Tak ada tanda-tanda istimewa saat Raden Ayu Rajapermas – istri Raden Rangga Somanagara seorang Patih Kadipaten Bandung melahirkan putri keduanya – Raden Dewi Sartika – selain kebahagiaan. Tetapi kemudian Dewi Sartika – sang aktivis dan pelopor pendidikan dari Pasundan – itu melewati waktu dengan kehebohan demi kehebohan. Pernah mengalami insiden patah tulang saat bermain yang menyebabkan ia menjadi kidal, menolak pinangan dua laki-laki bangsawan sebelum memilih seorang duda dari kalangan lebih rendah sebagai sikap menolak perjodohan dan poligami. Pada usia sepuluh tahun menghebohkan karena telah berhasil ‘menyulap’ anak-anak para pembantu di kepatihan bisa baca tulis dan mengucapkan beberapa patah kata bahasa Belanda. Kehebohan kemudian berlanjut ketika ia berhasil meluluhkan Bupati Bandung – R. Adipati Aria Martanegara yang tak lain adalah ‘musuh’ besar keluarganya sebagai buntut politik devide et impera Residen J.D. Harders – membantu meluluskan membangun sekolah istri.
Ketika Sekolah Istri yang didirikannya menuai kecurigaan Pemerintah Kolonial Belanda, Dewi Sartika berhasil meyakinkan Inspektur Pengajaran Hindia Belanda – C. De Hammer – berbalik haluan mendukung kiprah putri pemberontak itu. Dukungan juga muncul dari tokoh pergerakan nasional H.O.S Cokroaminoto. Hambatan terbesar justru datang dari keluarga yang menganggap tabu seorang anak perempuan mengenyam pendidikan. Persinggungan dengan sahabat suaminya – Sosrokartono dan Kardinah yang tak lain adalah kakak dan adik R.A. Kartini – membuktikan bagaimana gagasan untuk membuka kran pendidikan bagi perempuan yang selama ini dianggap tabu itu tidak hanya lokal Pasundan melainkan mendapat apresiasi secara nasional.
Dalam sebuah tulisan yang dipublikasikan di media cetak saat itu, Raden Dewi Sartika menulis: “Alangkah sedihnya mereka yang tidak bisa membaca dan menulis, karena orang yang demikian ibarat hidup di dalam kegelapan atau umpama orang buta yang berjalan di tengah hari. Maka jika jadi perempuan harus bisa segala-gala.” Gagasan itulah yang kemudian melahirkan Sekolah Kautamaan Istri dengan mengusung konsep cageur (sehat), bageur (baik) bener (benar), pinter (pintar), dan wanter (percaya diri). Dewi Sartika tak sekadar pencetus pendidikan kaum perempuan, tetapi seorang aktivis berintegritas yang mewakafkan kehidupannya untuk pendidikan. Tak heran bila menjelang wafatnya di pengungsian – Desa Cineam – hanya satu yang selalu dipikirkannya yaitu bagaimana kelangsungan sekolahnya, yang mengakibatkan penyakit gulanya kronis.
Endorsement:
“Yang harum akhirnya semerbak juga. Sebagai seorang aktivis, Dewi Sartika memiliki integritas kepribadian yang tinggi, naluri yang tajam terhadap strategi dan keseimbangan di dalam totalitas aksi-reaksi-kontemplasi. Sungguh sukar dicari tandingannya. Sekolahnya ia namakan Sakola Istri yang lalu berubah menjadi Sakola Kautamaan Istri, menunjukan bahwa ia memiliki naluri terhadap strategi dan keseimbangan. Jarang aktivis yang memiliki kelebihan sifat seperti itu, yang sempat saya saksikan punya kombinasi demikan hanyalah Soe Hok Gie dan Abdurrahman Wahid.”
—W.S. Rendra, sastrawan dan penyair
SKU | XR-07 |
ISBN | 978-602-7926-47-9 |
Berat | 560 Gram |
Dimensi (P/L/T) | 14 Cm / 21 Cm/ 0 Cm |
Halaman | 435 |
Jenis Cover | Soft Cover |