi Singkat

    “Kenapa sekarang ini manusia menjadi sangat pemarah?” Pertanyaan yang dilontarkan Emha Ainun Nadjib di atas tampaknya mewakili banyak orang di negeri ini. Kita semua menjadi sering marah pada hal-hal yang justru sebelumnya bisa kita tertawakan bersama. Belakangan, kita juga cepat marah pada perbedaan pendapat, termasuk dalam menentukan “siapa yang paling… Baca Selengkapnya...

    Rp 89.000 Rp 75.650
    -
    +

    “Kenapa sekarang ini manusia menjadi sangat pemarah?”

    Pertanyaan yang dilontarkan Emha Ainun Nadjib di atas tampaknya mewakili banyak orang di negeri ini. Kita semua menjadi sering marah pada hal-hal yang justru sebelumnya bisa kita tertawakan bersama. Belakangan, kita juga cepat marah pada perbedaan pendapat, termasuk dalam menentukan “siapa yang paling pantas menjadi pemimpin”.

    Setiap orang pasti memilih pemimpin yang bisa dipercaya.Namun, percaya membabi buta kepada pemimpin tersebut justru bisa menjadi persoalan. Berprasangka baik memang perbuatan yang dianjurkan. Namun, selalu berprasangka baik tanpa sedikit pun meletakkan sikap kritis malah membahayakan.

    Melalui Pemimpin yang "Tuhan", sekali lagi Emha mengajak kita untuk mawas diri. Tidak hanya kepada pemimpin yang lalim, tetapi juga berhati-hati agar jangan sampai terjebak menjadi rakyat yang lalim.

    Tentang Emha Ainun Nadjib

    Emha Ainun Nadjib

    EMHA AINUN NADJIB, lahir pada 27 Mei 1953 di Jombang, Jawa Timur. Pernah meguru di Pondok Pesantren Gontor, dan “singgah” di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Emha Ainun Nadjib merupakan cendekiawan sekaligus budayawan yang piawai dalam menggagas dan menoreh kata-kata. Tulisan-tulisannya, baik esai, kolom, cerpen, dan puisi-puisinya banyak menghiasi pelbagai media cetak terkemuka.

    Pada 1980-an aktif mengikuti kegiatan kesenian internasional, seperti Lokakarya Teater di Filipina (1980); International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, AS (1984); Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984); serta Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman Barat (1985).

    Cukup banyak dari karya-karyanya, baik sajak maupun esai, yang telah dibukukan. Di antara sajak yang telah terbit, antara lain “M” Frustasi (1976), Sajak Sepanjang Jalan (1978), Syair Lautan Jilbab (1989), Seribu Masjid Satu Jumlahnya (1990), dan Cahaya Maha Cahaya (1991). Adapun kumpulan esainya yang telah terbit, antara lain Indonesia: Markesot Bertutur, Markesot Bertutur Lagi, Arus Bawah (2014), 99 untuk Tuhanku (2015), Istriku Seribu (2015), Kagum kepada Orang Indonesia (2015), Orang Maiyah (2015), Titik Nadir Demokrasi (2016),  Tidak. Jibril Tidak Pensiun! (2016), Daur I: Anak Asuh Bernama Indonesia (2017), Daur II: Iblis Tidak Butuh Pengikut (2017), Daur III: Mencari Buah Simalakama (2017), Daur IV: Kapal Nuh Abad 21, Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (2018), Gelandangan di Kampung Sendiri (2018), Sedang Tuhan pun Cemburu (2018), dan Kiai Hologram (2018).




    Keunggulan Buku

    Keunggulan Buku

    • Cak Nun merupakan penulis yang sangat produktif dan peka terhadap perubahan zaman. Tulisan-tulisan beliau mengajak kita untuk selalu bertanya terhadap segala hal.
    • Saat ini Indonesia tengah diributkan dengan isu “mencari pemimpin yang tepat dan amanah”, buku ini membahas secara kritis fenomena tersebut
       

    Nukilan
    Kita semakin kehilangan kemampuan untuk benar tanpa menyalahkan. Kita semakin tidak sanggup untuk benar, kecuali harus dengan menyalahkan. Yang benar kita, orang lain salah. Semua dan setiap pihak berdiri pada posisi itu. 

