Bagi Naya, Rafa nyebelin, usil, dan pengacau. Naya selalu kesal oleh tingkah Rafa yang tak henti mengganggunya. Beda banget dengan sahabat Rafa, Dimas. Di mata Naya, Dimas cowok yang perhatian, bikin Naya jatuh hati.
Naya menggantung harapan tinggi pada Dimas karena sikapnya seolah juga menaruh hati pada cewek itu. Namun, pada saat yang sama, Alya, sahabatnya bilang bahwa ia menyukai Dimas. Belum lagi, lama-kelamaan Rafa tak henti melempar kode cinta yang entah serius atau tidak.
Rumit! Naya bingung, perasaannya terombang-ambing. Mana yang harus dia korbankan antara persahabatan dan cinta?
Bella Kurnia Anjani, lahir pada 17 Januari 2001. Mulai menyukai dunia sastra sejak SD dan mulai menyalurkan hobi menulis di platform Wattpad ketika kelas XI SMA. Pernah memenangi lomba puisi dan event-event sastra, tetapi lebih sering menjuarai lomba debat.
Penyuka cerita bergenre romance, thriller, comedy. Never be Us adalah novel pertamanya. Sapa author jahat pencinta kentang ini di sini, ya!
Instagram/Wattpad/Twitter: bellaanjni
Surel: [email protected]
Never be Us adalah karya novel pertama dari penulis debut Bellaanjni yang sebelumnya ditulis di Wattpad. Kisah Naya dan Rafa ini telah dibaca lebih dari 1,3 juta kali di Wattpad dan pernah menduduki ranking pertama di kategori fiksi remaja.
Cerita Never be Us, tidak hanya menceritakan kisah cinta remaja, tetapi juga nilai keluarga, persahabatan, dan dibumbui peristiwa-peristiwa yang membuat pembaca terus penasaran akan jawabannya.
Testimoni
“Dari awal, karakter Naya-Rafa udah curi perhatian. Interaksi mereka yang kocak bikin asyik baca tiap lembarnya. Ditambah konflik yang menguras air mata, bikin novel ini jadi paket komplet.”
—Pit Sansi, penulis Just be Mine, My Ice Girl, My Ice Boy, dan Saga
“Never be Us bercerita tentang konflik remaja, tetapi diangkat dengan gaya yang berbeda. Membacanya kayak lagi naik roller coaster, dijungkir balik gitu. Selain itu bacanya bisa bikin kamu merasa seakan jadi tokohnya. Alurnya nggak bisa ketebak, banyak kejadian mengejutkan yang membuat kalian berpikir bagaimana kelanjutannya. Karakter Rafa-Naya unik, kisahnya luar biasa bikin geregetan sendiri, ketawa, nangis. Berhasil banget, deh, bikin nyelam di kisah Rafa-Naya. Really love this story! Layak best seller!”
—Pyaragista, pembaca Never be Us di Wattpad
Cuplikan
“Bego banget, sih! Terus aja gue nggak bisa move on dari cowok itu! Dia udah nembak cewek lain Nay!” ucap Naya kepada dirinya sendiri dengan nada kesal. “Memangnya dia siapa? Berani bikin gue nggak bisa move on gini!” tambahnya menguatkan diri.
Cewek itu menatap langit dari jendela dan merasakan desiran angin malam yang terasa semakin dingin menembus pori-pori kulitnya. Naya menghela napas berat, sesaat setelah menguburkan harapannya. Ia kemudian melihat jam dinding di kamar berwarna krem pastel miliknya yang kini menunjukkan pukul 23.17. Lantas, cewek itu melirik layar ponsel, memasang alarm secara berkala dengan rentang waktu lima menit.
“Selamat tidur, Annaya Revandini. Cepet move on, ya!” Naya tersenyum di akhir kalimat yang ia ucapkan.
***
Naya menunggu bus sekolah yang selalu membawanya menuju sekolah. Namun, bus yang ditunggu tak kunjung datang. Ia semakin cemas, 15 menit lagi gerbang sekolah pasti ditutup, belum lagi jalanan pagi ibu kota yang sangat padat.
Dari kejauhan, Naya melihat sebuah motor. Pengendara motor itu mengenakan seragam almamater sama dengan yang digunakannya. Dasi cokelat dan jaket abu-abu, membuat Naya yakin bahwa si pengendara berasal dari sekolah yang sama. Naya mengembuskan napas, membangkitkan tekad. Saat motor itu semakin dekat, Naya melambaikan tangan dan berteriak untuk memberhentikannya.
