Ketersediaan : Tersedia

THE 100-YEAR-OLD MAN WHO CLIMBED OUT OF THE WINDOW AND DISAPPEARED

Deskripsi Produk

Allan Karlsson hanya punya waktu satu jam sebelum pesta ulang tahunnya yang keseratus dimulai. Wali Kota akan hadir. Pers akan meliput. Seluruh penghuni Rumah Lansia juga ikut merayakannya. Namun ternyata, justru yang berulangtahunlah yang tidak berniat datang ke pesta itu. Melompat lewat jendela kamarnya, Allan memutuskan untuk kabur. Dimulailah sebuah…

Baca Selengkapnya...

Rp 89.000

Rp 75.650

Allan Karlsson hanya punya waktu satu jam sebelum pesta ulang tahunnya yang keseratus dimulai. Wali Kota akan hadir. Pers akan meliput. Seluruh penghuni Rumah Lansia juga ikut merayakannya. Namun ternyata, justru yang berulangtahunlah yang tidak berniat datang ke pesta itu.
Melompat lewat jendela kamarnya, Allan memutuskan untuk kabur. Dimulailah sebuah perjalanan luar biasa yang penuh kegilaan. Siapa sangka, petualangannya itu menjadi pintu yang akan mengungkap kehidupan Allan sebelumnya. Sebuah kehidupan di mana tanpa terduga Allan memainkan peran kunci di balik berbagai peristiwa penting pada abad kedua puluh. Membantu menciptakan bom atom, berteman dengan Presiden Amerika dan tiran Rusia, bahkan membuat pemimpin komunis Tiongkok berutang budi padanya! Siapa, sih, Allan sebenarnya?

