Delapan puluh tahun sudah Kahlen menjalani kehidupan sebagai peri laut. Tinggal dua puluh tahun lagi pengabdiannya kepada Samudra, sebelum ia bisa kembali menjadi manusia. Kahlen tak pernah melanggar aturan Samudra sampai ia bertemu Akinli, pemuda yang selama ini ada di impian Kahlen.
Manusia tampan itu membius Kahlen. Tiap bersama Akinli, Kahlen yang hampir lupa rasanya menjadi manusia, kembali berdebar-debar, layaknya gadis yang bertemu dengan cinta pertamanya. Sayangnya, jatuh cinta kepada manusia jelas pelanggaran berat. Kahlen tahu ini nggak akan mudah. Masa depan Kahlen dan nyawa Akinli terancam. Namun, maukah Kahlen menyerah?
Kiera Cass lahir dan dibesarkan di South Carolina. Setelah beberapakali pindah jurusan, Kiera meraih gelar di bidang sejarah di Radford University. lni juga yang membuat buku-bukunya sarat akan sejarah yang asyik untuk disimak. Karya-karya sebelumnya yaitu seri The Selection (The Selection, The Elite, The Crown, The One, The Heir) mengantarnya menjadi penulis nomor satu New York Time Best Seller. The Siren merupakan karya pertama yang ditulis oleh Kiera Cass meskipun diterbitkan belakangan. Lebih banyak tentang Kiera Cass bisa kamu temukan di website nya www.kieracass.com. Selain itu, dia juga aktif di Twitter @kieracass.
The Siren merupakan novel roman remaja karya penulis best seller Kiera Cass, yang juga menulis seri The Selection. Karya ini telah terjual hak terbitnya di 22 negara. Kisah yang ada di dalamnya sangat menyentuh dan mengajak pembaca remaja memahami arti hidup dan kematian. Karya ini tampil beda di genrenya.
Sentuhan “The Little Mermaid” karya Christian Andersen’s di buku ini akan dicintai pembaca roman remaja. —School Library Journal
Tulisannya sangat mengalir, membuatmu memahami arti kehidupan dan kematian. —The Guardian
Kisah yang luar biasa dan fantastis. The Siren tampil beda di genrenya. —Teen Reads
Cuplikan
Sulit menjelaskan apa yang membuatmu bertahan, hal-hal yang kamu ingat ketika semuanya berakhir. Aku masih bisa menggambarkan panel di dinding kamar kabin dan mengingat dengan persis betapa mewah karpetnya. Aku ingat aroma asin lautan yang merebak di udara dan menempel di kulitku. Juga suara tawa adik-adikku di ruangan lain, seolah-olah badai adalah petualangan yang menakjubkan, bukannya mimpi buruk.
Hawa kegusaran yang melebihi rasa takut atau cemas menggantung di kamar. Badai ini menggagalkan rencana kami. Malam ini tidak akan ada tarian di dek atas, tidak ada kesempatan untuk berparade dengan gaun baruku. Ketika itu, hal-hal semacam inilah yang membuatku sengsara, yang mengganggu hidupku. Hal-hal yang teramat tidak penting, hampir memalukan untuk diakui. Tapi, itu adalah kisah “pada suatu waktu”, ketika kenyataan hidupku terasa seperti cerita yang sangat bagus.
“Kalau guncangan ini tidak segera berhenti, aku tidak akan punya waktu untuk merapikan rambutku sebelum makan malam,” Mama mengeluh. Aku mengintip dari tempatku berbaring di lantai, mencoba agar tidak muntah. Bayangan Mama mengingatkanku akan poster film.
Jari-jarinya terlihat sempurna, tapi dia tidak pernah puas. “Kamu harus bangun dari lantai,” lanjutnya, menatapku tajam. “Bagaimana kalau pertolongan datang?”
