FREE : Mug Ekslusif (Persediaan Terbatas)
Presiden Pertama RI Sukarno dan Perdana Menteri Uni Soviet Nikita Khrushchev itu bersahabat erat, cenderung intim. Kendati demikian, mereka tidak pernah saling memengaruhi secara ideologi. Mereka kukuh pada pandangan politik masing-masing: Sukarno teguh pada sosialisme khas Indonesia yang berketuhanan, Khrushchev kukuh dengan sosialisme-komunis-ateisnya. Maka, kalau masih ada yang berpikiran jika Sukarno adalah seorang komunis, dan itu gara-gara dipengaruhi Khrushchev, jelas dia sangat perlu membaca buku ini.
Banyak fakta sejarah membuktikan jika Sukarno dan Khrushchev menempatkan persahabatan mereka lebih tinggi daripada sekadar urusan politik. Fakta-fakta seperti itulah yang selama ini hampir tidak pernah sampai kepada publik, karena wacana yang membahasnya sangat minim. Untungnya Sigit Aris Prasetyo, diplomat muda yang cukup cermat membaca sejarah, berhasil menggali, mengumpulkan, dan menjahit fakta-fakta sejarah itu, lalu mengolahnya menjadi sebuah bacaan yang bergizi.
Buku ini memberi kita pelajaran penting yang dilupakan oleh kebanyakan manusia modern, yang mabuk terombang-ambing badai globalisasi-kapitalistik: Bahwa kemanusiaan itu lebih penting daripada pertarungan ideologi politik. Itulah pesan penting dari persahabatan Sukarno dan Khrushchev.
“Buku Sdr. Sigit Aris Prasetyo, Sukarno & Khrushchev: Beda Ideologi, Satu Hati, berhasil mengupas ‘personal chemistry’ antara Presiden Proklamator Indonesia, Ir. Sukarno (1901-1970), dan pemimpin Uni Soviet, Nikita Khrushchev (1894-1971).”
—Peter Carey, Sejarawan
“Hubungan antara tokoh internasional yang melampaui sekat ideologis. Dalam konteks Perang Dingin antara Blok Timur dengan Blok Barat, Sukarno adalah pemimpin dunia ketiga yang bisa bersahabat baik dengan Nikita Khrushchev dan John F. Kennedy. Kepiawaian berdiplomasi yang dimanfaatkan untuk kepentingan nasional. Dalam perjuangan membebaskan Irian Barat, Indonesia membeli senjata dari Uni Soviet dan membuat Amerika Serikat menekan Belanda agar berunding.”
—Prof. Dr. Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI
“Kedekatan Bung Karno dengan Nikita Khrushchev selalu dipandang sebagai bentuk condongnya
Indonesia kepada komunisme saat Perang Dingin membagi dunia ke dalam dua blok: Timur versus Barat. Namun banyak hal belum publik ketahui mengenai hubungan Bung Karno dengan berbagai pemimpin dunia yang seringkali melampaui urusan politik, salah satunya kisah persahabatan Bung Karno dengan Nikita Khrushchev yang ditulis secara renyah dan mengalir oleh Sigit Aris Prasetyo ini. Kedua pemimpin ini memiliki kesamaan pandangan tentang perlunya perdamaian dunia dan kemanusiaan yang setara. Khrushchev berperan penting merumuskan konsep “peaceful coexistence” yang meredakan ketegangan Perang Dingin. Melalui pidatonya 12 Juni 1958 Bung Karno mengemukakan gagasan serupa saat menentang perlombaan senjata nuklir di antara kedua negara yang berseteru: Amerika Serikat dan Uni Soviet. Kemesraan hubungan Khrushchev dengan Bung Karno tergambarkan dalam memoarnya ketika pemimpin negara adidaya tersebut disambut gegap gempita ketika berkunjung ke Indonesia 18 Februari 1960. Buku ini memperkaya wawasan mengenai kedua tokoh dan sejarah yang mereka ciptakan selama persahabatan itu terjalin erat.”
