Rasa sakit itu seperti hantu.
Semu.
Tidak nyata.
Tapi ada.
“Datanglah, Carmine. Jemput anak-anakmu.”
Anak-anaknya dalam bahaya. Dia harus bergegas, sebelum wanita itu “menidurkan” mereka.
“Aku akan menolongmu, Carmine. Aku akan memperbaikimu.”
RUWI MEITA, ibu dua orang anak ini lebih dikenal sebagai penulis thriller. Sejak debut Rumah Lebah : Rahasia Wajah-Wajah Asing (2008), novel-novel berbau horor, misteri, dan thriller mulai bermunculan.
Sebut saja Kamera Pengisap Jiwa (2014), Days Of Terror (2015), Alias (2016), Misteri Bilik Korek Api (2017), dan Misteri Patung Garam (2015) yang kemudian diterjemahkan di Malaysia dan mengambil judul Garam. Saat ini selain menulis Ruwi Meita juga seorang pecandu olahraga. Menurutnya aktivitas ide dan fisik haruslah seimbang. Kolam renang menjadi tempat yang asyik untuk berburu ide dan berolahraga.
Ruwi Meita mulai belajar menulis sejak SMA di Bengkel Sastra (program penulisan untuk murid-murid SMA) yang diadakan oleh Balai Bahasa Yogyakarta. Di sana dia mulai belajar menulis cerpen di bawah asuhan Agus Noor dan Sri Hardjanto Sahid.
Kalian bisa merayakan misteri bersamanya di twitter @RuwiMeita25
- Penulis sudah terkenal dengan genre thriller dan salah satu bukunya bahkan sudah diterjemahkan di Malaysia.
- Membahas masalah sehari-hari yang banyak dialami para wanita yang sudah berumah tangga.
- Penulis menggunakan alur maju-mundur, bergantian tiap bab, tetapi mengemasnya dengan cara ringan yang tidak membingungkan dan berhasil menyimpan rahasia-rahasia penting hingga bagian akhir.
- Genre thriller masih sangat jarang di Indonesia. Noura Publishing yang sudah terkenal dengan novel-novel terjemahan bergenre thriller, bisa menjadi pelopor untuk memperkenalkan genre ini agar bisa lebih berterima oleh pembaca Indonesia.
- Ceritanya sangat menegangkan, dengan adegan-adegan yang akan disukai pembaca dan membuat mereka merinding.
MENGAPA CARMINE?
Oleh : Ruwi Meita
Kekerasan dalam rumah tangga terjadi tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga secara psikis. Pasanganmu mungkin tidak pernah menamparmu atau kekerasan berbentuk fisik lainnya, tetapi kamu ditekan terus-menerus secara mental sehingga dirimu benar-benar menjadi kerdil, tidak berdaya, tidak memiliki arti, dan kehilangan tujuan hidup. Hal ini jauh lebih mengerikan. Jiwa korban menjadi rusak dan tentu saja memengaruhi seluruh aspek kehidupannya. Dan, uniknya, kasus-kasus seperti ini merupakan zona yang sulit disentuh oleh orang lain sehingga akhirnya orang luar sangat kesusahan untuk membantu korban. Apalagi para korban merasa takut, selalu berpikir pasangan mereka mungkin saja suatu hari nanti akan berubah, meski nyatanya tidak. Mereka berada dalam penjara yang dinamakan pernikahan. Untuk keluar dari sana, korban membutuhkan nyali besar untuk menjauhi pasangannya walaupun banyak kejadian di mana akhirnya korban berakhir mati di tangan pasangan.
Tema-tema seperti ini cukup asyik untuk diulik dalam sebuah novel. Saya tidak hanya mengulik masalah kasus kejahatan saja, tetapi juga psikologis masing-masing pihak baik antara korban maupun pelaku. Sebagian besar pelaku kasus kejahatan adalah orang terdekat korban. Namun, mengapa hal ini bisa terjadi? Mengapa dia melakukannya? Pertanyaan-pertanyaan ini membutuhkan banyak sekali kajian, baik dengan merunut latar belakang keluarga tokoh, pola pikir, pandangan hidup, dan masalah yang dihadapi. Rumah tangga layaknya sebuah negara supermini, di mana tidak sembarang orang bisa ikut campur masalah dalam negeri. Kadang, orang luar pun tidak tahu ada masalah dalam rumah tangga itu karena pasangan menutupinya, baik korban maupun pelaku. Si pelaku tentunya tidak ingin diketahui tindakannya, sementara si korban terlalu malu, tak berdaya, untuk mengakui kejahatan yang menimpanya.
