Teman, kalau boleh kuungkit tentang genggamanmu ketika kita jalan
Sungguh, itu terlalu nyaman sehingga timbul salah pengertian
Yang aku takutkan, semakin jauh, akan ada hati yang kemudian lancang berperasaan
Hatiku, kemungkinan
Teman merupakan fiksi berisi kutipan kata manis dan galau tentang friend zone, tema yang sangat lekat dengan pembaca remaja. Dikemas dengan sangat cantik dan handy karena isi buku berwarna dengan sampul hardcover dan penuh ilustrasi menarik oleh Bella Anshori. Buku ini juga tak hanya berisikan kutipan semata, tetapi juga mengandung alur cerita yang bisa diikuti pembaca, layaknya membaca kisah cinta, dengan sentuhan desain yang artistik.
Tentang Series #UntukKamu
Serial ini adalah seri fiksi quote dengan alur dengan tema cinta khas anak muda. Akan ada beberapa judul yang mewakili perasaan pembaca, seperti Teman (Terlalu dekat, namun bukan pasangan)karya Ainur Rahmah dan Kita (yang hanya sebatas hampir) karya Innayah Putri.
Fiksi ini berisi ungkapan-ungkapan perasaan yang tak mampu tersampaikan ke orang yang dituju. Tidak hanya berisi kutipan-kutipan manis maupun galau, fiksi ini juga dilengkapi alur cerita yang mampu membuat para pembaca muda ikut merasakan perasaan si tokoh utama.
Ungkapan-ungkapan yang tertulis di fiksi ini sungguh mengena di hati. Kadang juga menyentil perasaanmu yang mungkin juga sedang terjebak di situasi friend zone, susah move on, atau situasi percintaan yang pelik lainnya. Selain untuk dinikmati sendiri, seri ini juga sangat cocok untuk kado bagi orang yang kamu tuju. Misalnya kamu tidak berani atau ragu menyampaikan perasaanmu kepadanya, buku fiksi #untukkamu Teman ini bisa mewakilimu untuk menyampaikan perasaan ke orang yang kamu tuju.
Dari segi pengemasan, buku fiksi seri #untukkamu ini juga sangat menarik. Sampulnya dicetak dengan kertas hardcover dan full color. Isi di setiap halamannya juga full color dan full ilustrasi. Ungkapan-ungkapan yang tertuang di seri #untukkamu ini akan semakin menganai karena dilengkapi dengan visualisasi yang menarik dan kekinian.
Cuplikan
“Ngapain, sih, nulis-nulis di buku? Kayak kesepian banget kamu, tuh!”
Aku ingat kamu pernah bilang begitu. Menurutmu, kebiasaanku berkutat mengisi jurnal harian, agak sedikit kaku—walaupun selalu kamu perhalus pakai kata “lucu”. Bukannya tersinggung, aku malah langsung pasang senyum kuda. Terus buru-buru umpetin bukunya ke loker meja. Takut ditanya.
Maaf, ya? Maaf, aku sering main rahasia-rahasia. Bukan lupa kalau punya janji denganmu untuk saling terbuka. Cuma, andai kamu mau mengerti, setiap orang pasti punya “sesuatu” yang ingin disimpan sendiri. Bukan karena pelit enggan membagi, melainkan berhati-hati, memikirkan situasi dan konsekuensi.
Satu pengakuan bisa membuat banyak perbedaan.
Jujur, Teman ....
Kalimat itu selalu berhasil bikin aku ketakutan.
Sekarang, nggak terasa waktu sudah sangat jauh berjalan. Kertas jurnalku saja warnanya mulai berubah kekuningan. Ada pula robek di beberapa bagian. Sehingga harus kuberi selotip biar nggak hilang berceceran.
Tentu, Teman. Jurnal harian itu masih kusimpan. Malah, selalu kubawa di setiap perjalanan.
Seperti menjadi kebiasaan, sering kubaca ulang halaman-halamannya yang sudah kepenuhan.
Oh ya, mungkin perlu kukabari. Kalau kamu sedang baca langsung tulisan ini, artinya “buku keramat” kecilku sudah bereinkarnasi dan lahir kembali dengan judul publikasi resmi. Isinya tertata rapi penuh macam-macam ilustrasi.
Lucu sekali, kan? Catatan-catatan yang dulu selalu kusembunyikan, akhirnya kubiarkan dibaca penduduk-penduduk bumi. Termasuk kamu—semisal beli, semisal masih peduli.
“Kenapa tiba-tiba berani?”