Aku merayap ke salah satu sofa, melakukan—seperti biasa—apa yang diperintahkan Mama, meski kupikir posisi ini tidak tampak seanggun seorang lady. Aku memejamkan mata, berdoa agar air menjadi tenang. Aku tidak ingin jatuh sakit. Perjalanan kami sampai hari terakhir berjalan seperti biasa, hanya perjalanan keluarga dari titik A ke titik B. Aku tidak bisa ingat sekarang kami menuju ke mana. Yang bisa kuingat adalah, kami bepergian dengan gaya seperti biasanya. Kami adalah salah satu keluarga yang beruntung bisa bertahan dari krisis dengan kekayaan kami—dan Mama ingin memastikan orang-orang mengetahuinya. Jadi, kami ditempatkan di kamar suite cantik dengan jendela berukuran besar dan pelayan pribadi yang bisa dipanggil sewaktu-waktu. Aku menimbang-nimbang untuk memanggil mereka dan meminta sebuah ember.
Di tengah rasa sakit yang samar itulah aku mendengar sesuatu, seperti gumaman lagu “Ninabobo” dari jauh. Ini membangkitkan rasa ingin tahuku, dan entah mengapa, membuatku haus. Aku mengangkat kepalaku yang pusing dan melihat Mama juga mengalihkan perhatian pada jendela, mencari sumber suara. Pandangan kami berserobok sebentar, kami butuh kepastian bahwa yang kami dengar benar-benar nyata. Ketika tahu kami tidak sendiri, kami kembali memusatkan perhatian pada jendela, mendengarkan. Musiknya sangat indah dan memabukkan, seperti himne untuk umat yang taat.
Papa melongok ke dalam kamar, lehernya diperban karena dia melukai dirinya ketika mencoba bercukur saat badai. “Itu suara band?” tanyanya. Intonasinya tenang, tapi rasa putus asa tampak menghantui matanya.
“Mungkin. Suaranya seperti datang dari luar, kan?” Tiba-tiba Mama terengah-engah dan bersemangat, satu tangannya memegang leher
selagi menelan ludah dengan bergairah. “Ayo kita lihat.” Dia melompat dan mengambil sweternya. Aku kaget. Dia benci kehujanan.
“Tapi Ma, make-up-nya. Tadi Mama bilang—”
“Oh, soal itu,” katanya mengabaikanku, kemudian memasukkan lengannya ke kardigan warna gading. “Kami hanya akan keluar sebentar. Aku akan punya waktu untuk memperbaikinya ketika kembali nanti.”
“Aku mau di sini saja.” Seperti mereka, aku sebenarnya juga penasaran musiknya seperti apa. Tapi, rasa lembap di wajahku mengingatkanku sedekat apa aku akan jatuh sakit. Meninggalkan kamar bukan ide yang baik dalam kondisiku yang seperti ini. Aku meringkuk lebih dalam, melawan keinginan untuk berdiri dan mengikuti mereka.
Mama berbalik dan menatap mataku. “Aku merasa lebih baik kalau kamu di sisiku,” katanya sambil tersenyum.
Itu adalah kata-kata terakhir yang Mama ucapkan kepadaku.
Bahkan, ketika aku membuka mulut untuk memprotes, aku akhirnya berdiri dan menyeberangi kabin untuk mengikutinya. Ini bukan sekadar mematuhi lagi. Aku harus berdiri di dek. Aku harus lebih dekat ke lagu itu. Jika aku tinggal di kamarku, aku mungkin akan terjebak dan tenggelam bersama kapal. Kemudian, aku akan bergabung dengan keluargaku. Di surga atau di neraka. Atau, tidak di mana pun, kalau ini semua adalah kebohongan. Tapi, tidak.
Kami menaiki tangga, bergabung dengan para penumpang lainnya. Saat itulah aku tahu sesuatu yang salah telah terjadi. Beberapa penumpang berjalan tergesa-gesa, memaksakan jalannya menyibak kerumunan, sementara yang lain terlihat seperti berjalan dalam tidur.
