Buku URBAN THRILLER: PLAYING… - Eva Sri… | Mizanstore
Ketersediaan : Tersedia

URBAN THRILLER: PLAYING VICTIM

    Deskripsi Singkat

    Berpura-pura menjadi korban, viral, dan musuh tersingkirkan. Tiga sahabat mencecap ketenaran dan terhanyut di dalamnya. Yang perlu mereka lakukan hanya mengunggah sesuatu di media sosial dan mendapatkan simpati netizen.             Intensitas permainan semakin tak terbendung. Menjadi korban kekerasan, dibuntuti penguntit, hingga disiksa orangtua sendiri. Skenario diperankan dan saat plot mencapai… Baca Selengkapnya...

    Rp 89.000 Rp 45.000
    -
    +

    Berpura-pura menjadi korban, viral, dan musuh tersingkirkan. Tiga sahabat mencecap ketenaran dan terhanyut di dalamnya. Yang perlu mereka lakukan hanya mengunggah sesuatu di media sosial dan mendapatkan simpati netizen.

                Intensitas permainan semakin tak terbendung. Menjadi korban kekerasan, dibuntuti penguntit, hingga disiksa orangtua sendiri. Skenario diperankan dan saat plot mencapai puncak, mereka menyadari satu hal: netizen menginginkan sesuatu yang dramatis. Akhir yang tragis.

    Untuk menjadi yang terbaik, beranikah mereka menghalalkan segala cara? Bahkan berkorban nyawa?

    Tentang Eva Sri Rahayu

    Eva Sri Rahayu

    Eva Sri Rahayu lulusan UPI Jurusan Teknologi Pendidikan. Pendiri Komunitas Twins Universe bersama kembarannya untuk mengampanyekan psikologi anak kembar, salah satunya dalam bentuk web series berjudul TwiRies the Series yang dipublikasikan di YouTube. Karyanya yang sudah terbit: Parade Para Monster (Penerbit Clover, 2017), TwiRies the Freaky Twins Diaries (Diva Press, 2014), dan novel ketiganya Love Puzzle yang pernah diterbitkan Noura Books tahun 2013 kini diterbitkan ulang di Webcomics.

    Cari tahu lebih jauh tentang Eva di:
    Blog:
    www.tamanbermaindropdeadfred.wordpress.com
    www.evasrirahayu.com
    Instagram : @eva.srirahayu
    Twitter : @evasrirahayu




    Keunggulan Buku

    Keren! Dan, memang perlu tanda seru untuk mempertegasnya. Sepertinya, pertemanan di antara perempuan bisa sangat menyeramkan.
    Perasaan saya campur aduk: tegang, kaget, kesal, haru, dan bahagia. Narasinya begitu nyata, begitu dekat, dan begitu berwarna, membuat perjalanan mengikuti alur ceritanya menjadi semakin menarik.”
    —Ridwan Remin, stand-up comedian
     

    Resensi

    Kisah di Balik Novel Playing Victim
    Oleh: Eva Sri Rahayu

    Saya tiak sedang mendramatisir ketika mengatakan bahwa novel ini merupakan sebuah keajaiban. Tuhan sebegitu mencintai saya hingga novel ini menemukan kalimat terakhirnya. Mari saya kisahkan perjalanannya sejak masih menjadi embrio dalam rahim benak saya.

    Ada dua selebritas dunia maya yang menjadi inspirasi novel ini. Beberapa tahun silam, saya lupa tepatnya tahun berapa, saya membaca satu artikel mengenai seseorang yang viral karena kisah cintanya. Tahun berikutnya, saya membaca artikel yang dibagikan salah satu sahabat saya di akun Facebook-nya mengenai kehebohan di dunia maya yang langsung membuat saya tertarik untuk menuliskannya ke dalam bentuk novel. Dua cerita itu saya gabungkan dalam satu tokoh rekaan, lalu meramunya menjadi kisah fiksi. Awalnya, saya berniat menuliskannya pada tahun-tahun mendatang.

