Fiqih Empat Mazhab atau Al-Fiqhu ‘Alâ Al-Madzâhib Al-Arba‘ah adalah karya fiqih paling monumental yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahman Al-Jaziri. Karya ini mengodifikasi fragmen-fragmen pendapat ulama ke dalam satu kitab tersendiri, sehingga membuat pembelajaran dan pemahaman atas pendapat ulama empat mazhab—Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali—mudah dan praktis.
Buku perbandingan mazhab terlengkap ini juga menerapkan metode skema untuk memetakan pendapat para ulama tersebut. Dengan konsep itu, pembaca dengan mudah dapat memahami pemilahan ragam argumen imam-imam mazhab, cepat mendeteksi sebab utama pendapat-pendapat ikhtilaf, serta mendapat pengetahuan fiqih secara detail dan komprehensif. Dan yang terpenting, segala pertanyaan terkait masalah shalat, terjawab dengan lebih detail melalui buku ini.
Syaikh Abdurrahman Al-Jaziri adalah seorang ulama terkemuka yang ahli di bidang fiqih.
- Ditulis oleh ulama terkemuka yang ahli di bidang fiqih.
- Dilengkapi dengan bermacam pembahasan terkait shalat, sehingga segala pertanyaan terkait masalah shalat, terjawab dengan lebih detail melalui buku ini.
- Terdapat skema di setiap perbedaan pendapat para imam mazhab guna memudahkan pembaca dalam memahami shalat dari para imam mazhab.
Fiqih bagaikan lautan ilmu tak bertepi. Satu masalah dalam fiqih bisa berkembang dan bercabang menjadi banyak. Sudah umum diketahui bahwa mazhab fiqih mempunyai pandangan yang berbeda tentang satu masalah yang sama. Bahkan, boleh jadi perbedaan itu muncul justru di kalangan ulama fiqih sendiri.
Salah satu kitab yang mempermudah untuk membantu mengetahui pendapat dari masing-masing mazhab adalah kitab Al-Fiqhu ‘Alâ Al-Madzâhib Al-Arba‘ah, yang disusun oleh seorang ulama tersohor, Abdurrahman Al-Jaziri. Sebuah buku fiqih klasik dalam empat mazhab Sunni yakni, Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hanbali dan disertai dengan dalil-dalil yang mendasari pendapat mereka. Merupakan kitab fiqih perbandingan mazhab yang terkenal, yang menjadi salah satu rujukan para ulama dan umat Islam pada zaman kini.
Disusun untuk mempermudah pembaca yang ingin mengetahui perbedaan pendapat dalam fiqih. Dilengkapi dengan bermacam pembahasan fiqih, seperti: Bersuci, Shalat, Puasa, Zakat, Haji, Makanan-minuman yang dilarang dan dibolehkan, Jual-beli, Nikah, Thalaq, Hudud, Qisash, Bughat, Murtad, Ta’zir, Dosa-dosa besar, dan lain sebagainya.
Penulis buku tersebut adalah Abdurrahman bin Muhammad ‘Iwadh Al-Jaziri. Dilahirkan di Jazirah Shandaweel, yaitu di Mesir pada tahun 1299 H. Beliau memperdalam ilmu di Al-Azhar serta memperdalam mazhab Abu Hanifah dari tahun 1313 H. sampai 1326 H. Pada tahun 1330 H. beliau ditetapkan sebagai peneliti di bidang Kementrian Wakaf dan sebagai Ustadz di Universitas Ushuluddin serta salah satu anggota perkumpulan ulama. Beliau wafat di Halwan pada tahun 1359 H.
Pada awalnya, kitab ini diisusun oleh sekumpulan ulama atas bimbingan Kementrian Wakaf Mesir. Kemudian Syaikh Al-Jaziri melakukan sebuah amalan besar berupa pengeditan bahasanya, mentahdzibnya, membenarkan kesalahan-kesalahan yang ada di dalam susunan tersebut ketika pertama kali dicetak. Beliau mengambil peran yang sangat besar dalam perubahan bab-babnya, kemudian beliau mengeluarkan sebuah kitab atas namanya sendiri yang merupakan bentuk dari kesungguhan beliau.
Merupakan ciri dari kitab ini adalah menyebutkan berbagai masalah dan pendapat mazhab yang ada serta perkataan mereka, di samping tidak meninggalkan penyebutan dalil-dalil setiap mazhab. Penulis menjelaskan sebab penyusunan buku ini seraya berkata, “Tujuan penyusunan kitab ini adalah untuk mempermudah imam masjid dari para ulama dalam menemukan pembahasan fiqih.”
