Seorang siswi mati. Bunuh diri.
Siaran live Instagram-nya saat gantung diri di ruang kelas menjadi viral.
Benarkah sesederhana itu? Benarkah kejadiannya seperti yang terlihat?
Karen tidak percaya. Anne tidak bunuh diri. Anne tidak mungkin bunuh diri.
Namun, punya kuasa apa dia? Satu orang melawan ribuan orang yang mengatakan sebaliknya?
Hanya orang biasa yang beberapa tahun terakhir ini banyak memikirkan tentang kematian dan kehidupan setelah mati. Suicide Knot adalah buku solo kedua Vie setelah False Beat.
Keep in touch with Vie:
Instagram/Twitter/Wattpad/
Storial/Goodreads : @VieAsano
Facebook : VieAsano
E-mail : [email protected]
“Sukses membuat penasaran dari awal sampai akhir. Setiap halaman penuh dengan kejutan tidak terduga. Bacaan wajib bagi para penggemar cerita misteri dan thriller.”
—Dyah Rinni, penulis dan editor
Suicide Knot: Behind the Scene
Oleh: Vie Asano
Saat Mbak Yuli, editor Suicide Knot, meminta saya untuk menceritakan behind the scene proses penulisan novel ini, jujur saya agak bingung harus mulai dari mana. Terus terang saja, naskah ini terinspirasi dari beberapa peristiwa yang terjadi pada 2016-2017 dan itu bikin mixed feeling banget—mulai dari proses mendapatkan ide, proses menuliskannya, saat promosi, dan kini saat menceritakan behind the scene-nya.
Pertanyaannya: kenapa bisa sampai mixed feeling kayak gitu?
Untuk menjawab pertanyaan itu, izinkan saya menceritakan proses awal lahirnya Suicide Knot ini. Semua berawal dari ajakan seorang teman untuk mengikuti Kelas Thriller 101-nya Jia Effendie pada 2017. Saat itu, saya sepenuhnya blank. Apa, sih, thriller itu? Namun, karena saya memang suka mengikuti berbagai jenis kelas menulis, tawaran itu saya iyakan.
Setelah mendaftar dan menyelesaikan proses administrasi, saya baru tahu bahwa untuk mengikuti kelas itu kita harus mengirim sinopsis naskah thriller sebagai tugas awal. Hiya, hiya, hiya …. Panik, dong, saya! Inspirasi baru muncul saat tenggat tinggal beberapa jam lagi. Saat itu, saya tiba-tiba teringat kasus bunuh diri yang disiarkan secara live di akun medsos. Mendadak, muncul sebuah pemikiran: bagaimana jika itu ternyata bukan bunuh diri seperti yang terlihat?
Jujur, saat mendapat ide itu, saya menghadapi banyak dilema. Ada kekhawatiran tersendiri saat mengangkat tema sensitif seperti bunuh diri. Takut dianggap menginspirasi, gitu. Ada juga ketakutan akan dianggap tidak punya simpati. Duh …. Namun, karena saat itu betul-betul kepepet, ide kasar itu akhirnya saya setorkan untuk dibahas di kelas thriller—pada waktu itu saya beri judul Suicide Note.
Dari kelas itu, saya mendapat beberapa masukan yang akhirnya saya gunakan untuk menyempurnakan ide tadi dan memoles bagian-bagian yang terlalu sensitif. Namun, karena satu dan lain hal, saya belum sempat menyentuh ide itu lagi hingga saya mendapat informasi Noura Books menyelenggarakan Urban Thriller Competition.
Sebagai awam dalam dunia per-thriller-an, saya sempat ragu untuk mengikuti kompetisi tersebut. Namun, karena syaratnya terbilang simpel—hanya perlu setor sinopsis—saya iseng memasukkan sinopsis Suicide Note (yang saat itu sudah saya ubah judulnya menjadi Suicide Knot) 2-3 jam sebelum tenggat berakhir. Iya, lagi-lagi ngirimnya mepet, hahaha. Namun, saking pesimisnya, setelah mengirim pun saya tidak berharap banyak dan malah sempat melupakan kompetisi itu. Makanya, sewaktu dikabari oleh teman bahwa saya lolos ke tahap 10 besar dan berlanjut lolos ke 5 besar, saya bengong. Bahkan, rasanya sampai sekarang saya tidak percaya naskah ini akhirnya betul-betul tayang di Wattpad Urban Thriller dan berlanjut menjadi sebuah buku cetak.
Proses menulis Suicide Knot ini tidak bisa dibilang mudah. Selain karena ini naskah thriller pertama saya, ini juga kali pertama saya membuat naskah dengan sudut pandang orang pertama sampai tamat dan dipublikasikan untuk umum. Saya jadi ikut merasakan ketegangan Karen (tokoh utama di Suicide Knot), ketakutannya, kecemasannya, keinginannya untuk mendapat keadilan—dan itu lumayan bikin stress. Saya juga masih deg-degan karena mengangkat tema yang sensitive, yang tergambar jelas dari judulnya. Belum lagi kekhawatiran awal itu muncul lagi: takut menginspirasi ke hal-hal negatif, takut dianggap tidak punya simpati, dan sebagainya. Intinya, naskah ini lumayan bikin stres lahir batin, deh, hahaha ….