    Benar dan salah harus jelas di wilayah hukum. Namun, di wilayah budaya, ada faktor kebijaksanaan. Di wilayah politik, ada kewajiban untuk mempersatukan. Agama menuntun kita dengan menghamparkan betapa kayanya dialektika antara sabil (arah perjalanan), syari’ (pilihan jalan), thariq (cara menempuh jalan), dan shirath (presisi keselamatan bersama di ujung jalan). 

    Itulah “kemanusiaan yang adil dan beradab”, “persatuan Indonesia”, “hikmat kebijaksanaan” serta “keadilan sosial bagi seluruh”, bukan “bagi sebagian”. Namun, kita muter-muter di dalam lingkaran setan, tempat kita harus selalu menyalahkan demi supaya kita benar. Supaya kita benar, diperlukan orang dan pihak lain yang salah. Kita tidak bisa benar dengan kebenaran itu sendiri secara autentik dan mandiri.

    Rakyat kecil sanggup melaksanakan “organisme kebenaran”-nya secara natural dan kultural. Namun, kaum menengah dan elite pemimpin belum pernah berhasil menyelenggarakan “organisasi kebenaran” negara dan pemerintahan untuk menciptakan zona nyaman bagi rakyat. Istilah Jawa-nya: di bawah sudah berlangsung “desa mawa cara”, tetapi di atas belum berlangsung “negara mawa tata”.

    Apakah itu disebabkan oleh ketidakyakinan atas kebenaran yang kita pilih? Atau, ketidakjelasan pengetahuan dan ilmu tentang kebenaran? Ataukah semacam kelemahan mental, ketika kita selalu memerlukan orang untuk kita salahkan, sebagai syarat psikologis agar kita merasa benar?

    Atau, memang ini hakikat hidup? Ada benar dan salah, baik dan buruk, indah dan jelek. 

    Saya mengkritik keras diri saya dan memeriksa ulang seluruh pengetahuan dan sikap hidup saya. Seberapa kadar keterlibatan saya dalam kelemahan ilmu dan penyakit mental jenis ini. Saya tidak pernah mengemukakan kebenaran kalau yang saya maksudkan adalah kebatilan. Saya tidak pernah meluluskan keburukan sebagai kebaikan dengan akibat-akibat sosial yang sebenarnya luar biasa besar dan berbahaya.

    Saya berbicara dan menulis apa adanya. Namun, saya kasih tahu diri saya bahwa yang dimaksud apa adanya itu tidak berarti pasti benar dan baik. Saya apa adanya adalah saya dengan kelemahan mental, ketidakcukupan ilmu, kesempitan pengetahuan. Mungkin juga ketidakterbimbingan oleh kebijaksanaan.

    Kalau saya menengok keluar jendela hidup saya, menatap Indonesia dan dunia, rasanya beberapa tahun belakangan ini sangat digaduhkan oleh situasi-situasi “benar ialah menyalahkan”, “baik ialah menjelek-jelekkan”, sebagaimana “menang ialah mengalahkan”.

    Nenek moyang jadul saja punya “menang tanpa ngasorake”. Apalagi kalau tak diperjelas peta nilainya kita bisa terpeleset: karena menang, kita merasa benar dan baik. Hamparan yang saya pandang di luar jendela itu ternyata bukannya tanpa saya. Saya tidak steril dari merasa benar dan merasa baik. Saya tidak merdeka dari keterpelesetan ilmu, kesembronoan mental, dan ketidakwaspadaan sikap sosial. Saya merasa tidak terikat oleh kepentingan keduniaan apa pun, tetapi tidak berkepentingan itu sendiri adalah suatu jenis kepentingan. Sebagaimana konsistensi untuk tidak berpamrih sebenarnya adalah perjuangan pamrih juga, meskipun pamrihnya adalah tidak berpamrih.

    Jangan-jangan manusia memang “dipermainkan” oleh hakikat hidupnya sendiri. Cahaya disadari dan dirindukan dari area kegelapan. Malam menerbitkan kebutuhan terhadap siang. Penderitaan menyeretkan dambaan untuk memperoleh kebahagiaan. Tuhan adalah “muqallibul qulub”, pembolak-balik hati manusia. Tuhan penyelenggara “ikhtilafil laili wannahar”, arsitek pergantian siang malam. Meskipun Tuhan menolong kita di tengah pusaran kebingungan:“muhawwilul hal wal ahwal”, mengurus segala urusan. Ia juga “balighul amr”, mengantarkan kita menuju keberesan sesuatu yang kita perjuangkan.

