Gara-gara surat cinta misterius, Sabrina dan Jovan tanpa sengaja menjadi sepasang kekasih. Sabrina yang bahkan nggak kenal Jovan, tentu saja protes. Ia terus berusaha putus dari Jovan. Syarat Jovan hanya satu, jika Sabrina mampu memecahkan soal matematika darinya, mereka putus. Mungkin nggak, sih, mecahin soal dari Dewa Matematika di sekolah?
Sementara itu, Kak Arka, gebetan Sabrina, makin hari makin salah paham kepadanya. Padahal, Sabrina nggak ada rasa sama Jovan. Grrr! Seakan belum runyam, pada waktu yang sama, Sabrina terus mendapat teror. Mulai dari serangan di medsos sampai kecelakaan yang mencederai dirinya.
Hari-hari Sabrina rumit banget! Meski memusingkan, ia bertekad harus lepas dari Jovan dengan usahanya sendiri. Juga, menemukan orang jahat yang selama ini menerornya.
Pit Sansi. Perempuan lulusan Sarjana Desain Grafis yang
lahir tanggal 10 Desember ini berupaya menjadi penulis yang
produktif.
Surat Cinta Tanpa Nama adalah novel keenamnya yang
berhasil diterbitkan. Novel lainnya yang berjudul Just Be Mine, My
Ice Girl, My Ice Boy, Saga dan Hello to My Ex sudah bisa didapatkan
di toko-toko buku. Selain itu, karya-karya Pit Sansi juga bisa
kalian dapatkan dalam format digital di Google Play Books.
Sapa penulis melalui:
Wattpad: pitsansi
IG: pitsansi
Surel: [email protected]
Testimoni:
“Khas cerita Pit Sansi, bukan sekadar kisah romance remaja, selalu ada teka-teki yang bikin gemes. Dan matematika jadi terlihat menarik setelah baca cerita ini. Seru banget!”
Arumi E — penulis novel We Could Be In Love & Aku Tahu Kapan Kamu Mati
“Aku rasa cerita Surat Cinta tanpa Nama sangat menggemaskan. Apalagi dibalut teka-teki seperti ciri khas Pit di cerita-ceritanya yang lain. Bikin penasaran dan nggak sabar baca tiap halamannya. Good job!”
Ainun Nufus – penulis novel Lavina & Erlan
Cuplikan:
Aku menghentikan langkahku tiba-tiba ketika menemukan
sesuatu di dekat kakiku. Sari berdecak sebal dan tetap berusaha
menahan bahuku.
“Buruan, Sa. Kak Merry ada di belakang. Nanti kita kena
tegur lagi!”
Aku mengabaikan perkataan Sari karena lebih tertarik
pada sesuatu berwarna merah hati yang kutemukan. Bentuknya
seperti sebuah surat. Aku menunduk untuk meraihnya dan
menoleh cepat mencari seseorang yang kemungkinan besar baru
saja menjatuhkannya.
“TUNGGU!” seruku pada seorang cowok ber-hoodie hitam,
yang kuyakini sebagai orang yang baru saja melewatiku.
Beruntung cowok itu menyadari seruanku.
“Surat Kakak jatuh,” ucapku sambil mengulurkan surat itu
kepadanya. Aku yakin cowok itu adalah anak kelas XII.
Ia melirik surat yang kuulurkan, kemudian berbalik
sepenuhnya menghadapku sambil menatapku lurus tanpa
ekspresi. Tatapannya terlihat sangat dingin dan tidak bersahabat.
Sepertinya aku mengenalinya. Ia salah seorang siswa
berprestasi di sekolah, yang setahuku kini namanya sedang jadiperbincangan hangat. Bukan hanya karena prestasi di bidang
akademik, tetapi wajahnya yang tampan dan sikap sedingin es
kabarnya menjadi magnet kuat kaum hawa di sekolah ini. Siapa
namanya? Jo ... Jovan? Aku sedikit tidak yakin.
Cowok itu tidak langsung menyambut surat yang kutemukan.
Ia malah beberapa kali menoleh ke kiri dan kanan, seolah
memberi isyarat bahwa banyak orang yang kini memperhatikan
kami. Aku mulai menyadari seruanku tadi pasti sangat nyaring
hingga membuat kami jadi pusat perhatian seperti ini.
Banyak bisikan-bisikan miring di sekitarku yang sampai ke
telingaku. Orang-orang itu mulai bergosip tanpa tahu kejadianyang sebenarnya. Tapi, aku sama sekali tidak bisa menyalahkan
mereka. Biar bagaimanapun, dilihat dari sudut mana pun,
posisiku saat ini jelas terlihat seperti sedang memberikan surat
cinta kepada cowok di depanku. Yang benar saja?! Mengapa aku
baru menyadarinya sekarang?
Cowok itu balik menatapku masih dengan tatapan yang
sama, sementara aku mulai terusik dengan bisikan-bisikan
mengganggu di sekitarku.
“Diterima!” ucap cowok itu tenang sambil menyambut surat
dari tanganku.
Perkataannya sukses membuat suasana di aula semakin
ricuh. Entah sejak kapan aula kembali penuh dengan sekumpulan
siswa dari berbagai kelas. Mereka mengurungkan niat untuk
keluar gedung aula dan mengelilingi kami, seolah menyaksikan
kami jauh lebih seru daripada acara pensi yang baru saja usai.
“B-bukan begitu maksudku! Kenapa aku jadi gagap begini?
Maksudku surat itu—”
“Kita jadian!”
Cowok itu memotong ucapanku, hingga membuatku
ternganga mendengar ucapannya. Bisikan di sekitarku sudah
berubah menjadi sorakan dan tepukan yang sangat bising,
mengganggu konsentrasiku dan membuatku sulit mencerna apa
yang baru saja terjadi.
“What?” hanya satu kata itu yang berhasil kulontarkan.
Aku sungguh tak mengerti dengan semua kejadian yang
membingungkan ini.
Apa dia baru saja menembakku?
SKU | BE-133 |
ISBN | 978-602-430-619-9 |
Berat | 320 Gram |
Dimensi (P/L/T) | 15 Cm / 21 Cm/ 0 Cm |
Halaman | 276 |
Jenis Cover | Soft Cover |