Elizabeth Bennet dan Fitzwilliam Darcy sama sekali tidak mempunyai kecocokan bahkan sejak mereka belum saling mengenal. Elizabeth menilai Mr. Darcy sebagai pria yang sok, angkuh, dan mengesalkan, sementara Mr. Darcy menganggap Elizabeth tidak anggun dan terlalu sering berprasangka.
Untuk waktu yang lama mereka saling bermusuhan, bahkan sering kali melontarkan sindiran-sindiran pedas terhadap satu sama lain. Kebencian itu tanpa mereka sadari berangsur menjadi ketertarikan yang mendalam. Seiring dengan berjalannya waktu, Elizabeth melihat sisi lain dari Fitzwilliam Darcy, bahwa dia bukanlah sekadar pria arogan atau angkuh seperti yang selama ini dia sangka.
Dalam Pride and Prejudice, Jane Austen menuangkan detail yang memikat mengenai kaum menengah ke atas pada abad ke-18. Karakter-karakternya yang memukau membuat novel ini menjadi salah satu roman paling populer sepanjang masa.
Bab 1
Sudah menjadi rahasia umum bahwa seorang pemuda kaya tentu ingin mencari istri.
Meskipun tidak banyak yang mengetahui perasaan atau pandangan pemuda semacam itu ketika dia baru saja memasuki sebuah lingkungan baru, suatu anggapan telah terpatri di pikiran para orangtua di sekelilingnya, bahwa dia adalah calon pasangan yang tepat bagi salah seorang putri mereka.
“Suamiku Mr. Bennet tersayang,” kata Mrs. Bennet kepada suaminya pada suatu hari, “sudahkah kau mendengar bahwa akhirnya ada yang menyewa Netherfield Park?”
Mr. Bennet menjawab dia belum mendengar tentang hal itu.
“Tetapi, itulah kenyataannya,” jawab Mrs. Bennet, “karena Mrs. Long baru saja dari sana dan dia menceritakannya kepadaku.”
Mr. Bennet tidak menanggapi.
“Apa kau tidak ingin tahu siapa pembelinya?” seru istrinya dengan tidak sabar.
“Kau ingin memberitahuku, dan aku tidak keberatan mendengarnya.”
Ini dianggap sebagai undangan oleh Mrs. Bennet.
“Nah, sayangku, kau harus tahu, Mrs. Long mengatakan bahwa Netherfield telah dibeli oleh seorang pria muda kaya raya dari wilayah utara Inggris; bahwa dia datang Senin lalu dengan kereta yang ditarik empat ekor kuda untuk melihat-lihat tempat itu, dan dia merasa puas sehingga langsung membuat kesepakatan dengan Mr. Morris. Dia akan menempati tempat itu sebelum perayaan Michaelmas, dan beberapa pelayannya akan tiba di sana pada akhir minggu depan.”
“Siapa namanya?”
“Bingley.”
“Dia sudah menikah atau masih lajang?”
“Oh, aku yakin dia lajang, sayangku! Seorang bujangan kaya raya; penghasilannya empat atau lima ribu setahun. Sungguh hal yang menguntungkan bagi anak-anak gadis kita!”
“Bagaimana mungkin? Apa pengaruhnya bagi mereka?”
“Suamiku sayang,” jawab istrinya, “jangan menyebalkan begitu!
Kau pasti tahu aku berpikir dia akan menikahi salah seorang dari mereka.”
“Itukah tujuannya menetap di sini?”
“Tujuan! Kadang-kadang, bicaramu memang konyol! Tapi, sangat mungkin baginya untuk jatuh cinta dengan salah satu dari anak-anak kita, dan karena itulah kau harus mengunjunginya segera setelah dia tiba.”
“Aku tidak punya alasan untuk melakukan itu. Kau dan anak-anak boleh pergi, atau suruh saja mereka pergi sendiri, yang mungkin akan lebih baik, karena Mr. Bingley mungkin justru akan terpesona pada kecantikanmu yang setara dengan mereka.”
“Sayangku, kau membuatku tersanjung. Gurat-gurat kecantikanku memang masih terlihat, tapi sekarang aku tidak akan berpura-pura menjadi seseorang yang memesona. Ketika seorang wanita memiliki lima orang putri yang telah dewasa, dia harus berhenti memikirkan kecantikannya sendiri.”
“Itu berarti wanita itu tidak benar-benar memiliki kecantikan yang harus dipikirkannya.”
“Tapi, sayangku, kau benar-benar harus pergi menemui Mr. Bingley segera setelah dia tiba di sini.”
“Aku tidak perlu melakukan itu, percayalah.”
