Deskripsi
Jauh sebelum menikah dengan Nabi Muhammad Saw., Khadijah telah mendapatkan posisi yang begitu tinggi di Makkah. Selain kaya raya, Khadijah juga diberi gelar Al-Thâhirah (perempuan suci) dan Sayyidah Nisâ’ Quraisy (pemuka perempuan Quraisy). Gelar ini hanya didapatkan oleh orang yang memiliki kesempurnaan, baik dari sisi fisik maupun akhlaknya.
Meski berstatus janda, Khadijah menolak semua laki-laki terhormat yang melamarnya. Hingga akhirnya dia bertemu Muhammad, pemuda Makkah yang sepadan dengannya. Beliau bergelar Al-Amîn (yang tepercaya) dan sama-sama memiliki kesempurnaan fisik dan akhlak. Kisah cinta Khadijah dan Muhammad dimulai dari sini.
Apa yang terjadi kepada keduanya bukan kisah cinta biasa, karena Muhammad adalah orang yang dinanti-nanti dari segala zaman dan semua umat. Orang-orang suci di sekitar Makkah sudah bernubuat, bahwa kelak akan hadir seorang Nabi akhir zaman yang menjadi penutup nabi-nabi sebelumnya. Dialah Nabi Muhammad Saw., pasangan sejati Khadijah.
Fakta penting:
- Usia Khadijah tidak lebih dari 28 tahun ketika menikah dengan Muhammad. (Riwayat Ibn ‘Abbas)
- Khadijah adalah manusia pertama yang beriman.
- Khadijah sudah mengetahui bahwa kelak Muhammad akan menjadi seorang nabi, bahkan sejak sebelum mereka menikah.
- Khadijah adalah satu-satunya istri Nabi Muhammad Saw. yang mendapatkan salam dari Allah Swt. melalui Malaikat Jibril.
- Nabi Muhammad Saw. menjalani pernikahan monogami dengan Khadijah selama 25 tahun. (Riwayat Al-Thabari)
- Generasi keturunan Rasulullah—yang dikenal dengan kaum habaib—semuanya adalah keturunan pasangan Rasulullah dan Khadijah.
Isi Buku
Persembahan — 7
Gelar-Gelar Khadijah — 9
Lingkungan Khadijah — 22
Masyarakat dan Kaum Khadijah — 38
Asal-Usul dan Nasab Khadijah — 64
Perniagaan yang Menguntungkan — 78
Pinangan dan Pernikahan — 104
Rumah Tangga Penuh Berkah — 139
Khadijah dan Wahyu — 171
Orang yang Pertama Beriman kepada Islam — 193
Khadijah dan Dakwah secara Terang-terangan — 124
Khadijah dan Gangguan Kaum Musyrik terhadap Rasulullah Saw. — 240
Khadijah dan Gangguan terhadap Kaum Muslim — 263
Hijrah ke Habasyah — 286
Pemboikotan dan Peran Khadijah — 307
Akhir Kehidupan yang Mulia — 321
Kedudukan Khadijah — 340
Indeks — 353
Persembahan
Untuk segenap kemuliaan, kesetiaan, kesucian, kejer nihan, serta pengorbanan dan pengabdian. Untuk teladan paling sempurna dalam menjauhkan diri dari hawa nafsu, tipuan harta dan pangkat, dan segenap tipu daya kehidupan.
Untuk teladan paling sempurna dalam ketundukan terhadap perintah Allah Swt., kesadaran yang nyata akan ajaran-ajaran kebenaran dan titah-titah langit, kesungguhan dalam menolong agama-Nya, berbakti kepada suami, berdedikasi kepada keluarga dan anak-anak, bersikap lemah lembut kepada orang-orang yang membutuhkan, dan membantu orang-orang yang dizalimi.
Aku persembahkan perjalanan hidup yang harum, menjadi ruh dan gambaran paling nyata dari makna-makna ini. Inilah perjalanan hidup Ummul Mukminin Khadijah radhiyallâhu ‘anhâ (r.a.).
Ibrahim Muhammad Hasan Al-Jamal
Gelar-Gelar Khadijah
Gelar yang menunjukkan pujian adalah sifat yang disematkan kepada seseorang yang memiliki keistimewaan berupa sikap konsisten terhadap suatu hal. Gelar tersebut hanya dapat disematkan setelah dilakukan pengamatan yang panjang dan serangkaian ujian yang harus dijalani seseorang.
