TAKASHI MATSUOKA
|
Besar di Hawaii. Sejak kecil, Takashi sudah bercita-cita menjadi penulis, mengikuti jejak sang ayah, seorang reporter surat kabar di Hawaii. Sempat bekerja di kuil Buddha Zen—barangkali ini latar belakang yang menyebabkannya fasih menggambarkan kehidupan spiritual di kuil Zen dalam bukunya—Takashi juga belajar tentang hukum di New York, meskipun kini hanya menulis dan tinggal di Honolulu bersama anak perempuannya. Dalam kisah Samurai yang liris ini, Takashi menggugat sejarah kelam dan pemikiran sempit bangsa Jepang karena mengisolasi diri selama berabad-abad. Alur yang beralih-alih secara lincah membuat kisah ini sangat dinamis. Kita akan tenggelam dalam perjalanan berliku yang dilukiskan secara detail dan menyelami dunia para bangsawan, geisha, ninja, samurai, dan rahib. Takashi juga mengajak kita berimajinasi sekaligus berkontemplasi, dengan menyelami perpaduan unik kemanusiaan dan keanggunan kuno khas Jepang di samping merenungi makna kehidupan dan kematian. Dan dengan cakupan masa yang melintasi rentang abad, kisah ini pun menjadi karya klasik yang tak lekang oleh zaman. Selain buku Samurai: Kastel Awan Burung Gereja, yang sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, Takashi Matsuoka juga menulis sekuelnya, Samurai: Jembatan Musim Gugur. |