“Hei!” teriaknya kencang. Tak disangka, motor itu berhenti tepat di depannya. “Bang Ojek! Ke SMA Angkasa, ya!” ujar Naya langsung menaiki motor tersebut. Dalam benaknya, ia bingung, kenapa barusan dirinya berucap demikian? Mana ada abang ojek yang memakai almamater dan menggunakan motor besar kece seperti itu?
Akan tetapi, biarlah, namanya juga Naya. Ia bisa minta maaf nanti atau kapan saja ia mau.
Kurang dari sepuluh menit, mereka sudah sampai sekolah. Hal itu berkat cowok yang mengendarai motornya tanpa tahu diri bahwa dia sedang membawa nyawa seseorang. Naya turun, lalu merogoh sakunya. “Nih Bang, ongkosnya! Kembaliannya buat Abang aja.” Cewek itu menyodorkan selembar uang 20 ribu sambil menunduk, tanpa melihat wajah cowok tersebut. Bukan Naya tidak ingin melihat cowok itu, hanya saja ia tidak berani.
Tak kunjung mendapat respons, Naya mengepalkan uang tersebut dan menaruhnya di tangan yang masih mengenakan sarung tangan berwarna hitam itu. Kemudian, dia beranjak tanpa menoleh lagi.
Naya memasuki gerbang utama dan melihat lapangan sudah dipenuhi siswa-siswi yang masih memakai seragam putih biru. Jajaran panitia pun sudah siap berbaris di depan.
“Duh Neng Annaya, cepat masuk Neng. Teman-teman OSIS Neng sudah menunggu dari tadi. Sampai Mas Billy bilang ke saya, kalau ketemu Neng Naya suruh kunciin aja di dalam pos.” Mang Ujang yang merupakan satpam SMA Angkasa itu menyengir, memamerkan gigi ompongnya.
Mas dan Neng adalah sapaan akrab Mang Ujang kepada setiap murid SMA Angkasa. Mas Billy yang ia sebutkan tadi adalah ketua OSIS di sana. Naya yakin Billy akan marah-marah karena dirinya terlambat. Naya balas tersenyum. Sebelum beranjak, Naya sekilas mendengar Mang Ujang berbicara kepada “tukang ojeknya”.
“Mas Rafa, pacarnya Neng Naya?”
Naya ingin sekali berbalik untuk menyanggah, tapi ia mengurungkan niatnya dan bergegas menuju ruang OSIS yang berada di lantai dua.
“Lah, Mang, kenal sama yang namanya Naya?” balas cowok yang dipanggil Rafa sambil membuka helmnya.
“Itu tadi saya lihat Neng Naya turun dari motor Mas Rafa. Nggak usah malu-malu Mas, yang satu cantik imut, yang satu ganteng, cocok!” Mang Ujang lagi-lagi nyengir.
“Mang Ujang mulai ngawur. Tadi tuh, dia berhentiin motor saya di jalan. Terus, tiba-tiba naik pas saya berhenti. Saya nggak denger cewek itu ngomong apa, kan pakai earphone. Eh, sampai sekolah dia ngasih uang 20 ribu. Mang Ujang udah sarapan?” tanya Rafa mengalihkan topik pembicaraan.
“Belum Mas Raf, baru ngopi. Mas Raf mau pesen kopi?” Mang Ujang kini duduk di bangku panjang yang terletak di depan pos.
“Nggak Mang. Ya udah, ini buat sarapan Mang Ujang.” Rafa menyodorkan uang 20 ribu dari Naya tadi.
“Wah ... pasti ada maunya nih, ya, Mas Rafa?” tanya Mang Ujang jail, seraya mengambil selembar uang yang disodorkan.
Rafa memasuki pos satpam dan berbisik kepada Mang Ujang, “Jangan bilang-bilang ya Mang, saya malas upacara. Nanti pasti lama, banyak sambutannya. Kunci aja posnya dari luar.”
Di dalam pos satpam ia bisa mendengar suara pengurus OSIS yang masih mengatur barisan siswa baru dari speaker. Ia mengeluarkan ponsel dan bermain game. Setidaknya, itu yang membuat pikiran Rafa sedikit tenang.