Terlepas dari semua itu, saya ingin menjelaskan bahwa alasan saya menulis cerita ini bukan untuk tujuan hiburan semata. Ada pesan yang saya sisipkan. Ada misi yang ingin saya capai. Saya berharap pembaca bisa menemukan pesan dan memahami misi itu, dan kemudian merenungkannya. Itu saja.
Last but not least, saya ingin mengucapkan terima kasih untuk pembaca setia Suicide Knot di Wattpad yang rajin banget meninggalkan komentar, vote, bahkan menagih part terbaru sekalipun ceritanya sudah berhenti tayang. Dukungan kalian menjadi motivasi saya untuk melanjutkan cerita ini sampai tuntas. Thank you! Semoga saya bisa membuat kalian bangga dan semoga kalian menyukai cerita ini.
Kisses and hugs from Karen, Anne, Bianca, and Cello![]
NUKILAN
Initial Knot
Ini April Mop, ‘kan?
Tanpa sadar, aku berhitung dan menunggu kapan Anne akan bangun dan berteriak “April Mop!” dan setelah itu kami akan tertawa bersama. Sudah bukan rahasia bahwa Anne paling jago mengisengiku. Lima tahun kami bersahabat, Anne tidak pernah sekali pun gagal mengisengiku setiap tanggal 1 April. Tahun ini, Anne sepertinya tahu aku sudah bertekad tidak akan tertipu lagi hingga dia berencana mengisengi seluruh anggota keluarganya. Ck, siapa yang bisa menghalangi Anne jika sudah punya keinginan?
Hitungan keseratus. Ayolah, Anne, ini mulai tidak lucu. Kapan, sih, Anne akan bangun? Ini bahkan bukan
tanggal 1 April, demi Tuhan! Mengapa dia harus sengaja tidur dalam peti mati? Mengapa Anne harus mengenakan gaun putih hadiah ulang tahun dariku tahun lalu? Mengapa juga dia harus memakai riasan tebal—sesuatu yang tidak akan pernah Anne lakukan sehari-hari. Persiapan Anne betul-betul matang, membuatku nyaris percaya bahwa dia benar-benar sudah mati.
Aku berdecak jengkel. “Lelucon kamu mulai nggak lucu, Ne. Bangun! Ayo bangun!”
“Karen ….” Suara wanita itu mencegahku untuk kembali membangunkan Anne. “Sudahlah, Sayang …. Anne sudah pergi ….”
“Nggak, Tante,” tolakku keras. “Ini cuma April Mop. Iya, ‘kan?” Aku kembali mengguncang Anne. “Bangun, Ne! BANGUN! Oke, kamu hebat! Aku ketipu lagi. Sekarang, bangun, Ne! BANGUN! Ngapain kamu tidur di sana? Hapus make-up kamu! AYO BANGUN!”
Namun, sekuat apa pun aku mengguncangnya, sekeras apa pun aku berteriak, Anne tetap saja tak merespons. Tubuhnya begitu kaku; begitu dingin. Tidak seperti Anne yang selama ini kukenal. Detik berikutnya, yang kutahu Tante memelukku erat. Tangisnya kembali pecah dan air matanya membasahi pundakku.
Aku bingung. Mengapa Tante menangis? Mengapa dia memelukku seperti ini? Astaga, apa Tante tidak mengerti?
Aku harus membangunkan Anne! Jangan sampai mereka menutup peti itu karena … ini cuma April Mop, iya ‘kan?
Di tengah pelukan erat itu, aku meronta. Tanganku menggapai-gapai dan tak sengaja bergerak merenggut coker yang ada di leher Anne. Saat kalung itu terlepas, terlihatlah garis kemerahan yang melingkar di lehernya dan tak bisa ditutupi sempurna oleh tata rias.
Seketika aku mematung, menatap nanar garis merah itu. Tidak perlu menjadi genius untuk menyadari bahwa ini bukan April Mop. Garis merah itu nyata. Anne betul-betul telah pergi.
Pandanganku memburam. Janji yang pernah kami ucapkan berputar lagi dalam ingatanku.
Janji untuk lulus bersama tahun depan.
Janji untuk berjuang keras mewujudkan cita-cita: Anne menulis novel, dan aku yang membuat ilustrasinya.
Janji untuk punya pacar saat kuliah nanti, kemudian double date di kedai kopi langganan kami.
Janji untuk menjadi sahabat setia, selamanya sampai mati.
Namun, Anne malah pergi lebih dulu, dengan cara seperti ini. Dia mengkhianati janji-janji kami.
Kamu jahat, Ne! KAMU JAHAT![]
SKU | ND-401 |
ISBN | 978-602-385-885- |
Berat | 280 Gram |
Dimensi (P/L/T) | 13 Cm / 20 Cm/ 0 Cm |
Halaman | 328 |
Jenis Cover | Soft Cover |