Buku JIHAD SELFIE DYING… - Noor Huda… | Mizanstore
Ketersediaan : Tersedia

JIHAD SELFIE DYING FOR SIGNIFICANCE

    Deskripsi Singkat

    Wildan Mukhallad, pelajar berprestasi di Universitas Al-Azhar, Kairo itu tiba-tiba menghilang. Tak ada info sama sekali tentang kepergiannya dan tak seorang pun berhasil mengontaknya. Beberapa waktu kemudian, terdengar kabar Wildan mati melakukan bom bunuh diri setelah bergabung dengan ISIS. Kasus seperti ini tidak hanya menimpa Wildan. Ada beberapa pelajar Indonesia… Baca Selengkapnya...

    Rp 59.000 Rp 30.000
    -
    +

    Wildan Mukhallad, pelajar berprestasi di Universitas Al-Azhar, Kairo itu tiba-tiba menghilang. Tak ada info sama sekali tentang kepergiannya dan tak seorang pun berhasil mengontaknya. Beberapa waktu kemudian, terdengar kabar Wildan mati melakukan bom bunuh diri setelah bergabung dengan ISIS.

    Kasus seperti ini tidak hanya menimpa Wildan. Ada beberapa pelajar Indonesia berprestasi di mancanegara yang tersebar di berbagai universitas terkemuka juga terdorong bergabung dengan ISIS.

    Komik ini menceritakan beberapa pelajar Indonesia yang bergabung dengan kelompok ISIS di Suriah. Buku yang diangkat dari film documenter berjudul Jihad Selfie ini memaparkan latar belakang dan alasan para pelajar tersebut memutuskan bergabung hingga rela mati untuk ISIS. Komik ini sangat menarik, selain menyajikan gambar yang apik, kita juga dikelakan pada beberapa kelompok Islam Radikal di Indonesia dan arah perjuangan mereka.
     

    Tentang Noor Huda Ismail

    Noor Huda Ismail

    NOOR HUDA Ismail lahir di Yogyakarta pada 29 November 1972. Dia pernah nyantri di Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki (1985-1991), kuliah di Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta (1991- 1997), Jurusan Komunikasi Fisipol UGM, Yogyakarta (1994-1999), dan menyelesaikan S-2 International Security di St. Andrews University, Skotlandia (2005-2006) atas beasiswa British's Chevening Scholarship.

    Mantan special correspondent untuk harian The Washington Post biro Asia Tenggara (2002-2005) ini juga pernah menjadi visiting scholar di Rajaratnam School of International Relations, Singapura (2005), asisten peneliti di The National Center for Scientific Research, Paris (2005-2006) dan asisten peneliti di Law School of University of Melbourne, Australia (2006).

    Dia kini adalah Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian (2007-sekarang), salah seorang pemilik perusahaan konsultan komunikasi dan manajemen risiko, BostonPrice Asia (2008-sekarang), dan pembicara pada forum-forum internasional tentang Islam, terorisme, dan isu-isu perdamaian di Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand, Australia, Jepang, Inggris, Skotlandia, Spanyol, Belgia, Jerman, Swiss, dan Amerika.

    Tulisan Noor Huda Ismail tersebar di The Washington Post, The Strait Times, The Australian, The Yale Global Online, The Rolling Stones, CQ Magazine, Far Eastern Economic Review (FEER), The Jamestown Foundation, The Japan Focus Journal, The Jakarta Post, Kompas, Jawa Pos, dan Jurnal Nasional. Dia sering menjadi narasumber untuk berbagai media lokal seperti MetroTV, TVOne, RCTI, TPI, TransTV, Trans7, JakTV, SunTV, Kompas, Koran Tempo, Majalah Tempo, Jawa Pos, Republika, Bisnis Indonesia, Jurnas, Detik.com, OkeZone.com, Sabili, KBR 68H, Elshinta, Bravia Radio, dan RRI, selain juga sebagai narasumber untuk media internasional Al-Jazeera TV(Dubai), ABC TV(Australia), TV5 (Prancis), BBC (Inggris), CNN (Amerika), NHK (Jepang), CNA (Singapura), The New York Times, The Washington Post, Times Magazine, National Geographic, The Nation (Bangkok), The Strait Times (Singapura dan Malaysia), The Australian, The Sydney Morning Herald, Reuters, Radio Belanda, dan Radio Jerman.