“Ya ampun Annaya! Ke mana aja lo? Lo kan, ketua pelaksana MPLS! Dicariin dari tadi nggak nongol-nongol!” ucap Billy kesal, wajahnya memerah.
“Maaf Kak, saya nggak akan mengulang kesalahan saya,” ucap Naya. Billy adalah siswa tingkat 12, sementara Naya tingkat 11.
“Ambil alih lapangan sekarang!” ujar Billy tegas, membuat Naya sedikit bergidik, lantas menurutinya.
Dengan perut yang keroncongan karena belum sarapan, Naya pergi ke lapangan dan melaksanakan tugasnya.
Setelah upacara selesai, siswa kelas XI dan XII diarahkan untuk memasuki kelas yang nama dan kelas baru sudah tertempel di mading sekolah.
“XI IPA 4”
Nama Naya ada di kolom kelas itu. Hampir setengah siswanya ia kenal dari kelas X. Jadi, tidak terlalu sulit untuk Naya beradaptasi di kelasnya. Sedangkan siswa-siswi baru yang masih berpakaian putih biru diarahkan memasuki kelas yang sudah diatur panitia.
Kegiatan orientasi siswa baru, berakhir pukul 12.00. Sementara jadwal pulang siswa kelas XI dan XII pukul 14.00.
“Kalian langsung balik aja ke kelas masing-masing. Evaluasinya nanti, hari terakhir,” ucap Billy membubarkan pengurus OSIS yang semuanya tampak lelah. Naya mengusap dahinya yang berkeringat, kemudian menyusuri koridor hingga sampai di kelas yang ia tuju. Cewek itu memasuki kelas XI IPA 4 dan beberapa teman yang sudah ia kenal menyapanya bersahabat. Tidak ada yang terlalu akrab dengannya, hanya sebatas mengenal nama dan wajah.
“Nay, sini duduk bareng gue!” ucap Alya, teman Naya. Alya cewek yang manis. Kulitnya sawo matang dengan bulu mata lebat dan bibir merah alami. Rambut hitam sebahunya membingkai wajah mungil Alya.
Naya mengangguk, kemudian mendekati meja yang berada paling depan di barisan kedua. Di meja tersebut sudah terdapat tiga teman lainnya sehingga mereka menjadi berlima. Ada Nisa, Amel, dan Syifa. Begitu duduk, cewek itu mengeluarkan kotak
makannya. “Kalian nggak makan?” tanya Naya, yang dibalas gelengan.
“Kami udah makan,” jawab salah seorangnya.
Naya hanya mengangguk pelan. “Gue makan ya!” ujar Naya cepat karena cacing di perutnya sudah meminta jatah.
Naya mengangkat kotak makannya, kemudian beralih pada tas, mencari sesuatu. “Ah! Gue nggak bawa sendok! Mana gue bekel mi lagi!” decak Naya yang kini mengerucutkan bibirnya.
“Pakai tangan aja, Nay!” ucap Amel terkekeh.
“Kalau nasi masih bisa. Ya kali gue makan mi pakai tangan.” Cewek itu semakin tidak berselera sekarang.
“Nih, pakai sendok punya gue aja. Kebetulan gue bawa roti, jadi nggak usah pakai sendok.” Seorang cowok di belakang meja Naya berucap seraya menepuk pundak cewek itu. Naya dan teman-temannya kompak menoleh ke belakang.
“Beneran nggak apa-apa? Nanti gue cuci, deh. Gue lapar banget, belom makan sama sekali dari pagi,” balas Naya dengan senyum mengembang di bibirnya.
“Iya santai aja. Gue Dimas, dulu X IPA 2.” Ia mengulurkan tangannya kepada Naya.
“Annaya, dulu gue X IPA 9.” Naya menyambut uluran tangan Dimas.
Mendengar nama yang ia dengar tadi pagi, sontak teman di sebelah Dimas menoleh ke arah Naya, lalu kembali fokus melihat layar ponselnya.
Rafa, siswa yang kini duduk satu meja dengan Dimas melepas earphone yang semula ia pakai. “Dim, lo tahu, nggak? Masa tadi pagi gue dikira tukang ojek!” ucap Rafa nyaring.
SKU | BE-120 |
ISBN | 978-602-430-494-2 |
Berat | 330 Gram |
Dimensi (P/L/T) | 15 Cm / 21 Cm/ 0 Cm |
Halaman | 352 |
Jenis Cover | Soft Cover |