—Bonnie Triyana, Sejarawan, Pemimpin Redaksi Historia.ID
“Ketika membaca sejarah hubungan Republik Indonesia dan Uni Soviet (sekarang Russia), pasti tidak bisa dilepaskan dari suatu fase persahabatan antara Sukarno dan Nikita Khrushchev. Keduanya merupakan orang orang besar pada zamannya. Bung Karno seorang pemimpin bangsa bangsa yang baru merdeka yang tergabung dalam gerakan Non-Blok, sementara Khrushchev menjadi pemimpin Blok Timur yang terlibat Perang Dingin dengan Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat.
Kita bisa melihat betapa akrabnya Bung Karno dan Khrushchev. Barangkali tak ada pemimpin negara di dunia yang bisa menjalani lakon hubungan seperti mereka berdua. Khrushchev bisa menyindir Bung Karno soal kegemarannya memakai pesawat Pan Am milik Amerika. Namun Khrushchev juga dengan hangat menyambut kedatangan Bung Karno dalam udara dingin, serta tak bertele-tele untuk mengatakan ‘Da‘—Yes, persetujuan memberikan kredit pinjaman lunak kepada Indonesia.
Mereka bisa berdiskusi tentang pertentangan ideologi, bagaimana Bung Karno mengatakan tidak mungkin menjadi komunis. Bahkan Khrushchev juga mengatakan tak akan membuat Indonesia menjadi komunis. Apa yang diperlihatkan Bung Karno dalam persahabatan dengan Khrushchev adalah hubungan interrelationship yang sangat intens. Bagi Sukarno, Khrushchev adalah simbol perdamaian dunia, seorang tokoh yang konsisten menentang kolonialisme dan imperialisme, sejalan dengan apa yang diperjuangkan Sukarno dan pemerintahannya.
Bung Karno sendiri menggambarkan persahabatannya dengan mengatakan, ”Khrushchev mengirimkan jam dan puding dua pekan sekali, dan memetikkan apel, gandum, dan hasil tanaman lainnya dari panen yang terbaik.”
Ketika kunjungan pertama Khrushchev ke Indonesia, Bung Karno berusaha keras menjadi tuan rumah baik. Tak tanggung-tanggung pula, Khrushchev beserta rombongan menghabiskan waktu di Indonesia selama dua minggu. Barang kali tidak ada kunjungan selama itu dari kepala negara lain di Indonesia sampai sekarang. Sebagaimana seorang sahabat, Bung Karno mempertunjukkan semua tentang Indonesia termasuk terus memaksa Khrushchev makan berbagai jenis makanan lokal Indonesia.
Inilah kebiasaan Bung Karno dalam menjalani peran sebagai diplomat dalam bungkus persahabatan, tidak hanya saja ke Khrushchev tapi juga ke semua pemimpin negara lain yang dikenalnya. Bung Karno bisa menulis surat kepada pemimpin Kuba, Fidel Castro. Melalui duta besar kelilingnya, Bung Karno tidak ragu meminta mangga dari Presiden Keita dari Mali, Afrika. Bung Karno yang hendak tidur malam juga tak menolak ajakan Presiden Gamal Abdul Nasser menonton tarian perut di pojokan kota Kairo. Bung Karno juga menjalani persahabatan dengan Presiden Kennedy dari Amerika.
Bung Karno juga menekankan kepada dunia bahwa rakyat Indonesia adalah rakyat yang berjuang untuk kemerdekaan, masyarakat adil dan makmur, dan perdamaian. Konsep perdamaian ini yang menjadi dasar Republik Indonesia dalam hubungan persahabatan dengan semua bangsa-bangsa di muka Bumi. Tak heran Bung Karno sangat piawai ketika berperan sebagai diplomat ulung. Tidak saja melakukan diplomasi untuk kepentingan negerinya tapi juga menjadi seorang yang humanis dalam memaknai persahabatannya dengan pemimpin negara sahabat.
