Buku POLITIK KESETARAAN - Heiner Bielefeldt | Mizanstore
Ketersediaan : Tersedia

POLITIK KESETARAAN

    Deskripsi Singkat

    Isu Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB) di Indonesia jarang menjadi wacana publik. Tetapi, disadari atau tidak, ada persoalan-persoalan serius seputar KBB yang bersifat laten, tersembunyi, terbengkalai, tak terselesaikan, atau bahkan terkesan dibiarkan. Isu ini baru mencuat ketika terjadi kasus-kasus serius, sebutlah kasus terusirnya pengungsi Syiah asal Sampang, terusirnya penganut Ahmadiyah… Baca Selengkapnya...

    Rp 99.000 Rp 40.000
    -
    +


    Isu Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB) di Indonesia jarang menjadi wacana publik. Tetapi, disadari atau tidak, ada persoalan-persoalan serius seputar KBB yang bersifat laten, tersembunyi, terbengkalai, tak terselesaikan, atau bahkan terkesan dibiarkan. Isu ini baru mencuat ketika terjadi kasus-kasus serius, sebutlah kasus terusirnya pengungsi Syiah asal Sampang, terusirnya penganut Ahmadiyah asal Mataram, tuntutan pengakuan agama-agama asli Indonesia sebagai bagian agama/keyakinan yang diakui secara resmi oleh negara, kasus pindah-agama yang berimplikasi pada hak asuh terhadap anak dan hak waris, kebebasan berpendapat yang ditengarai mengarah kepada penodaan agama, pemahaman agama yang tidak ramah atau mengandung kebencian terhadap penganut agama/keyakinan yang berbeda, kecenderungan diskriminasi gender dalam tafsir keagamaan menyangkut posisi/peran perempuan, persoalan pengaturan waktu/tempat ibadat di tempat kerja, isu mata pelajaran agama bagi siswa Muslim di sekolah Kristiani, politik pengerahan opini publik dari agama arus utama yang cenderung menyudutkan kelompok-kelompok agama minoritas, isu pendirian rumah ibadat dan penyebaran agama, dan seterusnya.

    Buku ini memberikan penjernihan konseptual atas dimensi-dimensi KBB, termasuk menyodorkan rekomendasi strategis dan praktis bagi berbagai pemangku kepentingan, tetapi tidak secara khusus membedah kasus-kasus pelanggaran KBB yang ada. Sebuah tulisan penting yang disusun oleh pakar hukum dan HAM, Prof. Heiner Bielefeldt, dalam posisinya sebagai Pelapor Khusus PBB bidang Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan, berdasarkan laporan dan temuan lapangan di berbagai negara.

    Tentang Heiner Bielefeldt

    Heiner Bielefeldt

    Heiener Biedelfeldt adalah Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Beliau juga merupakan Professor Hukum dan HAM di University of Erlangen-Nuremberg, Jerman.

    Pelapor Khusus, Perwakilan Khusus Sekretaris Jenderal, dan Pakar Independen adalah gelar yang diberikan kepada orang-orang yang bekerja atas nama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam lingkup mekanisme "Prosedur Khusus". Orang-orang ini membawa mandat dari Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, baik itu mandat negara atau mandat bertema. "Rapporteur" merupakan kata berbahasa Prancis yang digunakan untuk menyebut seorang penyelidik yang tunduk di bawah lembaga berwenang.

    Mandat PBB adalah "menyelidiki, mengawasi, menyarankan, dan melaporkan secara terbuka" permasalahan hak asasi manusia melalui "aktivitas yang dilakukan sesuai prosedur khusus, termasuk menanggapi keluhan perorangan, operasi dan manipulasi psikologis melalui media dan pendidikan yang terkontrol, melakukan penelitian, memberi saran mengenai kerja sama teknis di tingkat negara, dan terlibat dalam aktivitas promosi terbuka."[1] Buku panduan Internal Advisory Procedure to Review Practices and Working Methodsyang diterbitkan Coordination Committee of Special Procedures tanggal 25 Juni 2008 menyebut para pelapor ini "pemegang mandat". Mandat ini juga dilaksanakan oleh "Perwakilan Khusus Sekretaris Jenderal", "Pakar Independen", atau kelompok kerja yang beranggotakan lima orang (satu orang mewakili satu kawasan di dunia).




    Keunggulan Buku


    Pengantar Penulis untuk Edisi Indonesia

    Hak untuk Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (disingkat KBB) adalah salah satu hak asasi manusia yang diakui secara internasional. Negara-negara di dunia telah menyatakan komitmen mereka untuk menghargai, melindungi dan mempromosikan hak ini, bersama dengan hak-hak asasi yang lain. Namun, kita tahu, kenyataan sering berbeda secara dramatis dari norma-norma baku.