    Namun, ketika Noura Books mengumumkan “Urban Thriller Competition”, saya langsung tertarik mengikutinya. Memang, menulis novel bergenre thriller merupakan impian saya, tetapi, entah mengapa, saya merasa belum siap menuliskannya. Namun, malam itu, pada hari terakhir pengumpulan sinopsis, saya mendapat semacam bisikan hati. “Sudah saatnya,” begitu kata nurani meski secara logika saya sendiri masih sangsi apakah bisa menulis thriller. Alhamdulillah, sinopsis yang saya kirimkan terpilih menjadi lima besar dari 291 sinopsis yang masuk. Karena itu saya mesti disiplin menulis tiap bab per minggu untuk diunggah ke Wattpad Urban Thriller. Ini tantangan baru bagi saya, si penulis lelet. Biasanya, saya menulis satu bab saja butuh satu bulan.


    Dari lima novel seri “Urban Thriller”, Playing Victim mendapat giliran pertama dipublikasikan di Wattpad. Waktu itu April 2018 awal, hingga beberapa jam sebelum dipublikasikan saya masih berjibaku dengan “Mau menuliskan prolog seperti apa?” Tanggal pertama dipublikasikannya novel inilah yang kemudian saya pakai sebagai latar waktu novelnya, semacam menjadikannya batu peletakan pertama.

    Sebagai bahan riset, saya banyak mengamati dinamika dunia online. Seperti mengikuti kasus-kasus terbaru yang mencuat dan bagaimana reaksi orang-orang di dunia maya terhadap kasus-kasus itu. Di luar itu, saya menggabungkannya dengan pengalaman empiris saya sebagai pegiat dunia online selama bertahun-tahun. Saya memang termasuk bagian dari orang-orang yang menjadikan Internet sebagai mata pencaharian sehari-hari.

    Proses penulisan baru sebulan berjalan, saya dihadapkan kepada masalah pribadi yang rumit. Saya mengalami perpisahan, dan tak ada perpisahan yang mudah dan tak menyakitkan. Disusul kemudian saya dan anak jatuh sakit secara bersamaan. Melihat gadis kecil saya sakit berbulan-bulan, hati saya tersayat. Apalagi kemudian saya mendapati dia memiliki trauma. Kedua hal itu cukup memukul mental saya. Saya memang tipe penulis yang sulit menulis dalam keadaan psikis tertekan. Kegalauan dan kecemasan sering kali membuat saya tak bisa berkonsentrasi. Biasanya, saya menulis dalam keadaan psikologi tenang. Untungnya, sistem setor bab tiap minggu menjaga ritme penulisan novel ini.

    Masalah tampaknya masih senang bermain-main dengan saya. Sepanjang tahun 2018, proyek-proyek mangkrak, adapun pekerjaan-pekerjaan yang sudah selesai, bayarannya tak kunjung cair. Saya dililit kesulitan finansial. Sering kali, saya menulis dalam keadaan lapar. Saya bahkan tak mampu menghidupi anak saya. Depresi dan keadaan finansial membuat saya mengalihkan pengasuhan sementara kepada kedua orangtua saya. Mental saya sampai ke titik nadir. Entah seberapa sering saya mengutuki diri sendiri. Tahun 2018 menjadi tahun terberat dalam hidup saya. Begitulah. Realitas menampar keras dari segala sisi. Rasanya, hampir tak diberi jeda untuk bernapas.

