Buku SINAU BARENG MARKESOT… - Emha Ainun… | Mizanstore
Ketersediaan : Tersedia

SINAU BARENG MARKESOT (DAUR VII)

    Deskripsi Singkat

    “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya pula, dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah… Baca Selengkapnya...

    Rp 99.000 Rp 30.000
    -
    +

    “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang
    gugur melainkan Dia mengetahuinya pula, dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata.”
    (QS Al-An'am [6]: 59)


    Hidup setiap orang itu dinamis antara iya dan tidak, bergerak-gerak antara hidup dan mati, timbul tenggelam antara hitam dan putih. Tidak ada yang kafir mutlak atau Muslim absolut.

    Mbah Markesot pernah berpesan bahwa keadaan negeri bisa menjadi medan pendadaran untuk menjadi manusia tangguh, canggih berpikir, dengan lipatan-lipatan ilmu dan gelembung-gelembung pengetahuan yang tidak bisa kau dapatkan di luar negerimu. Tetapi, pada saat yang sama, keadaan negerimu juga bisa dengan sangat mudah menghancurkan kepribadianmu, mengikis kemanusiaanmu, dan mencampakkanmu dari “ahsanu taqwim” menjadi “asfala safilin”.
    Maka, jangan berkata apa pun, jangan bantah, dan jangan melakukan perlawanan terhadap hewan dan spare part industri. Mari belajar dulu sambil memastikan bahwa dalam setiap jengkal pengalaman kita tetap mempertahankan kemanusiaan. Mari sinau bareng dulu rajin-rajin.

    ***

    Mbah Markesot mendorong kita untuk berhijrah. Bergerak mendekat dan berhimpun dalam lingkaran Maiyah. Lingkaran cincin persaudaraan yang membukakan pintunya bagi siapa saja. Masukilah lingkar organisme kemanusiaan yang belum pernah ada sebelumnya. Alamilah, nikmatilah, belajarlah, bergembiralah, serta berbahagialah dalam keseimbangan



    Keunggulan Buku

    • Setelah Maiyah, frasa Sinau Bareng saat ini tengah dipopulerkan oleh Emha Ainun Nadjib. Dalam setiap forum yang beliau datangi, Sinau Bareng merepresentasikan ruang diskusi tanpa guru maupun murid, tanpa sekat, dan tanpa adanya ketakutan mengeluarkan pendapat.
    • Seri Daur merupakan catatan harian Emha Ainun Nadjib yang ditulis sepanjang tahun 2017—2018. Tulisan-tulisan dalam buku ini bertujuan untuk mengajak para pembaca  melakukan dekonstruksi pemahaman nilai, pola komunikasi, metode perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi masalah masyarakat.
    • Berbeda dengan Serial Daur sebelumnya, dalam buku ini Cak Nun lebih banyak membahas mengenai persoalan keseharian manusia dalam membaca sekitarnya. Cak Nun menunjukkan contoh-contoh nyata bagaimana cara menjadikan Al Qur’an sebagai sebenar-benarnya petunjuk.
    • Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) mengajak kita membuka yang sebelumnya belum pernah dibuka. Memandang, merumuskan dan mengelola dengan prinsip dan formula yang sebelumnya belum pernah ditemukan dan dipergunakan.

     


    KATA PENGANTAR
    Izinkan saya mengawali kata pengantar ini dengan menyebut sebuah forum. Namanya: Pengajian Padhangmbulan. Forum ini telah dimulakan pada awal 1990-an dan diselenggarakan di Desa Mentoro, Sumobito, Jombang. Dua orang pengampu duduk di hadapan para jemaah. Mereka tak lain adalah sepasang kakak beradik, Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) dan Cak Fuad (Ahmad Fuad Effendy). Hingga saat ini, pengajian bulanan itu terus berlangsung dan memasuki tahun ke-26. Selain itu, pengajian ini telah mengilhami “anak-anak” pengajian yang sama di pelbagai tempat.