Aku tebak, kamu pasti bertanya-tanya dalam hati. Salah, Teman. Aku nggak tiba-tiba berani.
Hanya, tiba-tiba saja menyadari, yang kusesali selama ini, mungkin memang kesalahanku sendiri. Salahku memilih sembunyi. Salahku memilih lari.
“Teman”
Jadi, anggap saja buku ini sebagai perwakilan. Maaf, terima kasih, dan semua rahasia biar tersampaikan. Nanti waktu ada kesempatan, boleh kita atur pertemuan. Aku nggak berharap apa-apa, cuma sedikit penasaran saja. Kira-kira, bagaimana ya reaksimu setelah tahu semuanya?
--
“Ngapain, sih, nulis-nulis di buku? Kayak kesepian banget kamu, tuh!”
Aku ingat kamu pernah bilang begitu. Menurutmu, kebiasaanku berkutat mengisi jurnal harian, agak sedikit kaku—walaupun selalu kamu perhalus pakai kata “lucu”. Bukannya tersinggung, aku malah langsung pasang senyum kuda. Terus buru-buru umpetin bukunya ke loker meja. Takut ditanya.
Maaf, ya? Maaf, aku sering main rahasia-rahasia. Bukan lupa kalau punya janji denganmu untuk saling terbuka. Cuma, andai kamu mau mengerti, setiap orang pasti punya “sesuatu” yang ingin disimpan sendiri. Bukan karena pelit enggan membagi, melainkan berhati-hati, memikirkan situasi dan konsekuensi.
Satu pengakuan bisa membuat banyak perbedaan.
Jujur, Teman ....
Kalimat itu selalu berhasil bikin aku ketakutan.
Sekarang, nggak terasa waktu sudah sangat jauh berjalan. Kertas jurnalku saja warnanya mulai berubah kekuningan. Ada pula robek di beberapa bagian. Sehingga harus kuberi selotip biar nggak hilang berceceran.
Tentu, Teman. Jurnal harian itu masih kusimpan. Malah, selalu kubawa di setiap perjalanan.
Seperti menjadi kebiasaan, sering kubaca ulang halaman-halamannya yang sudah kepenuhan.
Oh ya, mungkin perlu kukabari. Kalau kamu sedang baca langsung tulisan ini, artinya “buku keramat” kecilku sudah bereinkarnasi dan lahir kembali dengan judul publikasi resmi. Isinya tertata rapi penuh macam-macam ilustrasi.
Lucu sekali, kan? Catatan-catatan yang dulu selalu kusembunyikan, akhirnya kubiarkan dibaca penduduk-penduduk bumi. Termasuk kamu—semisal beli, semisal masih peduli.
“Kenapa tiba-tiba berani?”
Aku tebak, kamu pasti bertanya-tanya dalam hati. Salah, Teman. Aku nggak tiba-tiba berani.
Hanya, tiba-tiba saja menyadari, yang kusesali selama ini, mungkin memang kesalahanku sendiri. Salahku memilih sembunyi. Salahku memilih lari.
“Teman”
Jadi, anggap saja buku ini sebagai perwakilan. Maaf, terima kasih, dan semua rahasia biar tersampaikan. Nanti waktu ada kesempatan, boleh kita atur pertemuan. Aku nggak berharap apa-apa, cuma sedikit penasaran saja. Kira-kira, bagaimana ya reaksimu setelah tahu semuanya?
--
“Ngapain, sih, nulis-nulis di buku? Kayak kesepian banget kamu, tuh!”
Aku ingat kamu pernah bilang begitu. Menurutmu, kebiasaanku berkutat mengisi jurnal harian, agak sedikit kaku—walaupun selalu kamu perhalus pakai kata “lucu”. Bukannya tersinggung, aku malah langsung pasang senyum kuda. Terus buru-buru umpetin bukunya ke loker meja. Takut ditanya.
Maaf, ya? Maaf, aku sering main rahasia-rahasia. Bukan lupa kalau punya janji denganmu untuk saling terbuka. Cuma, andai kamu mau mengerti, setiap orang pasti punya “sesuatu” yang ingin disimpan sendiri. Bukan karena pelit enggan membagi, melainkan berhati-hati, memikirkan situasi dan konsekuensi.
Satu pengakuan bisa membuat banyak perbedaan.
Jujur, Teman ....
Kalimat itu selalu berhasil bikin aku ketakutan.
Sekarang, nggak terasa waktu sudah sangat jauh berjalan. Kertas jurnalku saja warnanya mulai berubah kekuningan. Ada pula robek di beberapa bagian. Sehingga harus kuberi selotip biar nggak hilang berceceran.