    Pada Agustus 2018, publikasi novel di Wattpad selesai, menggantung cerita di tengah-tengah agar pembaca menemukan akhir kisahnya dalam versi cetak. Namun, kami para penulis diberi limit waktu satu bulan untuk mengumpulkan naskah. Apa yang terjadi pada saya waktu itu adalah semacam blank spot. Saya benar-benar tak bisa berpikir. Masalah yang datang bertubi-tubi membuat saya tak bisa menulis. Benar-benar berhenti selama beberapa bulan. Saya juga menarik diri dari dunia luar. Mengasingkan diri dalam cangkang rumah. Saya hanya muncul di dunia maya, hingga saya merasa kehilangan arti keberadaan. Saya merasa menjadi makhluk fantasi. Seseorang yang hanya hidup di dalam layar dan dunia khayal.

    Limit waktu pengumpulan naskah datang, sementara jumlah halaman karya saya tak beranjak dari bulan-bulan sebelumnya. Untungnya, editor saya dapat memahami kondisi saya. Saya diberi limit waktu lebih panjang.

    Tuhan memang mahabaik. Dilimpahi-Nya saya orang-orang baik. Keluarga, kembaran, dan para sahabat tidak henti-henti memberi saya semangat. Merekalah yang membantu menyadarkan saya bahwa saya sepenuhnya nyata. Bahwa saya sekuat itu, bahwa saya bisa menyelesaikan novel saya. Hingga di satu titik, saya tersadar bahwa saya mesti berjuang, bukan membiarkan diri terpuruk. Tiap kali saya ingin menyerah, selain teringat keluarga, para tokoh novel ini selalu berucap, “Jangan menyerah, karyamu belum selesai.” Kemudian, saya mulai lagi membuka-buka naskah, membaca, menyelami, mengenal dekat para tokohnya, hingga menyusun kembali gagasan-gagasan yang ingin saya sampaikan kepada dunia. Lambat tetapi pasti, saya kembali menemukan ritme penulisan. Bahkan, pada suatu malam, ketika suatu peristiwa membuat saya sangat bersedih, para tokoh novelnya mendatangi saya. Mereka berkata, “Ayo menulis …. Perasaan pedihmu itu amunisi bab yang sedang kamu tulis. Kami di sini, memelukmu.” Tidak pernah terjadi sebelumnya, saya bisa berpikir dan menulis dalam keadaan sejatuh itu.

    Pada pertengahan Februari 2019, akhirnya saya menulis kata “Tamat” pada bab akhir. Titik itu menjadi awal baru bagi kehidupan saya. Segalanya mulai menemukan titik terang. Saya telah kembali hidup bersama si Kecil, menemukan perasaan optimis, mulai membenahi kehidupan dan belajar mencintai diri. Novel ini salah satu anugerah yang diberikan Tuhan untuk menjaga kewarasan saya. Jika bukan karena tangan Tuhan, novel itu tak akan pernah selesai. Saya percaya, saya telah didekap keajaiban.[]

    NUKILAN
    Bab 1


    Ada ruang-ruang kelam dalam hati manusia,
    salah satunya ditempati rasa bersalah.

    Satu setengah tahun lalu.

    Isvara berlari terseok-seok, sesekali menyeka titik-titik keringat di wajah bulat telurnya. Tengkuknya yang tertutupi rambut bergelombang sebahu bahkan sudah dibanjiri peluh. Isvara mendongak sambil memicingkan mata, menatap matahari yang menyorot ganas. Padahal, waktu baru menunjukkan pukul setengah sebelas, tetapi panasnya sudah terasa membakar kulit. Isvara bergerak refleks, saling menumpangkan kedua tangan, bermaksud melindungi kulit dari paparan sinar matahari. Dalam  kepalanya, muncul iklan-iklan kecantikan: cantik itu putih dan langsing. Dia ingin memenuhi standar cantik itu. Jangan sampai kulitnya gosong.

    Calya dan Afreen yang awalnya berlari terpaut beberapa meter di depan Isvara, tampak keluar dari lapangan sambil terbatuk-batuk, mungkin kehabisan napas. Sedang Isvara masih menyisakan satu putaran lagi. Kini, hanya tinggal dia dan Bayu, itu pun karena Bayu mendapat hadiah tambahan dua keliling setelah beberapa kali membolos. Seusai peregangan, Bu Rina, guru olahraga, selalu menyuruh siswa-siswinya mengelilingi lapangan tiga kali sebelum masuk ke menu utama pelajarannya.

