Buku LOVE & GELATO - Jenna Evans… | Mizanstore
Ketersediaan : Tersedia

LOVE & GELATO

    Deskripsi Singkat

    Ibumu meninggal dan tiba-tiba saja kau harus tinggal bersama ayahmu—yang bahkan tidak kau ketahui keberadaannya selama ini. Tepat itulah yang dialami Lina Emerson. Oh, tapi ayahnya tinggal di Italia. Bayangkan saja musim panas, langit cerah, perbukitan hijau, dan tentu saja gelato yang lezat. Sayangnya, semua itu sama sekali tidak membuat… Baca Selengkapnya...

    Rp 84.000 Rp 45.000
    -
    +

    Ibumu meninggal dan tiba-tiba saja kau harus tinggal bersama ayahmu—yang bahkan tidak kau ketahui keberadaannya selama ini. Tepat itulah yang dialami Lina Emerson.

    Oh, tapi ayahnya tinggal di Italia. Bayangkan saja musim panas, langit cerah, perbukitan hijau, dan tentu saja gelato yang lezat. Sayangnya, semua itu sama sekali tidak membuat Lina bahagia. Lalu, jurnal ibunya mengubah segalanya, dengan kalimat pembuka mengejutkan, Aku membuat pilihan yang salah.

    Kini, Lina memiliki tujuan: menguak teka-teki masa lalu sang ibu. Lina bertualang menyusuri Florence ditemani Ren, sahabat barunya. Pada saat yang sama, ada Thomas, pemuda luar biasa tampan beraksen British, yang berhasil memesona Lina pada pandangan pertama. Lina menyukai Thomas, tapi kedekatannya dengan Ren mulai membuat perasaannya goyah.

    Ibunya pernah bilang Florence adalah tempat sempurna untuk jatuh cinta, yang juga berarti menjadi tempat terburuk untuk patah hati. Bisakah cinta sesederhana gelato saja? Lembut, nikmat, dan mencuri hati?

    Tentang Jenna Evans Welch

    Jenna Evans Welch

    Saat kecil, jenna adalah anak yang selalu haus dengan bacaan baru dan tidak punya pilihan selain tumbuh menjadi seorang penulis. Jenna Evans Welch menghabiskan masa SMA-nya di Florence, Italy, di mana dia mengemudikan skuter, berdansa di air mancur, dan menyantap terlalu banyak gelato. Ini kemudian menginspirasinya untuk menulis Love & Gelato yang menjadi New York Times Bestseller, 2016 Goodreads Choice Award Nominee untuk Young Adult Fiction, terpilih sebagai 2017 Texas Lone Star Reading List, dan telah diterbitkan di 16 negara.

    Saat dia sedang tidak menulis, Jenna bisa ditemukan tengah mengejar bayinya atau mencoba memperbaiki tragedi yang disebabkannya di dapur. Jenna kini tinggal di Salt Lake City, Utah, bersama suami dan putranya. Kunjungi blognya, The Green Lemon, di jennaevanswelch.com.
     




    Keunggulan Buku

    “Manis dan renyah. Menyentuh dan cerdas.”
    Prisca Primasari, penulis Éclair dan Purple Eyes

    “Bersiaplah terjerat dalam pesona kisah romansa, keluarga, dan makna cinta sesungguhnya.”
    —Booklist

    “Kau akan kesulitan meletakkan buku ini sebelum halaman terakhir.”
    —VOYA
     

    Resensi

    NUKILAN BUKU

    Prolog

    KAU PASTI PERNAH MENGALAMI HARI-HARI BURUK, BUKAN? Kau tahulah, hari-hari ketika alarmmu tidak berdering, roti panggangmu nyaris gosong, dan kau baru teringat pada detik-detik terakhir bahwa semua baju milikmu terendam basah di dasar mesin cuci? Jadi, kau terlambat lima belas menit ke sekolah, berharap tidak seorang pun memperhatikan rambutmu yang mirip tokoh Pengantin Frankenstein, tapi begitu kau meluncur ke mejamu sang guru berkata nyaring, “Hari ini terlambat, ya, Miss Emerson?” dan semua orang menatapmu dan melihat?

    Aku yakin kau pernah mengalami hari-hari seperti itu. Kita semua pernah. Namun, bagaimana dengan hari-hari yang sangat buruk? Hari-hari yang begitu melelahkan dan mengerikan hingga menghancurkan segala hal hanya untuk mencemoohmu?