Tentu, Teman. Jurnal harian itu masih kusimpan. Malah, selalu kubawa di setiap perjalanan.
Seperti menjadi kebiasaan, sering kubaca ulang halaman-halamannya yang sudah kepenuhan.
Oh ya, mungkin perlu kukabari. Kalau kamu sedang baca langsung tulisan ini, artinya “buku keramat” kecilku sudah bereinkarnasi dan lahir kembali dengan judul publikasi resmi. Isinya tertata rapi penuh macam-macam ilustrasi.
Lucu sekali, kan? Catatan-catatan yang dulu selalu kusembunyikan, akhirnya kubiarkan dibaca penduduk-penduduk bumi. Termasuk kamu—semisal beli, semisal masih peduli.
“Kenapa tiba-tiba berani?”
Aku tebak, kamu pasti bertanya-tanya dalam hati. Salah, Teman. Aku nggak tiba-tiba berani.
Hanya, tiba-tiba saja menyadari, yang kusesali selama ini, mungkin memang kesalahanku sendiri. Salahku memilih sembunyi. Salahku memilih lari.
“Teman”
Jadi, anggap saja buku ini sebagai perwakilan. Maaf, terima kasih, dan semua rahasia biar tersampaikan. Nanti waktu ada kesempatan, boleh kita atur pertemuan. Aku nggak berharap apa-apa, cuma sedikit penasaran saja. Kira-kira, bagaimana ya reaksimu setelah tahu semuanya?
--
“Ngapain, sih, nulis-nulis di buku? Kayak kesepian banget kamu, tuh!”
Aku ingat kamu pernah bilang begitu. Menurutmu, kebiasaanku berkutat mengisi jurnal harian, agak sedikit kaku—walaupun selalu kamu perhalus pakai kata “lucu”. Bukannya tersinggung, aku malah langsung pasang senyum kuda. Terus buru-buru umpetin bukunya ke loker meja. Takut ditanya.
Maaf, ya? Maaf, aku sering main rahasia-rahasia. Bukan lupa kalau punya janji denganmu untuk saling terbuka. Cuma, andai kamu mau mengerti, setiap orang pasti punya “sesuatu” yang ingin disimpan sendiri. Bukan karena pelit enggan membagi, melainkan berhati-hati, memikirkan situasi dan konsekuensi.
Satu pengakuan bisa membuat banyak perbedaan.
Jujur, Teman ....
Kalimat itu selalu berhasil bikin aku ketakutan.
Sekarang, nggak terasa waktu sudah sangat jauh berjalan. Kertas jurnalku saja warnanya mulai berubah kekuningan. Ada pula robek di beberapa bagian. Sehingga harus kuberi selotip biar nggak hilang berceceran.
Tentu, Teman. Jurnal harian itu masih kusimpan. Malah, selalu kubawa di setiap perjalanan.
Seperti menjadi kebiasaan, sering kubaca ulang halaman-halamannya yang sudah kepenuhan.
Oh ya, mungkin perlu kukabari. Kalau kamu sedang baca langsung tulisan ini, artinya “buku keramat” kecilku sudah bereinkarnasi dan lahir kembali dengan judul publikasi resmi. Isinya tertata rapi penuh macam-macam ilustrasi.
Lucu sekali, kan? Catatan-catatan yang dulu selalu kusembunyikan, akhirnya kubiarkan dibaca penduduk-penduduk bumi. Termasuk kamu—semisal beli, semisal masih peduli.
“Kenapa tiba-tiba berani?”
Aku tebak, kamu pasti bertanya-tanya dalam hati. Salah, Teman. Aku nggak tiba-tiba berani.
Hanya, tiba-tiba saja menyadari, yang kusesali selama ini, mungkin memang kesalahanku sendiri. Salahku memilih sembunyi. Salahku memilih lari.
“Teman”
Jadi, anggap saja buku ini sebagai perwakilan. Maaf, terima kasih, dan semua rahasia biar tersampaikan. Nanti waktu ada kesempatan, boleh kita atur pertemuan. Aku nggak berharap apa-apa, cuma sedikit penasaran saja. Kira-kira, bagaimana ya reaksimu setelah tahu semuanya?
SKU | BE-125 |
ISBN | 978-602-430-550-5 |
Berat | 340 Gram |
Dimensi (P/L/T) | 11 Cm / 0 Cm/ 0 Cm |
Halaman | 116 |
Jenis Cover | Hard Cover |