Pandangan Reina dan Revan beradu. Dan, hal pertama yang
mampu gadis itu Iakukan adalah memejamkan kedua matanya
sambil menghirup udara sebanyak mungkin. Sementara ia
menyusun kata demi kata untuk mengurai penjelasan, justru
Revanlah yang pertama kali membuka mulut. Memecah
keheningan yang janggal. Meski begitu, ekspresi Revan terlihat
muram.
”Gue ngerti kok, Na. Tanpa lo jelasin pun, gue bisa mengerti',”
Revan melempar pandangannya ke arah lain. "Karena itu
satu-satunya hal yang mesti gue Iakukan ketika dia kembali."
Reina masih terdiam. Perasaannya teraduk-aduk.
Sebab Revan percaya, hati yang terluka hanya perlu waktu
untuk sembuh.
Namun, bukankah rasa kerap berjalan beriringan dengan
anomali?
Kini, kebahagiaan pun masih bertumpu pada ketidakpastian.