Mengapa Edinburgh dapat melahirkan sekumpulan genius kreatif, Florence melahirkan Leonardo da Vinci, dan Silicon Valley melahirkan Steve Jobs? Apakah karena iklimnya, toleransi masyarakatnya, sumber daya melimpah, atau hanya keberuntungan belaka? Lalu, apakah formula genius juga berlaku di tempat lain?
Para genius tidak lahir di sembarang waktu dan tempat. Leonardo da Vinci tak akan melahirkan lukisan Mona Lisa jika hidup di Florence masa kini. Begitu juga Silicon Valley, berapa tempat telah gagal mencangkoknya demi melahirkan Steve Jobs dan Elon Musk baru?
“Kreativitas adalah respons terhadap lingkungan kita,” tulis Eric Weiner. Sebagaimana para humanis Florence bertungkus lumus dengan pemikiran Yunani Klasik dan inovator Silicon Valley merangkul masa depan.
Dengan nakal, cerdas, dan jenaka, pengarang buku bestseller versi New York Times ini menggabungkan memoar perjalanan, novel, dan komik menjadi satu. The Geography of Genius menyingkap rahasia kota-kota ajaib yang melahirkan sosok-sosok kreatif dengan ide-ide gila yang mengubah dunia.
***
ORANG-ORANG MULAI MENYADARI KEISTIMEWAANKU saat aku masih kecil. Sebagai anak umur sepuluh tahun yang selalu ingin tahu tentang hukum-hukum fisika, aku penasaran apa yang akan terjadi kalau aku melempar balon air besar dari balkon lantai lima belas apartemen ayahku. Maka, dengan mengikuti jejak Newton dan Darwin serta para ilmuwan hebat di mana-mana, kuputuskan untuk melakukan eksperimen.
“Hebat sekali, Einstein,” kata seorang lelaki yang jelas-jelas terkesan, pemilik mobil yang kaca depannya hancur berkeping-keping akibat kekuatan balon air yang tak terduga. Siapa sangka? Kemajuan ilmiah memang ada harganya, alasanku ketika itu. Insiden lain, bertahun-tahun kemudian, melibatkan perapian, cerobong tertutup, dan pasukan pemadam kebakaran setempat. Aku masih bisa mendengar kata-kata si petugas pemadam kebakaran, “Kaupikir kau orang genius?”
Aduh, bukan, aku bukan orang genius. Hal ini membuatku berada dalam kelompok yang dengan cepat menjadi minoritas. Saat ini, kita didera kasus serius dari inflasi orang genius. Genius. Kata itu dipergunakan sembarangan. Pemain tenis dan perancang aplikasi digambarkan sebagai orang genius. Ada juga “genius mode” dan “genius kuliner,” dan, tentu saja, “genius politik.” Anak-anak kita semuanya Einstein Kecil dan Mozart Kecil. Kalau mendapat masalah dengan iProduct terbaru, kita langsung mendatangi Apple’s Genius Bar. Sementara itu, buku-buku motivasi yang berlimpah menyampaikan bahwa kita semua memendam bakat genius (dalam kasusku bakat itu terpendam sangat dalam), pesan yang kita telan dengan senang hati, mengabaikan fakta bahwa jika semua orang genius berarti tidak ada yang genius.
Aku sudah cukup lama mengamati perkembangan—atau tepatnya pengecilan—konsep genius. Ketertarikanku pada topik genius bisa dibilang menyerupai ketertarikan orang telanjang pada pakaian. Apakah kita benar-benar menuju kemusnahan genius, atau masih ada harapan untuk kita, bahkan untukku?
Genius. Kata itu memperdaya, tapi apakah aku sungguh-sungguh tahu artinya? Kata tersebut berasal dari bahasa Latin genius, tapi artinya sangat berbeda pada zaman Romawi. Ketika itu, genius adalah dewa penguasa yang mengikuti kita ke mana-mana, hampir sama seperti orangtua otoriter, tapi dengan kekuatan supernatural. (Kata jin atau genie dalam bahasa Inggris memiliki akar yang sama.) Setiap orang memiliki genius. Begitu pula setiap tempat. Desa, kota, dan pasar, semua memiliki roh penguasa masing-masing, lokusgenius, yang terus-menerus menggerakkan mereka. Definisi kamus terkini dari genius—“kekuatan intelektual luar biasa, terutama seperti yang terwujud dalam aktivitas kreatif”—merupakan produk Romantisme abad ke-18, para penyair murung yang menderita, menderita untuk seni mereka dan, seperti ungkapan masa kini, untuk kreativitas mereka, kata yang bahkan lebih baru lagi; belum muncul sampai 1870 dan baru dipergunakan secara luas pada 1950-an.
Sebagian orang menggunakan kata genius untuk menjabarkan orang yang sangat cerdas—seseorang dengan IQ tinggi—tapi pengertian itu terlalu sempit dan menyesatkan. Banyak orang ber-IQ tinggi yang tak punya banyak prestasi. Sebaliknya, banyak orang dengan kecerdasan “rata-rata” yang melakukan hal-hal besar. Tidak, aku bicara tentang genius dalam pengertian kreatif—sebagai bentuk kreativitas tertinggi.
Definisi favoritku mengenai genius kreatif berasal dari peneliti dan pakar kecerdasan artifisial, Margaret Boden. Genius kreatif, ujarnya, adalah seseorang dengan “kemampuan untuk menelurkan ide-ide yang baru, mengejutkan, dan bernilai”. Semua itu juga merupakan kriteria yang digunakan oleh kantor Paten AS saat memutus kan apakah sebuah penemuan berhak memperoleh hak paten.