Aku melangkah ke tengah hujan deras, berhenti tepat di luar pembatas untuk memeriksa keadaan. Sambil menutup telinga dengan tangan untuk meredam suara geledek dan musik yang menghipnotis, aku mencoba menentukan sikapku. Dua laki-laki melewatiku, kemudian melompat keluar kapal tanpa berhenti sedikit pun. Badainya tidak terlalu buruk sampai kami harus meninggalkan kapal, kan?
Aku menoleh ke arah adikku dan melihatnya meminum air hujan, seperti kucing liar yang menerkam daging mentah. Ketika seseorang di sebelahnya mencoba melakukan hal yang sama, mereka bersinggungan, berebut tetes hujan. Aku mundur, mencoba mencari adik tengahku. Aku tidak pernah menemukannya. Dia hilang di antara kerumunan yang bergerak menuju pagar pembatas, hilang sebelum aku menyadari apa yang aku saksikan.
Kemudian, aku melihat orang tuaku, bergandengan tangan memunggungi pagar pembatas, dengan santai melemparkan diri mereka keluar kapal. Mereka tersenyum. Aku berteriak.
Apa yang terjadi? Apakah dunia sudah gila?
Aku mendengar selarik nada, dan aku melepaskan tanganku. Ketakutan dan kecemasanku berangsur menghilang diambil alih oleh lagu itu. Sepertinya memang terlihat lebih baik berada di dalam lautan, dipeluk ombak daripada dipukul air hujan. Tampaknya menyenangkan. Aku perlu meminumnya. Aku perlu memenuhi perutku, hatiku, dan paru-paruku dengannya.
Dengan gairah tunggal yang mendorongku, aku berjalan ke arah pembatas. Akan sangat menyenangkan kalau aku minum semauku sampai setiap bagian tubuhku terpuaskan. Aku hampir tidak sadar sudah membawa diriku sampai ke seberang, tidak sadar akan apa pun, sampai pukulan air di wajahku mengembalikan kesadaranku.
Aku akan mati.
Tidak! Aku berpikir ketika berusaha kembali ke permukaan. Aku belum siap! Aku masih ingin hidup! Sembilan belas tahun belum cukup. Masih banyak makanan untuk dicicipi dan tempat untuk dikunjungi. Seorang suami, kuharap, dan sebuah keluarga. Semuanya, semua hal, hilang dalam sekejap mata.
Benarkah?
Aku tidak punya waktu untuk meragukan apakah suara yang kudengar ini nyata. Ya!
Apa yang sanggup kamu berikan untuk tetap hidup?
Apa pun!
Dan, dalam sekejap aku diseret menjauh dari keributan. Seolah-olah ada tangan yang memeluk pinggangku, menarikku melewati tubuh demi tubuh sampai aku terbebas dari mereka. Aku kemudian mendapati diriku berbaring, menatap tiga gadis jelita yang tampaknya bukan manusia.
Untuk sesaat, semua ketakutan dan kebingunganku menghilang. Tidak ada badai, tidak ada keluarga, tidak ada ketakutan. Yang ada dan akan ada adalah wajah-wajah cantik nan sempurna ini. Aku menyipit, mengamati mereka, membuat satu-satunya tebakan yang mungkin.
“Apa kalian malaikat?” tanyaku. “Apa aku sudah mati?”
Gadis terdekat, yang matanya sehijau emeral di anting-anting Mama dengan rambut merah bergelombang membingkai wajahnya, bersimpuh. “Kamu masih hidup,” janjinya, suaranya beraksen British yang terdengar menyenangkan.
Aku melongo kepadanya. Kalau aku memang masih hidup, seharusnya aku merasakan garam di tenggorokanku, kan? Bukannya mataku akan pedih terkena air? Bukannya seharusnya aku masih merasakan sakit di wajahku dari tempat aku jatuh? Tapi, aku merasa sempurna, utuh. Aku mestinya bermimpi atau sudah mati. Pasti begitu.
Di kejauhan, aku bisa mendengar teriakan. Aku mendongak, dan hanya sedikit di atas ombak aku melihat ekor kapal kami yang menyembul dari air.