    Saya pernah mendengar dari nenek moyang bahwa gagasan orisinal Tuhan ketika menciptakan Adam adalah positivisme. Ia menciptakan makhluk-makhluk untuk diajak bermesraan. Ia menciptakan hamba-hamba untuk mematuhi kehendak-Nya karena Ia memenuhi segala kebutuhan kesejahteraan dan kebahagiaan. Sampai kemudian Iblis mengacaukannya.
    Makhluk senior yang dahulu paling dekat dengan Tuhan ini memang usil dan iseng punya. Tujuh ribu tahun ia paling rajin mengabdi, paling khusyu’, paling ruku’, dan paling sujud. Namun, ternyata diam-diam ia menyimpan kelelahan dan dendam di dalam jiwanya. Ketika Tuhan memberinya waktu untuk istirahat, ia diiringi ribuan malaikat berkeliling-keliling jagat raya. Sesampainya di Bumi, ia tak mau kembali ke kampungnya di langit tujuh.
    Ternyata Kanjeng Idajil ini hedonis materialistis. Makhluk “hubbud-dunya”, pencinta dunia, penggemar benda dan segala sesuatu yang kasatmata dan bisa dinikmati dengan pancaindra. Ia cemburu pada gagah dan atletisnya tubuh sang Adam, wajah handsome-nya, kesempurnaan konstruksinya serta proporsi struktur badannya. Lebih dengki lagi pada jabatan Adam yang diserahi Tuhan untuk memimpin kehidupan di dunia.
    Maka, Iblis bersumpah akan memelesetkan langkah Adam, mengaburkan ilmunya, membalik pengetahuannya, menggoda hatinya, dan menggerogoti iman dalam jiwanya. Lancang dan gagah berani Smarabhumi Idajil ini. Maka, terjadilah polarisasi. Pemetaan protagonis dan antagonis. Densitas positif dan kerapatan negatif. Pergantian siang dan malam. Pertentangan cahaya dengan kegelapan. Kesucian dan kemaksiatan. Ketundukan dan keingkaran. Efisiensi dan pemborosan. Bahkan, kesabaran dan ketergesaan.

     

    Kutipan
    "Allah tidak butuh matematika. Namun, Ia mempermudah manusia dengan perkenan ijtihad dan ilmu, antara lain dengan merumuskan satuan angka ketika 6 X 6 = 36."

    "Kalau engkau menakhodai bangsa besar, pasti jangan dengan kekerdilan mental dan kerendahan jiwa. Kalau rakyat kuat engkau panglimai dengan manajemen kelemahan, akan terjungkal."

    "Kita banyak salah pandangan terhadap masa silam. Keliru pengetahuan dan tidak tepat ilmu dalam memperlakukan diri kita pada masa silam. Oleh karena itu, kita akan terantuk-antuk batu gaib dalam perjalanan ke masa depan.

    "Kebanyakan orang sekarang mencari kebahagiaan dengan melakukan perjalanan keluar dirinya. Mereka membangun gedung-gedung dan menyelenggarakan kemudahan-kemudahan hidup melalui teknologi. Sementara Orang dahulu menemukan kebahagiaan sesudah menempuh perjalanan ke dalam dirinya. Menemukan kesejatian diri yang berlaku abadi."

    "Cintaku membabi buta pada Indonesia. Pada siang ataupun malam. Pada musim kemarau dan penghujan. Cintaku kalap padanya dalam keadaan segar ataupun sakit. Cintaku pada Indonesia kubawa hingga kelak ke surga ataupun neraka."


    “Aku menyayangi semua makhluk Allah. Aku memafhumi pilihan pakaian mereka masing-masing. Pilihan cara berpikir, pilihan keyakinan, pilihan presiden dan lurah, serta apa pun. Hal-hal yang berkait langsung dengan akidah ketuhanan, bukan hakku untuk mencampuri. Itu adalah transaksi perniagaan langsung mereka dengan Tuhan.”

    Resensi

    "Emha Ainun Nadjib juga berperan aktif saat terjadinya tranformasi politik dari Orde Baru ke Orde Reformasi. Ia juga salah satu anggota dari Dewan Sembilan yang menghadiri pidato pengunduran diri Presiden Soeharto di Istana Merdeka.