Saya menyukai tema-tema ini sejak novel-novel bergenre domestic noir muncul di pasar buku sejak tahun 2013. Sebut saja Gone Girl, The Girl on the Train, Sharp Objects, The Woman in the Window, The Perfect Mother, Dark Wood, dan sebagainya. Buku-buku ini cukup memikat saya sehingga saya ingin menulis novel dengan genre yang sama. Domestic Noir sendiri sebenarnya adalah subgenre dari Crime Fiction. Beberapa orang menyebutnya sebagai psychological thriller. Tokoh utama dalam genre ini didominasi perempuan, lebih banyak menceritakan isu-isu dalam pernikahan, isu feminis, dan bagaimana semua hal itu bisa menciptakan kejahatan hubungan antara laki-laki dan perempuan baik dalam pernikahan maupun hubungan lainnya. Keluarga bukan hanya bisa menjadi komunitas kecil yang menciptakan kenyamanan dan cinta kasih, tetapi juga bisa berubah menjadi tempat pertama yang ingin sekali dijauhi karena kamu merasa seolah tengah mencicipi neraka.
Pada akhirnya, saya menciptakan karakter Mirah dan Carmine. Dua wanita yang sama-sama mengalami banyak tekanan dari dua sudut pandang berbeda. Keduanya bertemu karena masalah dalam rumah tangga mereka. Carmine, mantan artis yang terpaksa pensiun untuk mengurusi anak-anaknya. Dan Mirah yang mengalami perubahan besar dalam hidupnya. Keduanya saling membutuhkan hingga akhirnya salah satu dari mereka sadar hubungan yang terjalin di antara mereka berdua ternyata sangat merusak. Sayangnya, sebelum tersadar, sebuah tragedi besar telanjur terjadi di malam tahun baru. Tragedi yang menyisakan kubangan darah.
Saya berharap genre ini bisa diterima oleh masyarakat. Banyak sekali pesan yang bisa didapat dalam novel yang mengangkat genre ini. Saya juga berharap setelah masyarakat membacanya, mereka mulai lebih awas terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Pada akhirnya, selamat membaca Carmine—dan barangkali Anda justru membaca realitas masyarakat kita dalam novel ini.[]
NUKILA N
PROLOG
Lampu terang menyorot wajahku. Aku tersilau walaupun mata terpejam. Sayup-sayup kudengar suara tik ... tak ... tik ... tak. Aku tidak tahu apakah itu detak jam ataukah tetesan air. Kubuka mata yang segera liar diserbu cahaya. Aku bukan hanya diterangi, melainkan berada dalam terang membutakan. Aku berusaha menggapai kesadaran dan menemukan praduga jika cahaya itu pusaran waktu yang bergerak seperti benang kusut. Aku mengecil, tumbuh, dan mengerdil kembali dalam pola waktu yang kacau di sebuah dunia monokrom. Hitam dan putih.
Sesaat atau berpuluh tahun lalu, Mami menyuapiku dengan mata yang tidak pernah melihatku. Sekejap kemudian atau ribuan hari setelahnya, orang-orang bertepuk tangan, mengerumuniku. Beberapa mencubiti pipiku, menarik tanganku, sementara suara-suara di belakang menyorakiku, “Cheesy Carmine! Gadis keju!”
Sekarang, aku mengambang dalam cahaya. Membeku. Ringan, tetapi sekaligus tenggelam. Hingga rasa sakit itu datang. Tubuhku melengkung karena menahannya. Hanya saja, ini jenis sakit yang terasa jauh. Aku tidak tahu di mana letak sakitnya, tetapi aku tahu kalau aku kesakitan. Aku merasa telanjang dan menggigil. Seperti berada di atas dipan dingin.
Entah kapan dan bagaimana caranya, aku sudah berada di meja operasi.
Geming.
Aku tak bisa mengangkat tangan dan kakiku. Namun, aku bisa mengangkat kepalaku. Aku bisa melihat perutku. Seseorang meletakkan ritsleting dari bahan platinum yang sangat kuat.
Sret … sret ….
Suara itu membunuh kesunyian. Suara pelan nan mengganggu. Seperti saat seseorang makan dengan mengecap keras, pintu berderit, atau angin bersiut. Suara itu berasal dari ritsleting yang sedang dibuka. Aku menelan ludah. Seseorang membukanya dari dalam perutku.
Buka tutup.
Buka tutup.
Orang itu seperti baru mengenal ritsleting untuk kali pertama dan merasa kesenangan.
Hentikan! Kau merobek perutku!