Meskipun dalam era Perang Dingin, Indonesia dimusuhi oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya namun Bung Karno secara cerdik dan diplomatis bisa berkelit untuk tidak serta merta menjadi sekutu Uni Soviet. Ini terlihat jelas bagaimana Bung Karno tidak saja bisa menciptakan atmosfer kesetaraan yang bermartabat di antara pemimpin pemimpin dunia, tapi juga bisa keluar menjadi pemenang dalam diplomasi. Ini sejalan dengan prinsip politik luar negeri bebas dan aktif. Bebas dalam arti bahwa kita berhak menentukan penilaian dan sikap sendiri terhadap permasalahan dunia. Kita juga bebas dari upaya menarik pada satu blok kekuatan di dunia. Namun berpartisipasi secara aktif dan konstruktif demi berusaha mengupayakan tercapainya kemerdekaan, perdamaian dan keadilan di dunia. Itulah hakikat diplomasi unggul Indonesia yang selalu dibawa Bung Karno.”
—Iman Brotoseno, Sukarnois, praktisi periklanan, pewarta, dan sineas
“Mengikuti masa pemerintahan Presiden Sukarno, terhitung lama dibanding dengan pemimpin dunia lainnya. Dari 17 Agustus 1945 sampai dengan 22 Februari 1967. Tapi beliau bersahabat dengan 2 orang pemimpin dunia lain yaitu John F. Kennedy, Presiden Amerika Serikat dengan masa kepresidenan dari 20 Januari 1961–22 November 1963 dan Perdana Menteri Nikita Khrushchev dengan masa jabatan dari 14 September 1953–14 Oktober 1964. Teringat kita kalau ketiganya memang berada dalam usia aktif, sehat jiwa dan raga saat itu, serta diangkat melalui prosedur yang dibenarkan situasi politik negaranya masing-masing. Sukarno menganggap keduanya lebih dari relasi hubungan baik antarnegara dan bangsa, bahkan bisa dikatakan sahabat. Tapi melihat gejolak dunia saat itu, seolah Sukarno adalah jembatan antara blok kiri dan
kanan, komunis dan kapitalis. Suasana dunia saat itu diuji untuk berada dalam perdamaian yang setiap saat terancam yang membahayakan dunia Internasional, namun lebih dari itu Sukarno memanfaatkan secara sebaik-baiknya. Tentu saja utamanya bagi kepentingan Indonesia. Kita sukar melupakan dalam sejarah nasional, ketika menghadapi konflik Irian Barat dengan Belanda, Nikita Khrushchev memberikan bantuan militer dan pelatihan di Rusia. Tapi kita juga berterima kasih kepada John F. Kennedy karena berhasil menekan Belanda agar menyelesaikan soal Irian Barat secara diplomatik. Bisa dipahami kalau terjadi krisisi dunia di Asia Tenggara, dampaknya juga mengenai kedua blok. Rasanya jarum jam tidak mungkin berputar mundur kembali. Zaman itu sudah berlalu. Yang tinggal dalam benak kita hanya kenangan yang indah. Sukarno adalah
pemimpin dunia blok ketiga yang selalu dibanggakannya sebagai The New Emerging Forces. Mestinya ini bukan blok Komunis atau Kapitalis. Ini yang sejak awal ingin disumbangkannya sebagai kepahaman sebagai Gerakan Non-Blok atau Non-Aligned Movement. Sebuah cita-cita dalam membangun dunia baru pasca Perang Dunia II terutama di wilayah Asia Afrika yang merupakan wilayah jajahan kaum angkara murka sebelum pecahnya Perang Dunia ke II itu. Penulis buku ini, Sdr. Sigit Aris Prasetyo adalah Diplomat Indonesia, telah beberapa kali menulis buku tentang Sukarno. Kini beliau menulis buku lainnya berjudul Sukarno & Khrushchev: Beda Ideologi, Satu Hati. Membaca buku ini pasti akan menemukan berbagai hal baik yang sudah dikenal maupun hal lain yang belum kita ketahui. Dan sumbangannya sungguh besar untuk pengetahuan, utamanya bagi mereka yang menggauli bidang kekaryaan Internasional. Selamat membaca.”
