"Esok akan menjadi kini. Kini yang menjadi kemarin tak dihiraukan, karena segala yang lampau hanya gumpalan hitam."
Tokoh Kita merasa sangat kehilangan. Kematian istrinya membuat dunianya kacau. Dia begitu rindu, sampai-sampai dia terus berjalan dan pada setiap tikungan dia berharap akan berjumpa dengan istrinya. Dia pun memutuskan: dia harus ziarah ke makam istrinya! Sepanjang perjalanan menuju ke sana, Tokoh Kita mengambi; berbagai keputusan ajaib. Mula-mula dia bekerja menjadi pengapur dinding kuburan, mendobrak aturan hingga seisi kota geger. Ziarah merupakan salah satu novel monumental yang membuka cara baru dalam penulisan sastra. Absurditas yang dihadirkan Iwan Simatupang seperti mata lain untuk menelisik psikologis manusia. Patutlah bila novel ini memenangi Roman ASEAN terbaik tahun 1977. Novel yang ajaib sekaligus layak untuk terus diperbincangkan.
Dilahirkan di Sibolga 18 Januari 1928, meninggal di Jakarta 4 Agustus 1970. Nama lengkapnya Iwan Martua Lokot Dongan Simatupang. Mendapat pendidikan HBS di Medan, sekolah dokter di Surabaya (tidak selesai), lalu belajar antropologi dan filsafat di Rijk universiteit Leiden, dan Paris. Dikenal sebagai wartawan dan sastrawan. Sebagai penulis ia sudah memulainya pada tahun 1952 di majalah Siasat dan Mimbar Indonesia. Terkenal karena 2 novelnya Merahnya Merah (1968) dan Ziarah (1970). Ia juga menulis drama, antara lain Cactus dan Kemerdekaan dan Petang di Taman. Dua novelnya yang lain Kering (1972) dan koooong (1975), terbit setelah ia meninggal. Merahnya merah mendapat hadiah nasional 1970, dan Ziarah dalam terjemahan bahasa Inggris mendapat hadiah roman ASEAN terbaik 1977. (Bahan: Ensiklopedi Indonesia)
"Tentang Ziarah saudara, saya merasa kagum dan menganggapnya perlu menerbitkannya segera. Karena akan membuka halaman baru pula dalam kesusastraan Indonesia seperti halnya tempo hari dengan puisi Chairil Anwar."
—H.B Jassin ; H.B Jassin dalam suratnya kepada Iwan Simatupang
."Suatu novel yang sangat interesan dengan tema yang pada dasarnya sangat sederhana, tetapi memerlukan pengetahuan psikologis dan intelek untuk dalam menangkapnya. Novel ini dapat dinamakan parodi dan satire."
—Gayus Siagian; kritikus sastra
"Ziarah dapat melambungkan imaji-imaji pembaca serta menapak jejak perjalanan sastra Indonesia."
—Violetta Simatupang; putri bungsu Iwan Simatupang
"Ziarah bagi saya berarti dua hal, pertama 'ziarah ke dalam buku' dan kedua, 'ziarah ke dalam diri'. Untuk yang pertama, saya benar-benar mengunjungi sebuah tempat yang mulia; sebuah cerita yang utuh. Utuh yang saya maksud karena Ziarah tidak sekadar menyampaikan sebuah cerita. Lebih dari itu, ia juga menunjukkan bagaimana sebaiknya cerita disampaikan. Sedangkan yang kedua ialah ketika membaca Ziarah, kesadaran atas realitas membuat saya harus mengunjungi diri saya. Netapi, ketika tiba saya meragukan diri yang saya kunjungi merupakan bagian dari realitas. Lewat Ziarah, Iwan Simatupang memperlakukan saya sebaik dan seburuk dua hal tadi. Dan perlakuan macam itu yang sebaiknya pengarang dan karyanya berikan kepada pembaca."
—Faisal Oddang, penerima anugerah ASEAN Young Writers Award 2014.
"Membaca Ziarah bagai mengunjungi masa lalu. Indah dan sarat rahasia, menegangkan sekaligus menyenangkan. Kita, generasi ponsel pintar, harus membaca novel apik ini."
—Khrisna Pabichara, penulis.
SKU | ND-318 |
ISBN | 978-602-385-334-2 |
Berat | 180 Gram |
Dimensi (P/L/T) | 13 Cm / 20 Cm/ 0 Cm |
Halaman | 224 |
Jenis Cover | Soft Cover |