Dia menempuh berbagai tahapan hingga diyakini bahwa dia benar-benar jauh dari berbagai hal yang dapat mencemari sifat tersebut. Apabila dia telah melalui semua tahapan yang diakui oleh semua orang, disematkanlah gelar kepadanya sehingga dia dipanggil dengan nama baru yang seakan-akan ditambahkan pada nama aslinya.
Dengan gelarnya, seseorang mendapatkan kebanggaan, kehormatan, dan kemuliaan melebihi orang lain. Konsensus (kesepakatan) untuk menyematkan suatu sifat kepada seseorang merupakan kesaksian sebenarnya yang menunjukkan bahwa orang tersebut memang bersifat demi kian. Konsensus masyarakat adalah perkara yang tak dapat diremehkan dan selalu diperhitungkan dari waktu ke waktu. Ketika seseorang diuji, nilai dirinya akan bertambah dan mendapatkan kedudukan terhormat dan martabat yang tinggi.
Seseorang boleh merasa bangga dengan gelar pujian dan sifat yang disematkan kepadanya, sebab untuk mendapatkannya tidaklah mudah. Keberhasilan seseorang dalam mendapatkan gelar pujian mengharuskannya untuk melakukan hal tertentu yang terkadang merenggut banyak kesenangan hidup. Namun, pujian dan sanjungan yang dia dapatkan dari orang-orang menjadi kebahagiaan dan kompensasi karena dia telah meninggalkan kehidupan yang biasa dia lakukan dalam memenuhi berbagai kebutuhannya.
Terkadang seseorang memiliki suatu gelar yang membuat pamornya meningkat. Namun, seiring berlalunya waktu, gelarnya tersebut pun terlupakan, dan sang pemilik gelar menjalani kehidupannya seperti biasa—tak memperoleh kedudukan yang mulia dan martabat yang tinggi. Bahkan, terkadang kita juga menemukan ada sebagian orang yang memiliki gelar yang sama sekali tak membuatnya berbeda dengan orang lain. Namun, apabila seseorang memiliki keistimewaan berupa gelar dan sifat terpuji lebih dari satu, dia akan mendapatkan kedudukan mulia dan martabat yang tinggi. Dia seakan-akan menduduki singgasana yang membuat iri banyak orang. Dan, inilah keistimewaan Khadijah yang memiliki lebih dari satu sifat istimewa.
Gelar pertama yang disematkan kepada Khadijah adalah Al-Tâhirah (perempuan suci). Gelar tersebut disematkan kepadanya karena dia memang pantas dan layak mendapatkannya. Pada masa jahiliah, dia menikah dua kali, sebelum akhirnya mendampingi manusia paling agung, Nabi Muhammad Saw. Suaminya yang kedua meninggal dunia ketika Khadijah masih dalam usia muda.
Khadijah hidup dalam keagungan dan kemegahan. Dia dan kaumnya adalah orang-orang yang terhormat. Dia terjun ke bidang perdagangan dan hartanya pun melimpah. Banyak laki-laki yang berharap dan berhasrat mencuri hatinya. Pekerjaan itu memberikannya ruang yang luas untuk berhubungan dengan para laki-laki dalam berbagai urusan perdagangan bersama mereka. Namun, semua itu tidak pernah terjadi.
Khadijah sama sekali tak pernah mengarahkan pandangannya kepada pemimpin Quraisy mana pun. Pun, tak pernah melibatkan diri dengan mereka dalam semua perkara perdagangan. Dia juga tak pernah menjadikan perdagangannya sebagai media untuk berhubungan dengan mereka atau menguatkan hubungannya dengan laki-laki mana pun, baik di dalam maupun di luar Kota Makkah.
Khadijah menempuh cara cerdik yang menjauhkannya dari hawa nafsu dan hasrat-hasrat tak terpuji. Perdagangannya sungguh banyak dan beragam. Namun, dia tak pernah berhubungan dengan para pedagang dari kaumnya, sekalipun mereka semua hanyalah pedagang. Dia juga tak pernah melibatkan diri dalam perkumpulan yang bersifat khusus maupun umum, apalagi berjalan dalam ka?lah mereka.