Beliau juga mengatakan, “Saya telah berusaha dengan sungguh-sungguh, telah kami periksa dengan benar, saya pisahkan permasalahan-permasalahan di dalamnya dengan judul-judul khusus, serta saya rapikan dengan sangat baik. Sehingga memudahkan pembaca dalam mengambil manfaatnya.”
Meskipun penulis kitab ini sudah bersungguh-sungguh untuk menyajikannya dengan baik, namun masih terdapat kekurangan di dalamnya. Banyak peneliti untuk kitab ini yang mendapati kesalahan dalam menisbatkan perkataan atau pendapat kepada pemiliknya. Terkadang juga didapati bahwa penulis tidak menunjukkan rujukannya. Semua ini merupakan sisi kekurangan dalam kitab ini. Akan tetapi kesalahan ini tidak terjadi pada semua pendapat yang tercantum di dalamnya kecuali hanya beberapa bagiannya saja.
Syaikh Abdul Karim Al-Khudhair berkata, “Kitab ini tidak sempurna, sebagian mazhab dinukil dari kitab-kitab yang tidak masyhur dalam mazhabnya. Dan beberapa riwayat tidak berlaku dalam mazhab yang bersangkutan.”
Di antara sikap lain yang diambil oleh ulama adalah sebagaimana yang dituturkan oleh Syaikh Al-Baltaji dalam sebuah makalah miliknya, “Akan tetapi kami mengambil manfaat kitab tersebut secara umum dari sumber-sumber yang dekat, mudah diraih baik wujud maupun kefahamannya. Terlebih untuk kumpulan orang terpelajar.”
Oleh karena itu, Kitab ini bukanlah rujukan tunggal untuk mengetahui pendapat yang rajih dari mazhab ulama yang empat. Barang siapa ingin mengetahui pendapat mazhab yang terpercaya hendaknya mengambil dari kitab fiqih mereka yang dapat dipercaya. Jika merasa kesulitan dengan itu, hendaknya mengambil dari kitab-kitab tertentu yang menyebutkan permasalahan khilafiyah dari ulama-ulama yang mendalami ilmu tersebut dan mampu dalam hal tahqiq (meneliti keshahihannya). Seperti imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’, Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni, atau kitab-kitab terkini lainnya.
Berdasarkan edisi Arabnya, kitab ini yang diterbitkan oleh Dar Al-Fikr , Beirut–Lebanon pada tahun 1990 M/1411 H, kitab ini disusun dalam 5 juz dan dicetak menjadi 5 jilid. Semoga Allah selalu memberi keberkahan kepada penulis dan orang-orang yang memanfaatkan karya yang berharga ini. Amiin. Wallahu A’lam.
Sumber: https://www.hujjah.net/al-fikhu-ala-al-mazhahibi-al-arbaah/
Nukilan Buku
PENGERTIAN SHALAT
Keutamaan dan Hikmah Shalat
Shalat adalah pilar agama yang paling utama. Allah Swt. mewajibkan shalat kepada hamba-Nya agar mereka hanya beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun. Allah Swt. berfirman:
Sungguh, shalat adalah kewajiban (fardu) yang ditentukan waktunya bagi orang-orang beriman. (QS Al-Nisâ’ [4]: 103)
Maksudnya, shalat adalah kewajiban yang batas-batas waktunya sudah ditetapkan dan tidak boleh dilanggar. Rasulullah Saw. bersabda, “Ada lima shalat yang diwajibkan Allah kepada hamba-hamba-Nya. Siapa saja yang mengerjakannya tanpa menyia-nyiakan satu pun karena menganggap remeh terhadapnya, Allah menjanjikannya masuk surga.”
Terdapat banyak hadis yang menyatakan keagungan shalat, anjuran untuk mengerjakannya tepat waktu, larangan meremehkannya, serta larangan bermalas-malasan dalam menegakkannya. Di antaranya, sabda Nabi Saw., “Shalat lima waktu ibarat sungai yang mengalirkan air tawar yang melimpah di depan pintu rumah seorang dari kalian, lalu dia mandi dengan air itu lima kali setiap hari. Bagaimana pendapat kalian: Masihkah ada kotoran menempel pada badannya? Mereka menjawab, “Tidak sama sekali.” Rasulullah Saw. bersabda, “Sungguh, shalat lima waktu itu dapat menghilangkan dosa-dosa seperti air menghilangkan kotoran.”
Makna hadis di atas, shalat lima waktu dapat menyucikan dan membersihkan jiwa dari noda dan dosa, sebagaimana mandi dengan air bersih lima kali dalam sehari dapat menyucikan dan membersihkan badan dari kotoran.