Hardikanku membungkam gerakan itu. Ritsleting dibiarkan terbuka. Aku tenggelam dalam deru napasku sendiri. Seharusnya orang itu menutupnya. Aku tidak bisa bangun dengan perut terpampang.
Mataku terarah pada perutku lagi. Kuteguk banyak udara saat melihat sesuatu keluar dari sana. Lima jari mungil dan gemuk yang terkepal, membuka perlahan-lahan, lalu menunjuk wajahku.
A, B,C, D ….
Aku mendengar seseorang bernyanyi di kejauhan. Aku berusaha mengenali suaranya saat bisikan yang lebih dekat meniup telingaku, menimpa nyanyian itu. Aku tergeragap. Sekali lagi aku berada di tempat lain. Yang kutahu, aku masih telanjang dan menghidu bau jahe merah. Hanya laki-laki itu yang selalu menikmati jahe merah sebelum bercinta. Dia selalu menyedot kehangatan sebelum menularkan panas ke dalam tubuhku. Seperti naga merah yang siap membakar apa saja.
Aku ingat, aku masih memiliki ritsleting di perutku. Tanganku berusaha meraba perutku bersamaan dengan sesuatu yang lain meraba punggungku. Tangan yang besar dan kokoh itu mengelus punggung sampai leherku. Laki-laki itu memasukiku. Suaranya menjelajah getar tubuhku yang pelan-pelan menegang nikmat. Rasanya keluar sayap dari punggungku. Aku terbang pelan saat dia memasukiku lebih dalam. Lalu, kepalanya mendekat ke telingaku. Dia berbisik, “Ibuku ingin aku punya banyak anak.”
Tidak! Jangan! Keluar dari tubuhku! Pergi!
Aku meronta sampai aku sadar, aku hanya melawan diriku sendiri. Laki-laki itu lenyap.
Aku duduk di bangku panjang di hutan yang memiliki segala yang hitam. Satu-satunya putih hanya bangku itu. Putih bersinar, seperti neon. Aku duduk kebingungan. Selembar daun menimpa rambutku, lalu jatuh ke pangkuan. Aku mengikutinya dengan mataku. Kuambil daun itu dan mengelusnya. Sebuah tangan lain menggenggam jariku. Tangan yang mungil dan montok. Seperti ngengat yang terbang ke arah lampu, satu per satu tangan-tangan mungil itu memegang seluruh bagian tubuhku. Sampai aku tertutup rapat. Dari bibirku tanpa kusadari aku menyanyi.
“A, B, C, D, E, F, G …, V, W, X, Z. Now I kill my A, B, C, tell me what you think of me.”
Lalu, gelap. Rasa sakit luar biasa menimpa kepalaku. Kali ini, rasa sakitnya terasa dekat. Aku bisa mencapainya. Bahkan, aku berada dalam rasa sakit itu. Gelap dan sakit yang nyata. Mungkin aku sudah terjaga. Mungkin saja aku justru masuk lebih dalam. Mati, misalnya?
Aku membuka mata. Pandanganku kabur. Seluruh tubuhku semakin sakit. Perutku seperti dicengkeram. Di mana aku? Kuangkat kepala dan kucium bau anyir.
Aku melihatnya. Aku tahu itu bukan genangan biasa. Ukurannya sekitar satu jengkal tangan. Tenang dan merah. Aku sudah keluar dari dunia monokrom. Tidak ada lagi hitam-putih.
Darah?
Apa itu darahku?
Aku berusaha menggerakkan anggota badanku yang lain, tetapi sekujur tubuhku sekaku patung. Kepalaku terasa berat dan berdenyut-denyut ngilu. Seharusnya aku bersyukur merasa sakit. Almarhum kakekku pernah berkata kalau rasa sakit menandakan kehidupan. Namun, saat ini sebagian diriku merasa tidak ingin hidup. Aku tidak tahu kenapa.
Brak!
Aku mendengar suara terjangan. Pintu yang didobrak. Aku berusaha mengangkat kepalaku lagi. Derap sepatu menyerbu. Orang-orang berdatangan. Kabur. Gaduh. Samar.
Aku tidak kuat. Aku masih ingin melihat, tetapi rasa sakit itu menenggelamkanku. Gelap kembali menyekap sebelum cahaya membutakanku lagi.[]
SKU | ND-330 |
ISBN | 978-602-385-380-9 |
Berat | 300 Gram |
Dimensi (P/L/T) | 13 Cm / 20 Cm/ 0 Cm |
Halaman | 348 |
Jenis Cover | Soft Cover |