Adapun yang menjalankan perdagangannya adalah para hamba sahaya. Mereka dipimpin oleh pelayannya yang terbaik, Maisarah. Khadijah hanya memberikan pengarahan dari loteng rumahnya. Apabila terjadi kesulitan, dia akan mendiskusikannya di ruang tamu yang dipadati oleh sanak saudara dan keluarganya.
Setiap malam, rumah-rumah di Makkah selalu mengadakan berbagai pesta, hiburan, dan nyanyian. Orang-orang yang meramaikan pesta tersebut biasanya adalah para adik, kakak, maupun keponakan si pemilik rumah. Rumah ‘Abdul Uzza ibn ‘Abdul Muththalib, yang pada masa Islam dikenal dengan nama Abu Lahab, terkenal sering mengadakan hal-hal tersebut.
Rumah Abu Lahab dekat dengan rumah Khadijah. Khadijah pun terkadang melintasi rumah Abu Lahab. Di rumah tersebut, orang-orang bersenang-senang dalam pesta yang dapat meringankan rasa penat dan lelah setelah bekerja. Pesta tersebut juga dihadiri oleh perempuan-perempuan setempat yang merupakan teman-teman Ummu Jamil, istri Abu Lahab. Namun, hal tersebut tak sedikit pun menarik hati Khadijah. Dia juga tak pernah menaruh minat untuk berpesta dengan perempuan Quraisy lainnya.
Perempuan-perempuan Makkah mengetahui benar hal tersebut. Demikian juga dengan orang-orang yang dekat dengan Khadijah. Mereka sendiri sering mengunjungi Khadijah di rumahnya. Khadijah memiliki kedudukan terhormat dalam hati kaumnya. Mereka juga mendapatkan banyak hal ka-rena kebaikan dan kedermawanannya.
Apabila Khadijah keluar untuk berthawaf mengelilingi Ka‘bah, mereka akan mengikuti dan mengerumuninya. Tak seorang pun di antara mereka berani mengatakan omong kosong. Mereka hanya akan mengatakan hal-hal yang serius. Mereka juga tak ingin mendengar ucapan tak senonoh keluar dari mulut siapa pun, yang akan membuat perasaan Khadijah tak nyaman.
Perempuan-perempuan tersebut geram dan marah ketika seorang Yahudi mendatangi mereka saat berada di sekitar Ka‘bah. Orang itu pun berseru, “Wahai perempuan Quraisy, tak lama lagi akan muncul seorang nabi. Maka, siapa pun yang ingin menjadi tempat tidur untuknya, lakukanlah!”1
Mereka melempari orang Yahudi itu dengan batu. Semua ini mereka lakukan demi saudagar kaya itu. Mereka tak ingin Khadijah mendengar sesuatu yang akan membuat perasaannya tak nyaman. Padahal, jika saja dia tak sedang bersama mereka, mereka pasti akan tertawa, berkelakar, dan bersenda gurau. Karena itulah, Khadijah sangat pantas menyandang gelar Al-Tâhirah.
Khadijah memiliki gelar lain yang diberikan oleh seluruh kaumnya, yaitu Sayyidah Nisâ’ Quraisy (pemuka perempuan Quraisy). Gelar ini hanya didapatkan oleh orang yang memiliki kesempurnaan sifat. Orang-orang sepakat akan keistimewaan yang dimiliki Khadijah berupa kelebihan ?sik maupun perilaku. Khadijah tak pernah melenceng dari sifat-sifat yang mereka sematkan sehingga yang tampak darinya sama dengan yang tersembunyi. Dia tak memiliki perilaku yang disembunyikan dari orang lain dan tak juga memiliki obsesi tertentu. Karena itulah, dia tidak diperbudak oleh perdagangannya—pun dibutakan oleh hartanya. Hartanya tak mengendalikan, menundukkan, atau membuatnya terobsesi akan sesuatu. Namun, dialah yang menundukkan semua itu demi tujuan yang luhur.
Orang-orang memerinci kepribadiannya, “Khadijah tak menyibukkan diri dengan urusan orang lain dan membicarakannya. Dia lebih memilih sibuk dengan merenung dan bertanya tentang rahasia yang ada di balik kehidupan ini. Dia sering bertanya tentang para rasul yang dulu pernah dan akan diutus untuk memberi petunjuk bagi manusia. Khadijah juga bertanya mengenai keberadaan Tuhan Yang Maha Agung, yang berhak disembah oleh manusia.”