    Hari ketika ibuku bercerita tentang Howard jelas masuk ke kategori hari yang sangat buruk. Namun, pada waktu itu, aku tidak terlalu memikirkannya.

    Saat itu, tahun keduaku di SMA baru berjalan dua minggu. Aku dan ibuku sedang berkendara pulang dari janji temunya. Mobil sunyi, kecuali suara iklan radio yang dibacakan oleh dua peniru Arnold Schwarzenegger, dan meski cuaca panas, kedua kakiku merinding. Baru tadi pagi aku finis di peringkat kedua pada pertandingan lari lintas alam pertamaku dan aku tidak percaya betapa tidak pentingnya lagi pertandingan itu sekarang.

    Ibuku mematikan radio. “Lina, apa yang kau rasakan?” Suaranya tenang, dan ketika menatapnya, aku nyaris menangis lagi. Dia begitu pucat dan kurus. Bagaimana bisa aku tidak menyadari itu?

    “Entahlah,” kataku, sambil berusaha menjaga suaraku tetap tenang. “Rasanya aku syok.”

    Dia mengangguk seraya menghentikan mobil di lampu lalu lintas. Matahari berusaha sebaik mungkin menyilaukan kami, dan aku memandang ke arahnya, mataku terasa perih. Inilah hari yang mengubah segalanya, pikirku. Mulai sekarang, hanya akan ada sebelum dan sesudah hari ini.

    Ibuku berdeham, dan saat aku menoleh ke arahnya, dia duduk tegak, seolah ada hal penting yang ingin dia sampaikan kepadaku. “Tahu tidak, aku pernah ditantang untuk berenang di air mancur?”

    Aku menoleh dengan cepat. “Apa?”

    “Aku pernah bersekolah di Florence selama satu tahun, ingat? Aku pergi ke luar untuk memotret bersama teman-teman sekelasku, dan saat itu cuacanya sangat panas, sampai-sampai rasanya aku akan meleleh. Aku punya teman—Howard—dan dia menantangku untuk melompat ke air mancur.”

    Nah, ingatlah, kami baru saja mendapat kabar terburuk dalam hidup kami. Yang terburuk.

    “... aku membuat takut sekelompok turis Jerman. Mereka sedang berpose untuk dipotret, dan sewaktu aku muncul dari dalam air, salah satu dari mereka kehilangan keseimbangan dan nyaris terjungkal ke belakang, tercebur ke air mancur bersamaku. Mereka sangat marah, jadi Howard berpura-pura bahwa aku tenggelam dan melompat menolongku.”

    Aku menatapnya, dan dia menoleh, memberiku senyum kecil.

    “Ng …, Mom? Itu memang lucu, tapi kenapa kau membahasnya sekarang?”

    “Aku hanya ingin memberitahumu tentang Howard. Dia benar-benar menyenangkan.” Lampu lalu lintas berubah hijau dan dia menginjak pedal gas.

    Apa? pikirku. Apa apa apa?

    Awalnya, aku menganggap cerita air mancur itu sebagai mekanisme pertahanan diri, bahwa mungkin dia berpikir cerita tentang seorang teman lama bisa mengalihkan perhatian kami dari dua bongkah batu granit yang bergelantungan di atas kepala kami. Percuma saja.

    Tidak bisa mengubah keadaan.
    Namun, ibuku menyampaikan cerita lain lagi setelahnya. Lagi dan lagi. Hingga titik di mana, ketika dia mulai bicara, dari tiga kata awalnya saja aku tahu dia akan kembali membahas Howard. Kemudian, saat dia akhirnya menjelaskan alasan untuk semua cerita tentang Howard itu, yah … anggap saja ketidaktahuan adalah berkah.


    “Lina, aku ingin kau pergi ke Italia.”

    Saat itu pertengahan November, dan aku sedang duduk di samping ranjang rumah sakitnya dengan tumpukan majalah lama Cosmo yang kuambil dari ruang tunggu. Sepuluh menit terakhir, aku asyik mengerjakan kuis berjudul “Dari Skala Satu Sampai Sepuluh: Sehebat Apa Kamu?” (Aku mendapat nilai 7/10).

    “Italia?” Perhatianku agak teralihkan. Orang yang mengisi kuis ini sebelum aku mendapat nilai 10/10 dan aku sedang berusaha mencari tahu penyebabnya.

    “Maksudku, aku ingin kau tinggal di Italia. Setelah ini.”