Tentang JONAS JONASSON

Resensi

“Kelas satu.” —Der Spiegel, Jerman “Perpaduan antara film tentang perjalanan dan novel biografi satir dengan kemasan modern. Bacaan yang sangat menyenangkan.” —NDR Kultur, Jerman “Cerita yang benar-benar gila dan sangat lucu.” —Aftonbladet, Swedia “Kisah yang memutarbalikkan setiap tindakan dan kata-kata. Bahasanya unik dan sangat berbeda.” —Nerikea Allehanda, Swedia “Fenomena internasional baru ... penuh humor yang membuat Anda terbahak-bahak.” —El Mundo, Spanyol “Novel komedi hitam dari Swedia yang kocak. Rasanya seperti menaiki kendaraan yang dikemudikan Forrest Gump.” —NU.nl, Belanda “Novel tentang penjahat yang amat jenaka.” —Trouw, Belanda “Komedi dinamit.” —Le Figaro, Prancis “Jenaka ... sebuah fenomena dalam dunia penerbitan.” —Corriere della Sera, Italia “Sangat memesona, dituturkan dengan kesederhanaan yang ceria.” —Dagbladet, Norwegia “Jenaka ... sebuah perayaan humor yang absurd.” —Helsingin Sanomat, Finlandia “Novel laris bergabung dengan invasi Nordik lain terhadap Inggris. Herperus Press ... akan menunjukkan betapa pesaing-pesaingnya keliru telah menolak novel ini..” —The Observer, Inggris "Karya debut Jonas Jonasson yang memancing tawa hingga terbahak-bahak terbit di Swedia dan segera menjadi bestseller di Eropa."  —Publishers Weekly   NUKILAN “Segala sesuatu berjalan seperti apa adanya, dan apa pun yang akan terjadi, pasti terjadi.” Senin, 2 Mei 2005 Mungkin kau mengira bisa saja dia telah membuat keputusan sebelumnya, tetapi tidak cukup jantan untuk memberitahukan keputusan itu kepada orang lain. Tetapi, Allan Karlsson tidak pernah berlama-lama mempertimbangkan sesuatu. Ide tersebut baru saja muncul di benak pria itu sebelum dia membuka jendela kamarnya di lantai dasar Rumah Lansia di kota kecil Malmköping, melangkah keluar—dan mendarat di atas petak bunga di taman. Manuver ini membutuhkan sedikit usaha keras karena Allan berumur 100 tahun. Tepat pada hari ini, bahkan. Dia hanya punya waktu kurang dari satu jam sebelum pesta ulang tahunnya dimulai di aula Rumah Lansia. Sang Wali Kota akan hadir. Juga wartawan surat kabar setempat. Dan, orang-orang jompo lain. Serta seluruh pegawai panti, dipimpin oleh Direktur Alice yang pemarah. Hanya yang berulangtahunlah yang tidak berniat datang ke pesta itu. Senin, 2 Mei 2005 Allan Karlsson ragu sejenak, berdiri di petak bunga yang membentang di sepanjang satu sisi Rumah Lansia. Dia mengenakan jaket cokelat dengan celana panjang cokelat dan di kakinya terpasang sepasang sandal rumah cokelat. Dia bukan orang yang suka berdandan; pada usia setua itu jarang ada orang yang suka berdandan. Dia sedang melarikan diri dari pesta ulang tahunnya sendiri, satu hal yang tidak biasa pula untuk orang berusia 100 tahun. Apalagi, mencapai usia 100 tahun saja sudah cukup jarang. Allan berpikir apakah dia harus bersusah payah merangkak kembali melalui jendela untuk mengambil topi dan sepatunya, tetapi ketika dia meraba dompet di dalam sakunya, dia memutuskan bahwa itu sudah memadai. Lagi pula, Direktur Alice sudah berkali-kali menunjukkan bahwa dirinya memiliki indra keenam (di mana pun Allan menyembunyikan vodka, dia bisa menemukannya). Mungkin saja sekarang ini dia sedang mengintip kamarnya, karena curiga hal-hal yang tidak semestinya sedang berlangsung. Lebih baik aku segera pergi selagi bisa, pikir Allan, sambil menjauhi petak bunga dengan lutut berderit. Di dompetnya, seingatnya, dia menyimpan sedikit uang kertas sejumlah beberapa ratus krona. Bagus, dia akan memerlukan uang tunai jika ingin menyembunyikan diri. Dia menoleh kali terakhir untuk melihat Rumah Lansia yang—sampai beberapa saat yang lalu—dikiranya akan menjadi tempat tinggalnya yang terakhir di muka bumi ini, lalu dia membatin bahwa dia bisa mati pada waktu lain, di tempat lain. Pria berumur 100 tahun itu berangkat mengenakan sandal kencingnya (disebut demikian karena jarang air seni pria-pria berusia lanjut menyembur lebih jauh daripada sepatu mereka). Pertama dia melewati taman, lalu berjalan di sepanjang lapangan terbuka tempat sesekali diadakan pasar di kota pinggiran, yang selain itu selalu sepi. Setelah beberapa ratus meter, Allan mengitari bagian belakang sebuah gereja abad pertengahan di distrik itu dan duduk di bangku di sebelah beberapa batu nisan untuk mengistirahatkan lututnya yang nyeri. Penduduk kota