Berkenaan keutamaan shalat, Rasulullah Saw. pernah ditanya tentang perbuatan yang paling utama dalam Islam. Beliau menjawab, “Shalat yang dilaksanakan tepat waktu.” Dengan demikian, shalat merupakan perbuatan paling utama, paling tinggi, dan paling agung dalam Islam. Dan, hadis ini sangat tepat dijadikan imbauan agar shalat dilaksanakan tepat pada waktunya.
Untuk memotivasi umat Islam agar tidak meninggalkan shalat, Rasulullah Saw. bersabda, “Orang yang meninggalkan shalat tidak memiliki tempat di dalam Islam.” Dalam hadis lain, Rasulullah bersabda, “Yang membedakan antara Mukmin dan kafir adalah (sikap) meninggalkan shalat.” Kedua hadis ini mengandung larangan untuk bersikap malas dalam mengerjakan shalat dan larangan untuk meninggalkannya. Sebab, shalat adalah indikator pembeda antara Muslim dan kafir. Karena itu, seorang pengikut Mazhab Malikiah berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja dinilai kafir. Mazhab Malikiah sendiri sepakat bahwa shalat adalah salah satu rukun Islam, dan orang yang meninggalkannya dinilai telah meruntuhkan sendi Islam terkuat.
Setiap Muslim semestinya mengetahui bahwa tujuan hakiki dari shalat adalah membangkitkan perasaan takjub pada keagungan Tuhan dan menumbuhkan rasa takut kepada-Nya. Perasaan ini akan memotivasi dirinya untuk melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Dampak dari sikap ini adalah setiap Muslim hanya akan melakukan kebaikan dan menjauhi larangan Allah, sehingga menciptakan kebaikan bagi umat manusia. Sebab, Muslim sejati pasti akan melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.
Selanjutnya, orang yang mendirikan shalat harus terus-menerus mengingat Allah. Apabila hatinya lalai terhadap eksistensi Zat-Nya disebabkan oleh hawa nafsu dan bayangan kepuasan jasmani, shalatnya tidak akan membuahkan manfaat sedikit pun baginya. Menurut sebagian imam mazhab, orang yang shalat tetapi hatinya masih melalaikan Allah, hanya menggugurkan kewajiban shalat. Sebab, shalat yang sempurna adalah sebagaimana yang difirmankan Allah Taala berikut:
Sungguh, orang-orang beriman pasti beruntung, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya. (QS Al-Mu’minûn [23]: 1-2)
Dengan demikian, tujuan hakiki shalat adalah mengagungkan Tuhan Sang Pencipta langit dan bumi dengan perasaan khusyuk dan tunduk terhadap keluhuran-Nya yang kekal dan kemuliaan-Nya yang abadi. Jadi, indikator tercapainya tujuan shalat adalah kehadiran hati yang dipenuhi rasa takut kepada Allah Swt., yang mampu melenyapkan bisikan-bisikan dusta atau lintasan pikiran yang berbahaya. Orang yang menghadap Penciptanya dengan hati seperti ini tentu akan memohon ampunan atas segala dosanya, bertobat kepada-Nya, memperbaiki tingkah laku lahir-batinnya, menguatkan hubungan dengan Tuhan, tergerak untuk berbuat baik terhadap sesama, menjunjung tinggi agama, serta menjaga diri dari segala larangan-Nya. Allah Swt. berfirman:
Sungguh, shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan kemungkaran. (QS Al-‘Ankabût [29]: 45)
Hakikat tujuan shalat dalam ayat di atas merupakan cerminan pribadi Muslim yang sejati. Shalat yang dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar adalah shalat yang dilaksanakan oleh seorang hamba yang mengagungkan Tuhan, merasa takut kepada-Nya, dan mengharapkan rahmat-Nya. Karena itu, pahala (nilai) shalat seseorang ditentukan berdasarkan kadar perasaan takutnya kepada Allah Swt. serta kekhusyukannya dan keteguhan hatinya yang bersumber dari rasa takut tersebut. Sebab, yang dinilai Allah Swt. bukan semata bentuk lahiriahnya, melainkan juga kondisi ruhaniah (hati) para hamba-Nya. Allah Swt. berfirman, “Dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku (QS Thâ Hâ [20]: 14). Artinya, orang yang hatinya lalai pada Tuhan atau tidak mengingat-Nya tidak akan mampu mengerjakan shalat yang sebenarnya. Rasulullah Saw. bersabda, “Allah tidak akan menghargai shalat orang yang belum mampu menghadirkan hatinya bersama raganya.”
Demikianlah hakikat shalat menurut pandangan agama.
SKU | NA-085 |
ISBN | 978-602-385-719-7 |
Berat | 1040 Gram |
Dimensi (P/L/T) | 17 Cm / 24 Cm/ 0 Cm |
Halaman | 748 |
Jenis Cover | Soft Cover |