    Sebenarnya, Padhangmbulan bisa juga disebut sebagai pengajian tafsir Al Quran karena memang core dan relnya adalah mendalami ayat-ayat Al Quan. Cak Fuad dimohonkan menguraikan pembacaan tekstual atas ayat-ayat al-Quran. Tekstual di sini tidak dalam arti menafsirkan secara literal dan skripturalis kaku sempit, tetapi membaca ayat untuk dipaparkan khazanah tafsir dari berbagai ulama atau kitab-kitab tafsir. Dari situ, sebuah pemahaman dicoba didapatkan.

    Pada sisi lain, Cak Nun bertugas mengampu tafsir kontekstual. Beliau mencoba membaca realitas sosial, politik, budaya, dan kehidupan sehari-hari dengan menggunakan pemahaman Al Quran yang telah dipaparkan Cak Fuad terlebih dahulu. Dengan kombinasi dua tafsir ini, tekstual dan kontekstual, Padhangmbulan membangun fondasinya. Dan, segala hal yang berlangsung di Padhangmbulan—diskusi, keakraban,
    pemberdayaan ekonomi, kerja sama, pengembangan seni dan budaya, dan macam-macam kegiatan lainnya—tetap kokoh ditopang oleh fondasi tersebut.

    Sampai saat ini, tidak terlalu sulit untuk menyadari dan merasakan bahwa pada semua forum yang Cak Nun ampu dan inisiasi—baik yang regular di sejumlah kota maupun Sinau Bareng atas undangan berbagai pihak dan segmen masyarakat—Al Quran dan Al Hadis senantiasa merupakan foundational text. Pada Sinau Bareng di Universitas Tidar, Magelang, belum lama ini, Wakil Rektor turut mengatakan bahwa dalam Sinau Bareng dan Maiyah segala sesuatu dikembalikan kepada Al Quran dan Sunnah.

    Jauh sebelum pengajian Padhangmbulan lahir, Cak Nun adalah sosok penulis sangat produktif yang menurut pengamatan saya, memiliki kecenderungan pemikiran yang sangat kuat terhadap napas Al Quran. Hal tersebut terlihat dari cukup banyak digunakannya terminologi, istilah, atau ungkapan Al Quran dalam tulisan-tulisan beliau.

    Sejumlah ayat tertentu bahkan dipakai secara langsung sebagai pendekatan dalam membangun konsepsi atau pemahaman. Misalnya, melalui dua ayat terakhir (22—24) Surat Al-Hasyr, Cak Nun menemukan dan mengartikulasikan paradigma kepemimpinan, termasuk memotret bagaimana seyogianya kepemimpinan dunia dibangun.

    Pada waktu itu, lewat esai-esainya yang hadir di mana-mana, para pembaca dapat melihat betapa artikulatifnya Cak Nun dalam memetik pesan Al Quran untuk membahas dan memberikan perspektif suatu persoalan. Ini bukan saja khas, melainkan juga menunjukkan sebuah kemampuan karena tak semua cendekiawan piawai dan ciamik dalam menghadirkan percik-percikan ayat dalam media mainstream yang, katakanlah, sekuler.  Kemampuan dan terutama kekhasan yang saya maksud di atas, bagi saya pribadi, hanya bisa lahir dari (sekaligus menggambarkan) suatu kedekatan yang sangat intens pada diri Cak Nun terhadap Al Quran.