    "Setelah memasuki Orde Reformasi, Emha Ainun Nadjib memutuskan untuk melakukan pendidikan politik ke masyarakat melalui gerakan sholawat. Ia memadukan kesenian, kebudayaan, politik, ekonomi, dan agama secara holistik dan komprehensif.

    "Dalam melakukan pendidikan politik ke masyarakat, Emha Ainun Nadjib hampir selalu ditemani oleh gamelan Kyai Kanjeng dan pemainnya. Gamelan Kyai Kanjeng sendiri, selain menjadi nama gamelan, juga merupakan nama sebuah konsep nada pada alat musik gamelan tersebut.    

    "Setiap bulan, Emha Ainun Nadjib melakukan aktivitas rutinnya, Maiyah, yang memiliki arti gotong royong. Induk dari Maiyah berada di Jombang, yang bernama Masyarakat Padhang Bulan. Komunitas Maiyah di Yogyakarta bernama Mocopat Syafaat, di Jakarta bernama Kenduri Cinta, di Semarang bernama Gambang Syafaat, di Surabaya bernama Bang Bang Wetan, di Banyumas bernama Juguran Syafaat, dan masih banyak lagi.

    "Pada tahun 2005, terjadi perubahan besar pola dan isi serta konten dekonstruksi yang dilakukan oleh Emha. Emha Ainun Nadjib mulai menggemakan tentang kebesaran Nuswantara. Ia sangat konsisten. Ia terus melakukan agitasi dan propaganda tentang kebesaran, kejayaan, dan keluhuran Nuswantara di dalam setiap kegiatannya. Tema besar tersebut membawa perubahan juga pada karya pertunjukan, film, maupun tulisan Emha Ainun Nadjib.

    "Bahkan, bersama putra sulungnya, Sabrang Mowo Damar Panuluh, mereka saling mengisi dan melengkapi. Sabrang Mowo Damar Panuluh memiliki pemahaman tentang sains mekanik dan kuantum. Emha Ainun Nadjib paham dan mengerti bahwa kebijaksanaan masa lalu leluhur Nuswantara, akan lebih mudah dimengerti dan dipahami oleh generasi saat ini dengan menggunakan pendekatan sains."

    Sumber: https://tirto.id
     

    Kritis dan Independen, Emha Ainun Nadjib Diberi Penghargaan HIPIIS

    Oleh: Tok Suwarto
    6 Agustus, 2017 - 21:27

    SOLO, (PR).- Organisasi para ilmuwan sosial, Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS), akan menganugerahkan penghargaan kepada Emha Ainun Nadjib dan ilmuwan Prof. Dr.R  Siti Zuhro. Cendekiawan dan budayawan itu dijadwalkan menerimanya dalam Kongres ke-10 HIPIIS dan konferensi internsional yang digelar di Solo Baru, Kab. Sukoharjo, 9-10 Agustus 2017 mendatang.

    Penganugerahan “HIPIIS Social Science Award 2017” yang merupakan tradisi tahunan organisasi HIPIIS itu, akan dilaksanakan di Pendapa Kabupaten Sukoharjo, dilanjutkan dengan orasi kebudayaan oleh Emha Ainun Nadjib. 

    Alasan penganugerahan “HIPIIS Social Science Award 2017” kepada budayawan Emha Ainun Najib, menurut Prof. Ravik Karsidi, karena HIPIIS menilai, sebagai budayawan Emha memiliki daya kritis yang sangat independen. Bahkan, Emha dianggap produktif dalam membuat wacana kebangsaan, tidak terikat dalam afiliasi tertentu dan memiliki komitmen kebangsaan kuat.

    "Budayawan Emha Ainun Nadjib tidak punya ikatan ke sana atau ke mari. Komitmen kebangsaannya sangat kuat. Dia kritis dalam mengritik banyak hal, tidak hanya terhadap birokrat tetapi juga semua lapisan masyarakat. Itulah ilmuwan sosial yang pantas mendapat award," tandasnya.

    sumber: http://www.pikiran-rakyat.com

    Spesifikasi Produk

    SKU BS-528
    ISBN 978-602-291-512-6
    Berat 320 Gram
    Dimensi (P/L/T) 13 Cm / 21 Cm/ 0 Cm
    Halaman 400
    Jenis Cover Soft Cover

    Produk Emha Ainun Nadjib

















    Produk Rekomendasi