    Di seluruh wilayah dunia, banyak orang yang hak untuk kebebasan beragama atau berkeyakinannya dilanggar. Kelompok-kelompok minoritas menghadapi kesulitan yang amat besar ketika ingin mendirikan rumah ibadah; komunitas yang tak memiliki pengakuan resmi kerap hidup dalam ketidakpastian hukum, yang membuat mereka rentan terhadap tekanan atau intimidasi; anak-anak kelompok minoritas dapat mengalami indoktrinasi di sekolah; komunitas-komunitas adat hidup dalam kekhawatiran akan kehilangan warisan spiritual mereka; orang-orang yang berpindah agama atau kritis terhadap agamanya berisiko dituduh melakukan “penodaan agama” atau murtad yang berimplikasi serius, bahkan di beberapa negara bisa berakhir dengan hukuman mati. Kita juga tidak boleh lupa banyak perempuan mengalami pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan berbarengan dengan diskriminasi atas dasar gender, misalnya dalam konteks hukum keluarga berdasarkan agama yang dipaksakan oleh negara.

    Selain persoalan pelanggaran, kebebasan beragama atau berkeyakinan juga kerap disalahpahami pada tingkat konseptual. Beberapa negara dengan keliru mengaitkan kebebasan beragama atau berkeyakinan dengan agenda anti-penodaan agama yang sangat membatasi, dan dengan demikian mengingkari kebebasan seseorang untuk memiliki pandangan keagamaan berbeda. Ada juga negara-negara lain yang melemahkan kebebasan beragama atau berkeyakinan dengan secara keliru menyamakannya dengan kebijakan toleransi terbatas, sehingga mengaburkan perbedaan konseptual antara ide lama mengenai toleransi dan penghormatan berbasis hak yang didasarkan pada kesetaraan. Ada juga yang membatasi kebebasan beragama atau berkeyakinan secara berlebihan dengan meminggirkan keberagamaan pada ruang privat, sembari mengorbankan manifestasi publiknya.

    Kesalahpahaman lain muncul dari pencampuradukan kerukunan antaragama dengan kebebasan beragama atau berkeyakinan. Benar bahwa kebebasan beragama atau berkeyakinan melembagakan penghargaan pada martabat semua orang, dan dengan itu, bersama dengan hak-hak asasi lain, dapat meneguhkan perdamaian atau kerukunan. Namun demikian, perdamaian yang dihasilkan oleh hak untuk kebebasan pasti akan lebih “bising”. Yaitu perdamaian yang menerima pandangan-pandangan yang bertentangan, pihak-pihak yang berseberangan, ketidaksepakatan, ekperimentasi intelektual, dan yang menantang status quo. Pengalaman telah menunjukkan bahwa kerukunan yang senyap bukanlah perdamaian sejati.

    Ketika saya menunaikan mandat saya sebagai Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (2010–2016), saya harus berhadapan dengan pelanggaran hak-hak asasi manusia, maupun kerancuan konseptual mengenainya. Saya menulis laporan mengenai negara-negara yang biasanya terfokus pada isu-isu praktis. Di samping itu, dalam setahun saya menulis dua laporan tematik, yang sebagian besarnya saya dedikasikan pada menjernihkan kerumitan konseptual kebebasan beragama atau berkeyakinan. Laporan-laporan yang dimuat di sini adalah jenis yang kedua.
    Sebelum dan sesudah menjabat sebagai Pelapor Khusus PBB, saya berkesempatan mengunjungi Indonesia dan ikut serta dalam diskusi dengan masyarakat sipil, baik dari komunitas agama maupun bukan. Saya amat terkesan bukan hanya dengan keramahtamahan orang Indonesia yang sudah masyhur, tapi juga dengan iklim diskusi yang terus terang dan terbuka. Pada saat yang sama, banyak dari mitra diskusi saya bersepakat bahwa, mempertimbangkan besarnya dan beragamnya Indonesia, implementasi kebebasan beragama atau berkeyakinan masih menjadi tantangan.

    Saya ingin menutup pengantar ini dengan menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada semua yang membantu terbitnya buku ini. Saya berharap dapat selalu berhubungan dengan organisasi-organisasi hak asasi manusia di Indonesia, khususnya yang berdedikasi memajukan kebebasan beragama atau berkeyakinan.

    Prof.  Dr. Dr. h.c. Heiner Bielefeldt, mantan Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan.



    Pengantar

    Buku ini adalah terjemahan dari laporan-laporan tematik Heiner Bielefeldt sebagai Pelapor Khusus (Special Rapporteur) PBB untuk Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan pada 2010–2016. Laporan-laporan tersebut sangat istimewa karena membahas banyak isu utama dalam wacana ini secara cukup mendalam. Wacana tersebut berkembang cukup pesat di Indonesia setelah Amandemen UUD 1945 yang kedua pada 2000, yang memasukkan pasal-pasal baru mengenai hak asasi manusia, termasuk kebebasan beragama atau berkeyakinan, dan upaya pengarusutamaannya dalam hukum dan peraturan di Indonesia. Lebih jauh, selama sekitar 15 tahun terakhir ini, advokasi untuk kebebasan beragama atau berkeyakinan juga berkembang sangat pesat.