—Dr. Rushdy Hoesein M.Hum., sejarawan pada Yayasan Bung Karno
“Persahabatan Bung Karno dengan Khrushchev merupakan mozaik percaturan perpolitikan dunia. Keduanya bukan saja bersahabat secara politik, tapi juga secara pribadi. Namun keduanya saling berusaha memanfaatkan, Khrushchev (baca: Uni Soviet) berusaha melalui persahabatan itu menarik Bung Karno (baca: Indonesia) untuk mendukung Blok Timur yang dikendalikannya menentang Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat. Bantuan perlengkapan persenjataan untuk Irian Barat dan tenaga ahli plus dana untuk pembangunan kompleks Gelora Bung Karno, tak mampu mengubah independensi Bung Karno. Independensi Bung Karno tak tergoyahkan. Ia tetap bersikeras dengan gerakan Non-Blok. Pertanyaannya: pershabatan kedua tokoh dunia yang saling memanfaatkan kepentingan politik masing-masing, siapa yang unggul?”
—Eddi Elisonpenulis buku bestseller Bung Karno & Jokowi: Pemimpin Kembar Beda Zaman dan Melihat Sukarno dari Jarak Paling Dekat
“Tidak ada yang salah dengan ideologi. Apa pun ideologinya. Bung Karno dan Khruschev adalah legenda persahabatan antarideologi: Pancasila dan komunis. Bung Karno tidak mempertentangkan ideologi dalam merajut kerjasama internasionalnya, dengan pemimpin negara mana pun. Putra Sang Fajar justru mencari kesamaan pandang yang bisa dikerjasamakan dengan muara kepentingan rakyat. Persahabatan keduanya terajut dalam narasi bernas: Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme (Di Bawah Bendera Reviolusi).”
—Roso Daras, penulis buku bestseller Total Bung Karno 1 & 2
Jalinan diplomasi Indonesia-Rusia yang telah terbangun lebih dari 70 tahun tahun telah membuahkan banyak hal mulai dari apresiasi ciptaan Ismail Marzuki, “ Rayuan Pulau Kelapa”, kedalam Bahasa Rusia, pembangunan kekuatan militer dan teknologi ruang angkasa, hingga bangunan bersejarah yang mempertebal DNA Indonesia dalam bidang Sosial-Budaya. Buku yang di tulis Sdr. Sigit Aris Prasetyo ini seakan mengingatkan kaum muda baik di Indonesia maupun di Rusia untuk sekadar merelakan waktu dan berwisata ria begitu Indahnya proses dan hasil pertemuan antar dua pemimpin dunia yang melegenda, Ir Soekarno dan PM Nikita Khrushchev (1960-1963).
Catatan baik berat maupun ringan yang penuh makna dalam buku ini telah menyampaikan narasi utama bahwa Indonesia lahir dari sebuah perjuangan kolektif dengan rasa, riwayat dan keringat rakyat untuk keluar dari kolonialisme dan Imperialisme. Dengannya, misi ini diterima dan di akselerasi melalui mandat hasil KAA—Konferensi Asia Afrika di Bandung untuk di tampilkan dalam peta baru geopolitik dan geostrategi sebagai bagian dari solusi kemanusiaan ( mankind is one) dari terbelahnya dunia akibat dari bi-polarisme amerika serikat dan Uni-Soviet.
Kerja kolektif founding fathers Indonesia juga dapat dimaknai telah menghasilkan postulat baru bahwa pluralisme masyarakat Rusia dan Indonesia adalah realitas obyektif yang perlu dipahami dan di formulasikan kedepan untuk mempertebal nasionalisme generasi baru di Rusia dan Indonesia. Nasionalisme dalam generasi muda yang menjadi peta jalan keadaban dimasa mendatang. Demikian, juga ditekankan oleh Ir Soekarno atau Gandhi dengan rumusan sederhana tapi penuh makna: My nationalism is humanity.
Erwin Endaryanta
Founder of Yayasan Amukti Dwipantara, Center for Indonesia Risk Studies Jakarta-D.I. Yogyakarta
SKU | XS-27 |
ISBN | 978-602-7926-59-2 |
Berat | 320 Gram |
Dimensi (P/L/T) | 14 Cm / 21 Cm/ 0 Cm |
Halaman | 351 |
Jenis Cover | Soft Cover |