    Ucapan itu menarik perhatianku. Karena pertama, aku tidak percaya dengan kata setelah. Memang, kanker Mom berkembang persis seperti yang diprediksi dokternya, tapi para dokter itu tidak tahu apa-apa. Baru tadi pagi aku mem-bookmark cerita di Internet tentang seorang wanita yang berhasil mengalahkan kanker dan pergi mendaki Gunung Kilimanjaro. Dan, Italia?

    “Kenapa aku harus melakukannya?” tanyaku riang. Penting untuk menyenangkan Mom. Menghindari stres adalah bagian krusial dari proses penyembuhan.

    “Aku ingin kau tinggal dengan Howard. Satu tahunku di Italia sangat berarti bagiku, dan aku ingin kau mendapat pengalaman yang sama.”
    Tatapanku terarah tajam ke bel untuk memanggil perawat. Tinggal dengan Howard di Italia? Apa mereka memberinya terlalu banyak morfin?

    “Lina, tatap aku,” katanya, dengan suara keibuannya yang bernada memerintah.

    “Howard? Maksudnya pria yang sering Mom bicarakan itu?”

    “Ya. Dia pria terbaik yang pernah kukenal. Dia akan melindungimu.”

    “Melindungiku dari apa?” Aku menatap lekat-lekat mata Mom, dan tiba-tiba napasku mulai sesak dan memburu. Mom ternyata serius.

    Apakah kamar-kamar rumah sakit menyediakan kantong kertas?


    Mom menggeleng, matanya berkaca-kaca. “Keadaannya akan menjadi … sulit. Kita tidak perlu membicarakannya sekarang, tapi aku ingin memastikan kau mendengar keputusanku langsung dari mulutku sendiri. Kau akan membutuhkan seseorang. Setelah ini. Dan, kupikir dia pilihan terbaik untuk itu.”

    “Mom, itu bahkan tidak masuk akal. Kenapa aku harus tinggal dengan orang asing?” Aku melompat bangun dan mulai menggeledah seluruh laci di meja kecilnya. Seharusnya ada kantong kertas di suatu tempat.

    “Lina, duduk.”

    “Tapi, Mom—”

    “Duduk. Kau akan baik-baik saja. Kau akan berhasil. Hidupmu akan berlanjut, dan semuanya akan berubah menyenangkan.”

    “Tidak,” ujarku. “Kaulah yang akan berhasil. Kadang orang bisa sembuh.”

    “Lina, Howard adalah teman yang menakjubkan. Kau akan benar-benar menyukainya.”

    “Aku meragukannya. Dan, kalau dia memang sebaik itu, kenapa aku tidak pernah bertemu dengannya?” Aku menyerah mencari-cari kantong, terperenyak ke kursi dan menaruh kepala di antara lutut.

    Mom berusaha keras untuk duduk, lalu mengulurkan tangan, meletakkannya di punggungku. “Situasinya agak sedikit rumit di antara kami, tapi dia ingin mengenalmu. Dan, dia bilang dia akan senang sekali kau tinggal bersamanya. Berjanjilah kepadaku kau akan mencoba. Setidaknya beberapa bulan.”

    Terdengar ketukan di pintu, dan kami berdua mendongak menatap seorang perawat berseragam biru muda. “Hanya mau memeriksa,” tukasnya, entah mengabaikan atau memang tidak memperhatikan ekspresi di wajahku. Dari Skala Satu sampai Tegang, suasana kamar itu mencapai 100/10.

    “Pagi. Aku baru saja memberi tahu putriku kalau dia harus pergi ke Italia.”

    “Italia,” kata si perawat, menangkupkan kedua tangan ke dada. “Saya pergi ke sana saat berbulan madu. Gelato, Menara Miring Pisa, perahu gondola di Venice …. Kau akan menyukainya.”

    Ibuku tersenyum ke arahku dengan penuh kemenangan.

    “Mom, tidak. Tidak mungkin aku pergi ke Italia.”

    “Oh, tapi, Sayang, kau harus pergi,” si perawat berkata. “Itu akan jadi pengalaman yang sangat spesial.”

    Si perawat ternyata benar tentang satu hal: aku memang harus pergi. Namun, tidak ada yang memberiku petunjuk sedikit pun mengenai apa yang akan kujumpai sesampainya di sana.[]
     

    Spesifikasi Produk

    SKU ND-332
    ISBN 978-602-385-424-0
    Berat 370 Gram
    Dimensi (P/L/T) 14 Cm / 21 Cm/ 0 Cm
    Halaman 404
    Jenis Cover Soft Cover

    Produk Jenna Evans Welch

















    Produk Rekomendasi