Anggalarang masih ingat dengan jelas, seakan-akan baru terjadi kemarin, atau kemarin dulu, tatkala wajah kakaknya, Dyah Pitaloka, memancarkan cahaya gemilang untuk menjemput kebahagiaan di tanah Jawa. Putri kesayangan Kerajaan Sunda itu siap bersanding dengan seorang raja besar, raja terbesar, dari Majapahit Wilwatikta, negeri terbesar di Dwipantara. Ah, putri tercantik bersanding dengan raja muda paling berwibawa, bukankah tak ada kebahagiaan yang bisa melebihinya?
Namun, kenapa ibu dan pamannya, terkesan tak mau menceritakan apa yang terjadi pada ayah dan kakaknya di sana? Adakah sesuatu yang harus dikubur dalam-dalam? Adakah nista yang membuat kisah menyedihkan itu tak layak dipahaminya? Padahal ia adalah putra satu-satunya Prabu Maharaja, satu-satunya ahli waris takhta Kerajaan Sunda, dan bahkan kemudian bergelar Prabu Anom Niskala Wastukancana?
“Digali dari bahan-bahan perkisahan seputar Perang Bubat, Niskala merupakan roman sejarah dengan dibumbui sejumlah adegan mirip cerita silat.” —Hawe Setiawan, Pengamat Sastra