Renungan yang dilakukannya didukung pula oleh jiwanya yang bersih dan pemikirannya yang cemerlang. Diriwayatkan bahwa dia selalu berbincang dengan putra pamannya yang sudah renta, Waraqah ibn Naufal, tentang rasul yang akan diutus Allah Swt. untuk memberikan kepada manusia petunjuk. Khadijah sering bertanya-tanya, “Apakah masanya telah dekat? Apakah aku akan melihatnya?”
Semua ini menghindarkannya dari hal-hal yang sia-sia dan perbuatan menggunjing orang lain. Bahkan, dengan semua itu, dia berhasil mendapatkan kedudukan yang terpuji. Sebenarnya, di Makkah ada perempuan yang mungkin saja mendapatkan gelar terhormat ini. Misalnya, Hindun binti ‘Utbah, istri Abu Sufyan ibn Harb, pemuka Quraisy pada masa jahiliah. Namun, dia tak memiliki keteguhan, kekukuhan sikap, dan kesucian yang dapat mengantarkannya meraih kemuliaan. Sedangkan, Khadijah memiliki semua keistimewaan itu.
Di tengah-tengah kaumnya, dia juga dikenal akan keutamaan, kedermawanan, dan kebiasaannya membantu orang yang membutuhkan. Rumahnya yang bagai istana menjadi tempat berlindung bagi perempuan-perempuan miskin, orang-orang yang membutuhkan, dan para tamu. Dia juga berbuat baik kepada semua orang, baik dengan harta maupun sikapnya. Semua ini membuat penduduk Makkah iri pada kedudukan, keluhuran budi, dan kecerdasannya. Karena itulah, mereka memberinya gelar Sayyidah Nisâ’ Quraisy.
Pada masa Islam, Khadijah mendapatkan gelar Ummul Mukminin (ibu orang-orang beriman). Tak setiap perempuan mendapatkan gelar dan panggilan ini. Dialah perempuan beruntung yang memiliki berbagai keistimewaan yang hanya dimiliki oleh sedikit perempuan. Tak sembarang perempuan dapat menikah dengan Rasulullah Saw., sebab beliau hanya menikah atas petunjuk dan bimbingan Allah Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui. Allah Swt. ber?rman, Wahai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah engkau berikan maharnya dan hamba sahaya yang engkau miliki, termasuk apa yang engkau peroleh dalam peperangan yang Allah karuniakan untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ayahmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan ayahmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersamamu, dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi ingin menikahinya, sebagai kekhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki agar tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS Al-Ahzâb [33]: 50).
Dalam ayat lain, Allah Swt. juga ber?rman, Tak halal bagimu (Muhammad) menikahi perempuan-perempuan (lain) setelah itu, dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan istri-istri (yang lain), meski kecantikannya menarik hatimu, kecuali perempuan-perempuan (hamba sahaya) yang engkau miliki. Dan Allah Maha Mengawasi segala sesuatu (QS Al-Ahzâb [33]: 52).
Karena alasan inilah, gelar tersebut hanya didapatkan oleh perempuan-perempuan tertentu yang memiliki akhlak baik dan mendapatkan keridhaan Allah ‘Azza wa Jalla. Gelar ini dapat mengangkat seseorang menuju kedudukan terhormat dan derajat mulia sepanjang zaman.
Orang-orang Muslim senantiasa mendoakan kebaikan dan memohonkan derajat yang tinggi bagi mereka di sisi Tuhan Yang Maha Tinggi dan Maha Mengetahui. Mereka bershalawat untuk Nabi Saw. Seorang Muslim berdoa, “Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Nabi Muhammad, para sahabatnya, dan istrinya, ibu orang-orang beriman.”
Memang benar, istri-istri Nabi Muhammad Saw. yang lainnya pun mendapatkan gelar tersebut seperti halnya Khadijah. Namun, kedudukan Khadijah tetap lebih unggul daripada mereka. Dialah istri Rasulullah yang berada di urutan pertama dan mendapatkan kedudukan dan derajat paling utama sebagai balasan dari apa yang dia lakukan dan korbankan. Khadijah ikut serta bersama Rasulullah Saw. dalam setiap usaha yang bermanfaat bagi dakwah Islam.