Aku menghela napas dengan kasar beberapa kali, terlalu bingung untuk memahami mengapa aku masih bisa bernapas, sementara aku mendengarkan yang lain berjatuhan di sekelilingku.
“Apa yang kamu ingat?” tanyanya.
Aku menggeleng. “Karpet.” Aku mengorek ingatanku. Rasanya ingatanku menjadi jauh dan kabur. “Dan rambut ibuku,” kataku, dengan suara pecah. “Kemudian, aku berada di air.”
“Ya,” tukasku. Aku berpikir apa dia bisa membaca pikiranku atau semua orang lain juga berpikir begitu. “Kalian siapa?”
“Aku Marilyn,” dia menjawab dengan manis. “Ini Aisling.” Dia menunjuk ke gadis pirang yang memberiku senyuman kecil nan hangat. “Dan, itu Nombeko.” Nombeko sehitam langit malam dan tampaknya tidak punya rambut sama sekali.
“Kami penyanyi. Peri-peri laut. Pelayan Samudra,” Marilyn menjelaskan. “Kami membantu-Nya. Kami … memberi makan Dia.”
Aku menyipit. “Apa yang dimakan Samudra?”
Marilyn menatap sekilas ke arah kapal yang hampir karam, dan aku mengikuti tatapannya. Hampir semua suara sudah reda sekarang.
Oh.
“Ini adalah tugas kami, dan nanti ini akan menjadi tugasmu juga. Kalau kamu mengabdikan hidup kepada-Nya, Dia akan memberimu hidup. Mulai hari ini dan seterusnya, untuk seratus tahun kemudian, kamu tidak akan merasa sakit atau terluka, dan kamu tidak akan menua. Ketika waktumu tiba, kamu akan mendapatkan suaramu dan kebebasanmu kembali. Kamu akan hidup.”
“Maaf,” aku tergagap. “Aku tidak mengerti.”
Yang lain tersenyum di belakangnya, tapi mata mereka terlihat sedih. “Tidak. Tidak akan mungkin bisa mengerti sekarang,” kata Marilyn. Dia mengelus rambutku yang basah, memperlakukanku seakan aku bagian dari keluarganya. “Percayalah, kami dulu juga tidak mengerti. Tapi, kamu akan mengerti suatu saat nanti.”
Dengan hati-hati, aku bangkit sampai bisa berdiri tegak. Aku terkejut menyadari bahwa sekarang aku bisa berdiri di atas air. Masih ada beberapa orang yang mengambang di kejauhan, berjuang di tengah arus seolah-olah berpikir mereka masih bisa selamat.
“Mamaku ada di sana,” aku merengek. Nombeko mendesah, tatapannya sayu.
Marilyn merangkulku, menatap ke reruntuhan. Dia berbisik di telingaku, “Kamu punya dua pilihan: kamu bisa tetap ikut kami atau kamu bisa ikut ibumu. Ikut ibumu. Bukan menyelamatkannya.”
Aku tetap diam, berpikir. Apakah dia mengatakan yang sesungguhnya? Apakah aku boleh memilih untuk mati?
“Kamu bilang kamu akan memberikan apa pun untuk tetap hidup,” dia mengingatkanku. “Tolong bersungguh-sungguh.”
Aku melihat harapan di matanya. Dia tidak ingin aku pergi. Mungkin dia telah melihat cukup banyak kematian dalam satu hari.
Aku mengangguk. Aku akan tetap tinggal.
Dia menarikku mendekat dan berbisik ke telingaku, “Selamat datang ke persaudaraan peri-peri laut.”
Aku digiring ke dalam air, sesuatu yang dingin dipaksakan masuk ke nadiku. Dan, meski terasa menakutkan bagiku, aku sama sekali tidak merasa sakit.
SKU | BE-525 |
ISBN | 978-602-430-468-3 |
Berat | 290 Gram |
Dimensi (P/L/T) | 14 Cm / 20 Cm/ 0 Cm |
Halaman | 292 |
Jenis Cover | Soft Cover |