    Kedekatan itu barangkali terbentuk karena latar belakang keluarga beliau yang memang hidup dalam atmosfer keislaman sangat kuat. Kedua orang tua Cak Nun adalah aktivis di desanya yang getol menyelenggarakan berbagai kegiatan untuk warga sekitar. Suatu cita keislaman pastilah bersemayam kuat di dalam diri beliau-beliau ini. Kultur masa kecil Cak Nun yang sering menghabiskan waktu di langgar memupuk kedekatannya pada Al Quran, meski ini juga lazim dialami orang-orang Islam di desa atau kampung pada masa itu. Selain itu, Cak Nun sendiri juga sempat menempa diri beberapa tahun belajar di Pondok Pesantren Gontor. Namun, latar belakang kultural itu, pada pendapat subjektif saya, barulah permulaaan. Kedekatan itu kian menguat karena beliau semakin terpesona dan kagum pada kedalaman kandungan Al Quran. Dari situlah interaksi personalnya kepada Al Quran berjalan terus. Di sini, saya melihat bahwa Cak Nun adalah satu contoh pribadi yang karib dengan Al Quran.

    Hingga kini, kekariban itu terus berjalan. Dalam forum-forum Maiyahan dan Sinau Bareng, kita dengan mudah menemukan ekspresi kekariban tersebut. Saya ambil sebuah contoh. Pada kesempatan Majelis Mocopat Syafaat beberapa bulan lalu, seorang praktisi Yoga dari Australia bertanya tentang pandangan Islam mengenai lingkungan dan kehidupan.

    Dengan tak terduga dan tangkas, Cak Nun mengatakan (dan aslinya sebelum ditanya pun sudah bermaksud akan mengutarakannya) bahwa “Persis pada titik pertanyaan Anda itulah tujuan manusia diciptakan oleh Allah.” Lalu, Cak Nun mengutip ayat yang mengisahkan protes malaikat kepada Allah saat hendak menciptakan Adam sebagai khalifatullah. Malaikat mempertanyakan mengapa Allah menciptakan manusia yang suka menumpahkan darah dan menciptakan kerusakan di muka bumi. Namun, Allah dengan tegas mengatakan, “Aku lebih mengerti.” Di mata Cak Nun, ayat ini dapat menginformasikan kepada kita bahwa sesungguhnya manusia itu diciptakan supaya mereka punya visi menjaga kehidupan dengan sebaik-baiknya.
    Daur V, yang dihadirkan oleh Penerbit Bentang Pustaka ini, pada mulanya adalah Daur putaran kedua yang saban hari hadir di caknun.com. Pada putaran kedua ini, secara khusus Cak Nun ingin memanfaatkan halaman-halaman itu untuk mengajak anak-cucunya, jemaah, dan tentu para pembaca sekalian untuk menyelami keluasaan dan kedalaman Al Quran dalam bingkai kedekatan batin manusia kepada firman Allah yang luasnya tak terkira itu. Cak Nun mengajak kita meng-iqra’, dengan terlebih dahulu meresapi betapa kata “iqra’” sendiri pun memiliki makna yang luar biasa luas.
    Sebagai sebuah proses pendalaman dan tadabur kepada Al Quran, hal-hal disajikan Cak Nun dalam Markesot Belajar Ngaji ini amat memperkaya wawasan kita mengenai upaya memahami al-Quran, yang tak semata-mata terwakili oleh metode-metode yang secara akademis disebut sebagai Ulumul Quran. Buku ini akan memperkaya, memperindah, dan menunjukkan betapa banyak celah tadabur yang belum kita masuki.

    Kita bersyukur bahwa dengan terbitnya buku ini, Cak Nun tak bosan-bosan mengingatkan kita untuk tidak terjebak pada kesempitan pengetahuan kita sendiri sebab pengetahuan Allah begitu luas dan kaya, dan kita tak boleh berhenti mencari dan memetiknya. Semua ini demi agar kita mampu membangun hidup dengan visi yang luas dan jauh ke depan.


    Selamat membaca.
    Helmi Mustofa
    Progres
    (Sekretariat Cak Nun dan KiaiKanjeng)

     

    Resensi

    Spesifikasi Produk

    SKU BS-537
    ISBN 978-602-291-655-0
    Berat 320 Gram
    Dimensi (P/L/T) 13 Cm / 21 Cm/ 0 Cm
    Halaman 364
    Jenis Cover Soft Cover

    Produk Emha Ainun Nadjib

















    Produk Rekomendasi