Khadijah-lah orang pertama yang membenarkan dan beriman kepada beliau. Karena itulah, dia mengungguli semua laki-laki dan perempuan. Dia merasakan kepedihan saat berjuang di jalan Allah Swt., menanggung siksaan, menerima perlakuan buruk, dan ditimpa kelaparan bersama Rasulullah Saw. pada hari-hari yang penuh ujian dan pemboikotan. Namun, Khadijah tetap sabar dan tabah pada saat-saat yang seharusnya dia mendapatkan kenyamanan dan perawatan.
Khadijah mengerahkan segenap kemampuannya untuk meringankan beban Rasulullah Saw., keluarga, dan seluruh umat Muslim ketika terjadi pemboikotan dan embargo. Secara diam-diam, dia menghubungi keluarga, sanak saudara serta orang-orang dermawan. Khadijah meminta mereka untuk mengirimkan makanan agar dia dan orang-orang Muslim lainnya dapat bertahan hidup.
Mereka tak mengabaikan permintaannya dan tak memperlihatkan permusuhan kepadanya, sekalipun mereka memusuhi dakwah Islam secara terang-terangan. Mereka juga tetap membantu Khadijah sebagai bentuk loyalitas. Karena itulah, mereka serta-merta memenuhi permintaannya. Allah Swt. telah menempatkannya pada derajat tertinggi. Dia menjadi awal mula pemboikotan terhenti.2
Atas semua yang dilakukannya serta jasa-jasanya yang lain, Khadijah berhak menyandang gelar Ummul Mukminin (ibu orang-orang beriman) yang disertai prioritas utama karena dia merupakan istri pertama Rasulullah Saw. Barangkali gelar paling mulia, tinggi, dan agung yang patut disandang Al-Tâhirah, Sayyidah Nisâ’ Quraisy, dan Ummul Mukminin Khadijah r.a. adalah Sayyidah Nisâ’ Al-‘Âlamîn (Pemuka perempuan dunia).
Gelar ini tak didapatkan oleh istri Nabi Saw. yang lain, perempuan mulia mana pun dari umat Rasulullah Saw.,—tentunya dengan mengecualikan Fathimah, putri Rasulullah Saw. Sebelumnya juga tak ada perempuan yang mendapatkan gelar ini, kecuali dua perempuan pilihan Allah ‘Azza wa Jalla: Maryam binti ‘Imran dan Asiyah binti Muzahim.*
Maryam binti ‘Imran adalah ibunda Nabi Isa a.s. Allah Swt. ber?rman, Dan (ingatlah) ketika para malaikat berkata, “Wahai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilihmu, menyucikanmu, dan melebihkanmu di atas segala perempuan di seluruh alam (pada masa itu). Wahai Maryam, taatilah Tuhanmu, sujud dan ruku‘-lah bersama orang-orang yang ruku‘” (QS Âli ‘Imrân [3]: 42-43).
Allah ‘Azza wa Jalla telah mengutus salah satu malaikat-Nya kepada sang perawan suci (Maryam binti ‘Imran). Malaikat itu berkata kepadanya, “Sesungguhnya Allah telah menyucikan, memilih, dan mengangkat derajatmu di atas seluruh perempuan di dunia agar engkau menjadi tanda kekuasaan Allah Swt. dengan melahirkan nabi sekaligus rasul-Nya, Isa a.s. Karena itu, hendaklah selama hidupmu engkau selalu memperpanjang shalat dan senantiasa mengabdi dan bersyukur kepada Allah Swt.”
Sedangkan, Asiyah binti Muzahim adalah istri musuh Allah Swt. yang paling durhaka, Fir‘aun, sang penguasa Mesir sejak beribu-ribu tahun yang lalu. Pada masa itu, Allah Swt. mengutus nabi sekaligus rasul-Nya, Musa a.s. Asiyah pun beriman kepadanya. Ketika Fir‘aun mengetahui keimanan istrinya itu, dia memerintahkan anak buahnya agar Asiyah dibunuh.
Allah Swt. telah melindungi Asiyah dari keburukan sehingga hubungannya dengan Fir‘aun tak memengaruhinya. Padahal, Fir‘aun adalah orang ka?r paling durhaka. Karena itulah, Dia menjadikan Asiyah sebagai perumpamaan ketika berdoa, “Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir‘aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim” (QS Al-Tahrîm [66]: 11).