“Tapi, pikirkanlah anak-anakmu. Pikirkanlah betapa bagusnya hal itu untuk mereka. Sir William dan Lady Lucas sudah bertekad akan pergi hanya untuk urusan itu; kau tahu sendiri biasanya mereka tidak pernah mengunjungi pendatang baru. Kau benar-benar harus pergi karena mustahil bagi kami untuk mengunjunginya jika kau tidak ikut.”
“Kau memang berlebihan. Aku yakin Mr. Bingley akan sangat senang karena bisa bertemu denganmu; dan aku akan menitipkan sebuah pesan singkat kepadamu untuk meyakinkannya tentang keikhlasanku jika dia ingin menikahi siapa pun dari anak-anak perempuanku yang dipilihnya; meskipun aku pasti akan memuji-muji Lizzy kecilku dalam surat itu.”
“Jangan sampai kau melakukan itu. Lizzy tidak sedikit pun lebih baik daripada yang lain; dan aku yakin, kecantikannya tidak sampai separuh dari kecantikan Jane, dan selera humornya tidak sebaik Lydia. Tapi, kau selalu melebih-lebihkannya.”
“Mereka tidak punya banyak kelebihan,” jawab Mr. Bennet, “karena mereka masih konyol dan tolol seperti gadis-gadis lainnya; tapi, Lizzy lebih cepat tanggap daripada saudara-saudaranya.”
“Mr. Bennet, bisa-bisanya kau menjelek-jelekkan anak-anakmu sendiri begitu? Kau memang senang mengolok-olokku. Kau tidak mengasihani saraf-sarafku yang malang.”
“Jangan salah paham, sayangku. Aku sangat menghormati saraf-sarafmu. Mereka teman lamaku. Aku sudah sering mendengarmu menyebut-nyebut mereka setidaknya selama dua puluh tahun terakhir ini.”
“Kau tidak memahami penderitaanku.”
“Tapi, kuharap kau mampu mengabaikan penderitaanmu, dan dapat hidup lama untuk melihat para pemuda berpenghasilan empat ribu setahun berduyun-duyun pindah kemari.”
“Tidak akan ada pengaruhnya bagi kita kalaupun dua puluh pemuda kaya pindah kemari, karena kau tidak akan mau mengunjungi mereka.”
“Tergantung keadaannya, sayangku, kalau ada dua puluh pemuda seperti itu, aku akan mengunjungi mereka semua.”
Pembawaan Mr. Bennet adalah campuran janggal antara kecepatan menjawab, humor sinis, sifat acuh tak acuh, dan sikap yang berubah-ubah dengan cepat, sehingga istrinya masih belum memahami perangainya bahkan setelah hidup bersama selama dua puluh tiga tahun. Pikiran Mrs. Bennet tidak serumit itu. Dia adalah seorang wanita dengan pemahaman pas-pasan, berpengetahuan sempit, dan bertemperamen
angin-anginan. Ketika keinginannya tidak terpenuhi, dia akan merasa gelisah. Tujuan hidupnya adalah menikahkan anak-anak perempuannya; kesenangannya adalah bertamu
dan bergunjing.
Tak pernah diragukan bahwa nama Jane Austen selalu lekat dalam hati pencinta sastra dunia. Novel-novelnya seperti Pride and Prejudice, Emma, dan Sense and Sensibility tak pernah lekang dimakan waktu, bahkan setelah 150 tahun berlalu. Gaya penulisannya banyak menginspirasi penulis-penulis masa kini, juga dikagumi karena kejujuran dan kekhasannya.
Novelis Inggris yang lahir pada tahun 1775 ini mengawali karier menulisnya dengan membuat puisi, cerita pendek, dan drama yang hanya ditujukan untuk dirinya sendiri dan keluarganya. Keahliannya adalah menulis cerita dengan genre roman, yang diwarnai fakta tentang keadaan sosial pada masanya.
Dari seluruh karyanya, tokoh Elizabeth Bennet dalam Pride and Prejudice merupakan tokoh favorit Austen. Perangainya yang tegas, feminis, dan pada saat bersamaan ceria, membuatnya menjadi salah satu tokoh wanita yang paling dikagumi dalam literatur Inggris.
Roman Terpopuler Sepanjang Masa
“Kecerdasan Jane Austen setara
dengan kesempurnaan cita rasanya.”
—Virginia Woolf, penulis A Room of One’s Own dan The Waves
SKU | QN-120 |
ISBN | 978-602-402-142-9 |
Berat | 480 Gram |
Dimensi (P/L/T) | 13 Cm / 21 Cm/ 0 Cm |
Halaman | 588 |
Jenis Cover | Soft Cover |