    Meskipun kebijakan dan advokasinya sudah berkembang pesat, karya-karya dalam tema tersebut, khususnya yang bersifat akademik, belum cukup banyak dalam bahasa Indonesia. Untuk itu, Program Studi Agama dan Lintas Budaya (Center for Religious and Cross-cultural Studies/CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, yang telah cukup lama menaruh perhatian pada isu ini, bersama dengan beberapa lembaga lain, baik lembaga akademik atau organisasi masyarakat sipil, bekerja sama untuk memperkuat wacana kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia. Ada beberapa kegiatan yang sedang kami jalankan untuk itu, mencakup pengembangan mata kuliah, penelitian mengenai konteks dan pelaksanaan kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia, juga, penerbitan buku seperti ini. Selain buku ini, kami sedang mengupayakan penerbitan beberapa buku lain karya para peneliti dan praktisi Indonesia


    —Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada
     

    KUTIPAN

    Di bawah hukum HAM internasional, negara-negara diwajibkan tidak saja untuk menghormati KBB, tetapi juga melindungi kebebasan itu dari campur tangan yang tak diperlukan oleh pihak ketiga. Begitu juga, negara- negara diwajibkan mendorong sikap toleran dan penghargaan pada keragaman agama. Anak-anak wajib “dididik dalam semangat memahami, toleransi dan persahabatan dengan orang lain, perdamaian dan persaudaraan semesta, menghormati kebebasan beragama dan/atau keyakinan
    orang lain, dan sadar bahwa seluruh potensinya dikembangkan demi melayani sesama.”5 Lebih jauh, pasal 29, ayat 1(d) Konvensi Hak-hak Anak menunjukkan bahwa  Negara-negara pihak sepakat pendidikan anak-anak diarahkan pada “persiapan anak-anak untuk mampu menjalani kehidupan dalam masyarakat yang bebas, dalam semangat pemahaman, perdamaian, toleransi, kesetaraan gender, dan persahabatan di antara semua kelompok etnis, kebangsaan dan agama, maupun asal muasal aslinya (indigenous origin).”

    ***
    Sekalipun semua orang dari berbagai latar belakang agama atau keyakinan dapat mengalami viktimisasi anti-minoritas saat tinggal dalam situasi di mana mereka menjadi minoritas, beberapa komunitas agama memiliki pengalaman panjang diskriminasi, pelecehan dan bahkan persekusi. Pelanggaran HAM terhadap kelompok agama atau keyakinan minoritas memiliki banyak motif dan latar belakang, sementara para pelakunya bisa aktor negara maupun non-negara (lihat di bawah). Pelanggaran-pelanggaran itu perlu ditangani secara serius dan sistematis. Selain masalah pelanggaran HAM yang terus terjadi, isu mengenai hak-hak orang yang menjadi anggota kelompok agama atau keyakinan minoritas memunculkan tantangan konseptual yang membutuhkan klarifikasi secara sistematis. Kesalahpahaman dan salah persepsi yang banyak terjadi di ranah ini, dapat menimbulkan efek negatif baik dalam konseptualisasi maupun implementasi hak-hak mereka yang menjadi anggota kelompok agama atau keyakinan minoritas. Karena itu upaya klarifikasi konseptual bukan sekadar demi kepentingan ilmiah, tapi memiliki relevansi praktis.

    ***
    Dalam konteks HAM, identitas seseorang atau suatu kelompok selalu harus didefinisikan sesuai dengan pemahaman-diri orang atau kelompok itu, yang dapat sangat beragam dan berubah seturut perjalanan waktu. Selain berlaku pada kategori-kategori identitas yang berbeda (etnis, bahasa, dll), prinsip menghormati pemahaman-diri setiap orang ini sangat tegas tampak dalam mendefinisikan identitas agama atau keyakinan, mengingat perkembangan identitas itu terkait erat dengan HAM khususnya
    kekebasan berpikir, berhati nurani, dan beragama atau berkeyakinan. HAM ini telah diakui secara internasional dalam berbagai instrumen, termasuk pasal 18 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia, pasal 18 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik dan Deklarasi tahun 1981. KBB memberdayakan setiap orang untuk bebas menemukan cara mereka sendiri dalam menghayati agama atau keyakinan, baik sebagai individu maupun komunitas. Mereka memiliki kebebasan, antara lain, untuk mempertahankan atau mengubah agama atau keyakinan mereka; memperluas cakrawala pemahaman mereka melalui komunikasi dengan anggota komunitas
    sendiri maupun mereka yang berkeyakinan lain; menyelenggarakan ibadat baik sendirian maupun bersama; mendidik anak-anak sesuai dengan keyakinan
    mereka; mengimpor bahan-bahan bacaaan keagamaan dari luar maupun bekerja sama dengan badan-badan internasional. Setiap individu juga memiliki hak untuk tidak memperlihatkan orientasi agama atau keyakinannya di ranah publik jika tidak dikehendaki dan hanya untuk dirinya sendiri.

    Resensi

    Spesifikasi Produk

    SKU BS-536
    ISBN 978-602-441-121-3
    Berat 400 Gram
    Dimensi (P/L/T) 16 Cm / 24 Cm/ 0 Cm
    Halaman 360
    Jenis Cover Soft Cover

    Produk Heiner Bielefeldt

















    Produk Rekomendasi