Bayangkan sesuatu sesederhana cangkir kopi. Aku mungkin menciptakan cangkir dengan warna oranye berpendar yang tak lazim. Ya, itu memang baru, tapi tidak benar-benar mengejutkan atau cukup berguna. Sekarang, anggap saja aku menciptakan cangkir kopi tanpa alas. Itu jelas baru dan sudah pasti mengejutkan, tapi sekali lagi, tidak bisa dibilang berguna. Tidak, agar layak mendapatkan hak paten, aku harus menciptakan, misalnya, cangkir kopi yang bisa membersihkan sendiri atau cangkir lipat yang berfungsi ganda sebagai flash drive—sesuatu yang memenuhi ketiga kriteria: baru, mengejutkan, dan berguna. Langkah kecil dalam inovasi tidak membuat kita layak memperoleh hak paten atau sebutan genius. Hanya lompatan besar yang layak.
Pertanyaan yang mengusik orang seperti aku, makhluk geografi dan murid sejarah, bukan sekadar seperti apa lompatan-lompatan ini, tapi di mana dan kapan terjadinya. Maka, kuputuskan untuk melakukan semacam eksperimen lain, kali ini tanpa balon air. Aku memulai tur akbar seperti orang-orang di masa lalu, melakukan perjalanan ke luar negeri yang dilakukan para pemuda ningrat Inggris pada abad ke-18 dan ke-19 dengan tujuan memperluas wawasan mereka. Aku bukan pria ningrat dan, se perti ku bilang sebelumnya, bukan orang genius. Masa kuliah hanya kelebatan kabur antara bir dan perempuan-perempuan yang tak cocok. Seandainya aku lebih menaruh perhatian. Kali ini, aku bersumpah, akan berbeda. Kali ini, aku akan mengikuti nasihat ayah mertuaku. “Anak muda,” dia kerap berkata dengan aksennya yang musikal dan tidak menentu, “Kau perlu men-di-dik dirimu sendiri.”
Baca selengkapnya pada buku The Geography of Genius.
Eric Weiner adalah seorang jurnalis peraih penghargaan, pengarang buku-buku laris, dan pembicara. Seorang pelancong filosofis, dia menulis tentang persimpangan tempat dan gagasan. Buku-bukunya termasuk buku laris The Geography of Bliss (edisi bahasa Indonesia diterbitkan oleh Penerbit Qanita, 2008) dan The Geography of Genius (Penerbit Qanita, 2016), juga sebuah memoar spiritual Man Seeks God (edisi bahasa Indonesia berjudul The Geography of Faith, Penerbit Qanita, 2016). The Socrates Express (Mizan, 2020) merupakan karya terbaru dari Eric Weiner. Buku-bukunya telah diterjemahkan ke lebih dari dua puluh bahasa. Seorang mantan koresponden NPR, dia kontributor reguler untuk Washington Post dan AFAR, selain di beberapa publikasi lain. Dia tinggal di daerah Washington, D.C. bersama istrinya, putrinya, dan beberapa kucing dan anjing yang susah di atur.
“Perjalanan global yang berusaha menguak misteri, mengapa tempat
dan zaman tertentu memiliki kumpulan orang genius ….
Weiner menulis dengan jenaka, namun penuh makna ….”
—Washington Post
“Mengapa ada tempat tertentu di dunia yang mengalami ledakan kreativitas?
Kegeniusan macam apa yang ada di Athena, Florence, dan Silicon Valley?
Buku menarik yang memadukan sejarah dan kearifan dalam balutan travelogue
yang penuh dengan tokoh-tokoh menarik di dunia.”
—Walter Isaacson, bestselling author of The Innovators dan Steve Jobs
“Informatif dan cerdas, pencarian jejak-jejak genius yang memancing pembaca
untuk menggali sumber-sumber ide kreatif mereka.”
—Shelf Awareness (starred review)
“Dengan gayanya yang cerdas, Weiner menjelajahi dunia mencari tempat-tempat
yang melahirkan tokoh-tokoh genius berpengaruh di dunia.”
—Kirkus Reviews
“Dalam buku ini Weiner membahas peran budaya dan lokasi terhadap perkembangan kreativitas masyarakatnya.
Dengan serangkaian artikel perjalanan nan cerdas, pembaca diajak berkeliling dunia … bacaan yang asyik
bagi penggemar buku sejarah, geografi, dan perjalanan.”
— Library Journal (starred review)
“Eric Weiner—dengan seorang diri—telah menemukan genre
nonfiksi baru di mana penulis yang amat brilian sekaligus lucu
ini meninggalkan rumah dan keluarganya untuk berkeliling
dunia, dalam pencariannya akan jawaban dari pertanyaan
yang tak pernah usang. The Geography of Genius adalah sebuah
pengembaraan intelektual, buku harian seorang traveler,
sekaligus novel dan komik yang bergabung menjadi satu.
Cerdas, orisinal, dan sungguh menyenangkan, ini adalah buku
terbaik Eric Weiner sejauh ini.”
—DANIEL GILBERT, Profesor Harvard dan penulis bestseller Stumbling Happiness
“The Geography of Genius, buku yang jenaka, informatif dan
sangat memaksa untuk dibaca. Entah saat kau mendapatkan
tips kegeniusan dari Freud di Wina atau mendengarkan
rahasia dari pusat pembangkit teknologi tingkat tinggi di
Silicon Valley, kau akan tampil lebih cerdas setelah membaca
kisah perjalanan menyenangkan tentang kecerdasan ini.”
—DANIEL H. PINK, penulis bestseller To sell is Human and Drive
SKU | UA-262 |
ISBN | 978-602-441-261-6 |
Berat | 420 Gram |
Dimensi (P/L/T) | 13 Cm / 21 Cm/ 0 Cm |
Halaman | 488 |
Jenis Cover | Soft Cover |