Seperti halnya orang-orang saleh dan taat lainnya, Asiyah sangat menginginkan berada di sisi Allah Swt. setelah Hari Kebangkitan, tinggal dalam istana indah yang diliputi rahmat dan perlindungan-Nya. Maka, Allah pun mengabulkan doanya, menyelamatkannya dengan cara paling mulia, serta mengangkat derajatnya di surga. Di sana dia makan, minum, dan hidup bahagia.3
Keempat perempuan ini: Asiyah binti Muzahim, istri Fir‘aun, sang penguasa Mesir; Maryam binti ‘Imran, ibunda Nabi Isa a.s.; Khadijah r.a., ibu orang-orang beriman sekaligus istri dari Rasulullah Saw.; dan Fathimah, putri Rasulullah Saw. sekaligus istri dari khalifah keempat, ‘Ali ibn Abi Talib, mendapatkan kemuliaan di hadapan Ilahi sehingga mereka menjadi pemuka seluruh perempuan, baik di dunia maupun di akhirat.
Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa Ibn ‘Abbas r.a. berkata, “Rasulullah Saw. menggambar empat garis di atas tanah. Kemudian, beliau bertanya, ‘Tahukah kalian apa ini?’ Para sahabat berkata, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.’ Beliau menjelaskan, ‘Ini adalah perempuan mulia penghuni surga: Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti Muhammad, Maryam binti ‘Imran, dan Asiyah binti Muzahim.’”4
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Ali r.a. bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Perempuan terbaik di surga adalah Maryam. Dan perempuan terbaik di surga adalah Khadijah.”5 Abu Hurairah r.a. menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Perempuan penghuni surga paling mulia adalah Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti Muhammad, Maryam binti ‘Imran, dan Asiyah binti Muzahim.”6
Demi Allah, itulah kedudukan yang layak didapatkan Khadijah binti Khuwailid r.a. Dia telah mempersembahkan semua yang dimilikinya di jalan Allah Swt. Di jalan-Nya juga dia mengorbankan segala sesuatu yang berharga dan bernilai baginya. Dia selalu membesarkan hati, membantu, dan mendukung Rasulullah Saw. Karena itulah, Allah Swt. meridhai dan memberinya kedudukan yang penuh berkah di sisi-Nya.[]
_______
1 Insya Allah, saya akan memaparkan kisah ini secara terperinci pada bab lain.
2 Hal ini kelak akan dijelaskan secara terperinci.
* Dengan demikian, gelar Sayyidah Nisâ Al-‘Âlamîn hanya disematkan kepada empat perempuan: Maryam, Asiyah, Khadijah, dan Fathimah.
3 Tafsîr Al-Bahr Al-Muhîth (8/295).
4 Sahih. HR Ahmad (2668, 2901, dan 2957) menyatakan dalam catatan pinggirnya (4/409), “Sanadnya sahih. Para perawinya tepercaya.” Dia menisbahkannya kepada Abu Ya‘la (2722), Al-Hakim (3/185), ‘Abd ibn Hamid (579), dll. Al-Hakim menyatakan, “Sanad hadis ini sahih. Namun, keduanya (Al-Bukhari dan Muslim) meriwayatkannya dengan redaksi berbeda.”
5 Sahih. HR Al-Bukhari (3815).
6 Hadis ini disebutkan Al-Haitsami dalam Majma‘ Al-Zawâ’id (9/357) no. 15268 melalui riwayat Ibn ‘Abbas dengan redaksi yang sama seperti yang diriwayatkan Imam Ahmad sebelumnya. Dia menyatakan, “HR Ahmad, Abu Ya‘la, dan Al-Tabrani dengan perawi yang sahih.” Dia kemudian menyebutkan hadis riwayatAbu Hurairah (15269), “Cukuplah untuk kalian empat pemuka perempuan dunia ....” Dia lalu berkata, “HR Al-Tabrani dalam Al-Ausath. Salah satu perawinya, Sulaiman Al-Syadzakuni, adalah dhaif.”
Spesifikasi
| SKU | : | UB-518 |
| ISBN | : | 9786024413675 |
| Berat | : | 350 gram |
| Dimensi (P/L/T) | : | 14 cm/ 21 cm/ 2 cm |
| Halaman | : | 364 |
| Tahun Terbit | : | 2025 |
| Jenis Cover | : | Soft Cover |
Ulasan
Belum ada ulasan