itu tidak terlalu religius sehingga Allan tidak khawatir akan terganggu di halaman gereja. Dia menangkap sebuah kebetulan yang ironis. Dia lahir pada tahun yang sama dengan Henning Algotsson yang terbaring di bawah batu nisan tepat di seberang bangkunya. Tetapi, ada sebuah perbedaan penting—Henning telah meninggal 61 tahun sebelumnya. Jika Allan sedikit lebih ingin tahu, dia mungkin akan bertanya-tanya apa penyebab kematian Henning, pada usia 39 tahun. Tetapi, Allan tidak pernah mencampuri urusan orang lain, hidup atau mati. Sedari dulu begitulah sifatnya dan akan selalu begitu. Alih-alih, dia malah berpikir bahwa selama ini dia keliru karena menghabiskan waktu bertahun-tahun duduk di Rumah Lansia, sambil merasa bahwa dia mungkin lebih baik mati dan meninggalkan semuanya. Seberapa pun banyaknya nyeri dan sakit yang dia derita, pastilah lebih menarik dan bermanfaat untuk melarikan diri dari Direktur Alice daripada terkubur dua meter di bawah tanah. Saat memikirkan hal itu, meskipun lututnya nyeri, si empunya hari jadi bangkit dan mengucapkan selamat tinggal kepada Henning Algotsson dan melanjutkan perjalanannya yang sangat tidak terencana. Allan memotong jalan melintasi halaman gereja ke arah selatan, sampai sebongkah dinding batu menghalangi jalannya. Tingginya tidak lebih dari semeter. Tetapi, Allan pria seabad, bukan pelompat tinggi. Di sisi sebelahnya terdapat Terminal Bus Malmköping dan pria tua itu tiba-tiba menyadari bahwa kaki rentanya membawanya ke arah bangunan yang bisa jadi sangat berguna. Sekali, sekian tahun yang lalu, Allan pernah menyeberangi Pegunungan Himalaya. Itu sama sekali bukan perjalanan mudah. Allan mengenang pengalaman itu sekarang, sambil berdiri di depan halangan terakhir yang memisahkan dirinya dan terminal itu. Dia memikirkan hal itu sungguh-sungguh sehingga dinding batu itu seolah menciut di depan matanya. Ketika dinding itu mencapai titik terendah, Allan merangkak melewatinya, tanpa memedulikan usia dan lututnya. Malmköping tidak bisa dibilang kota yang sibuk, tidak terkecuali Senin yang cerah itu. Allan belum melihat seorang pun sejak dia tiba-tiba memutuskan untuk tidak muncul di pesta ulang tahunnya yang keseratus. Ruang tunggu terminal nyaris kosong ketika Allan tertatih-tatih masuk. Nyaris. Di sebelah kanan ada dua loket, salah satunya tutup. Di belakang loket satunya lagi duduk seorang pria bertubuh kecil dengan kacamata berlensa bulat kecil, rambut tipis yang disisir ke satu sisi, dan jas seragam. Pria itu mengalihkan tatapannya dari layar komputer, menatapnya jengkel. Mungkin dia merasa ruang tunggu itu menjadi terlalu ramai, karena di sudut sana sudah ada satu orang lagi, pemuda bertubuh ceking, dengan rambut pirang panjang berminyak, jenggot awut-awutan dan jaket denim bertuliskan “Never Again” di punggung. Kelihatannya pemuda itu tidak bisa membaca, mungkin, karena dia menarik-narik pintu sebuah toilet rusak meskipun ada peringatan yang berbunyi “Rusak”. Beberapa saat kemudian, dia pindah ke toilet lain, tetapi dia menghadapi masalah baru. Jelas sekali dia tidak ingin terpisah dari koper abu-abu berodanya, tetapi bilik itu terlalu kecil untuk menampung keduanya. Menurut Allan, pemuda itu harus meninggalkan kopernya di luar sementara dia melegakan diri, atau membiarkan kopernya menempati bilik itu sementara dia tetap berada di luar. Tetapi, ada hal lain yang lebih penting yang dipikirkan Allan. Sambil berusaha menggerakkan kakinya di urutan yang benar, dia tertatih-tatih dengan langkah-langkah kecil mendekati pria kecil di loket yang terbuka dan menanyakan kemungkinan adanya angkutan umum ke arah tertentu, ke mana saja, yang akan berangkat dalam beberapa menit, dan jika ada, berapa biayanya? Pria kecil itu terlihat lelah. Mungkin dia sudah tidak mendengarkan lagi separuh pertanyaan Allan, karena setelah beberapa detik, dia bertanya, “Anda mau ke mana?” Allan menghela napas dalam-dalam dan mengingatkan pria kecil itu bahwa dia sudah mengatakan bahwa tujuan, dan juga jenis angkutannya, tidak terlalu penting dibandingkan: a) waktu keberangkatan, dan b) biayanya. Pria kecil itu mengamati jadwalnya dalam diam sambil berusaha memahami kalimat Allan.    

Spesifikasi Produk

SKU BT-28
ISBN 978-602-291-500-3
Berat 420 Gram
Dimensi (P/L/T) 13 Cm / 21 Cm/ 0 Cm
Halaman 512
Jenis Cover

Ulasan Produk

Tidak ada ulasan produk