    Pandangan Isvara tertuju kepada Bu Rina yang bergerak lincah memainkan bola basket di tengah lapangan. Isvara merutuk dalam hati, seandainya saja tak ada Bu Rina serta jam olahraga terkutuknya, sekolah pasti akan menjadi tempat yang lebih menyenangkan. Isvara yakin, sebagian besar siswa sependapat dengannya. Isvara teringat kata-kata Afreen, sahabat satu gengnya. “Buat apa, sih, ada pelajaran olahraga segala? Nanti kita kerja juga pake otak. Cuma orang bego yang kerja ngandelin otot! Lagian, kita udah kelas dua belas gini, mendingan belajar  daripada panas-panasan.”
    Isvara menatap Afreen dan Calya dengan sorot meminta tolong. Kedua gadis itu balik menatapnya sambil  meringis. Tiba-tiba, sebuah suara mengalihkan perhatiannya. Suara itu bahkan menyedot atensi seluruh siswa di lapangan.

    “Kenapa keluar?” teriak Bu Rina galak. “Kamu belum selesai, ‘kan? Jangan kira saya tidak memperhatikan!” Sebelah tangan Bu Rina bertolak pinggang, matanya yang menyipit tajam menatap Bayu.

    “Saya capek, Bu! Emang Ibu mau tanggung jawab kalau saya mati di sini?” protes Bayu tak kalah keras.

    Wajah Bu Rina yang tirus mengeras. “Olahraga tidak akan membuatmu mati!”

    “Kami di sini bukan kepengin dicetak jadi atlet. Jangan lampiasin obsesi Ibu yang gagal jadi atlet itu ke kami, dong!” timpal Bayu sembari mengangkat kedua tangannya.

    Bukan hal mengejutkan jika Bayu mengetahui kegagalan Bu Rina menjadi atlet basket putri. Rumor itu sudah beredar dari tahun ke tahun sejak pertama kali Bu Rina mengajar di SMA Ibu Bangsa.

    Muka Bu Rina memerah, telunjuknya terarah ke muka Bayu. “Jangan sekali-kali kamu mengungkit soal itu lagi! Kalau memang kamu tidak suka, kamu tidak usah masuk palajaran saya!” ucap Bu Rina dengan suara bergetar oleh emosi.

    Bayu mengangkat kedua bahu dengan gaya tak acuh. Lelaki itu melemparkan senyum mengejek sebelum berjalan santai ke luar lapangan. Sementara semua siswa, termasuk Isvara, menahan napas tegang.

    Bu Rina mengalihkan tatapannya dari Bayu kepada Isvara sehingga gadis itu terlonjak kaget. “Kenapa diam? Ayo terus lari! Dasar gendut lamban! Kamu selalu menghambat yang lain. Kamu tidak lihat yang lain jadi nungguin kamu sejak tadi?” Bu Rina kemudian melemparkan bola basket sekencangnya hingga membentur tiang bendera dan menimbulkan gedebuk keras.

    Mendengar hinaan itu, spontan Isvara menyeret kakinya untuk berlari. Tiap langkah terasa lebih berat daripada sebelumnya. Degup jantung Isvara berpacu cepat seiring matanya yang memanas. Kata ‘gendut’ dan ‘lamban’ terus terngiang-ngiang di kepalanya. Membuatnya jijik kepada diri sendiri.
     

    Spesifikasi Produk

    SKU ND-403
    ISBN 978-602-385-887
    Berat 320 Gram
    Dimensi (P/L/T) 13 Cm / 20 Cm/ 0 Cm
    Halaman 400
    Jenis Cover Soft Cover

    Produk Eva Sri Rahayu

















    Produk Rekomendasi