    Sekarang, Noor Huda Ismail tinggal di Desa Tembalang, Semarang bersama istrinya, Desy Ery Dani, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, dan anak laki-lakinya, Hiroshi Rosih Ilmi.
    Temanku, Teroris? adalah buku pertamanya.




    Keunggulan Buku

    • Ditulis oleh Pakar Terorisme, peneliti tentang radikalisme, dan penggiat rehabilitasi teroris.
    • Disajikan secara ringan dan popular
    • Buku ini diangkat dari film dokumenter Jihad Selfie
    • Berdasarkan kisah nyata.
    • Film Jihad Selfie sudah banyak ditayangkan di berbagai komunitas dalam dan luar negeri.
    • Menyodorkan realita tentang terorisme dan radikalisme di Indonesia maupun secara global serta pencegahannya.

    Resensi

    Artikel Terkait dengan buku ini:

    Film Jihad Selfie, Mengungkap Alasan 'Remeh' WNI Gabung ISIS

    https://www.cnnindonesia.com/internasional/20160823083014-106-153170/film-jihad-selfie-mengungkap-alasan-remeh-wni-gabung-isis

    Jakarta, CNN Indonesia -- Alasan Teuku Akbar Maulana, pelajar Indonesia di Turki, ingin bergabung dengan ISIS sederhana saja, bahkan terdengar remeh.

    "Saya lihat teman saya ikut ISIS, berfoto pakai AK-47, kok macho sekali? Banyak yang like itu fotonya di Facebook, dikomentari ukhti-ukhti. Saya tertarik ikut," ujar Akbar saat ditemui di Kementerian Luar Negeri RI, Jakarta, Senin (22/8).

    Berusia 16 tahun dan tinggal jauh dari rumah, remaja asal Aceh ini mencari jati dirinya dengan menyelami dunia internet. Layaknya pemuda masa kini, sosial media merupakan jendela dunia yang mungkin dapat menjadi segalanya bagi hidup remaja.

    Meskipun beruntung bisa mendapatkan beasiswa untuk belajar di Turki, Akbar yang memiliki otak cemerlang merasa bosan dengan kehidupannya.

    "Saya galau karena pelajaran terlalu mudah, itu-itu saja. Saya merasa hampa. Lalu saya ingat pelajaran waktu SMP, dibilang bahwa hiduplah mulia atau mati syahid. Nanti bisa dapat surga dikelilingi 72 bidadari," tutur Akbar.

    Berangkat dari pemikiran itu, sampailah Akbar ke khayalan impian ketika membuka akun media sosial salah satu temannya yang sudah menjadi militan ISIS.

    "Saya juga ingin terlihat maskulin. Di video-video ISIS itu banyak dibilang bahwa ini tanah lelaki. Seakan kalau kita tidak di sana, berarti kita bukan lelaki. Saya pikir, keren juga. Saya semakin ingin membantu jihad," kata Akbar.

    Satu sore di tahun 2014, Akbar bertemu dengan seorang pengamat asal Indonesia di sebuah kedai kebab. Noor Huda Ismail namanya. Ia sedang bertandang ke Turki untuk melanjutkan penelitiannya mengenai pola baru perekrutan militan kelompok teror melalui jejaring sosial.

    "Saya sempat cerita, saya mau pergi jihad dan ada teman sudah mau bantu. Saya sampai dikasih 100 Lyra sama dia untuk pergi, tapi setelah ngobrol dua hari, saya sadar dan saya batalkan perjalanan itu," kata Akbar.

    Akbar pun semakin mantap untuk mengurungkan niatnya karena ia berpikir, banyak misinterpretasi ayat-ayat Al-Quran yang diyakini oleh teman-temannya.

    Huda, seorang pengamat terorisme yang tengah menempuh studi studi PhD di Monash University, Australia, menyadari ada kejanggalan dalam motivasi Akbar untuk ikut bertempur bersama ISIS. Hal ini menginspirasi Huda untuk menggarap film dokumenter bertajuk Jihad Selfie.

    "Kalau didengar alasannya, itu di mana letak ideologisnya? Tidak ada. Semuanya karena galau anak-anak alay yang masalahnya itu karena sosial media, banyak like atau tidak. Itu kan masalah anak zaman sekarang," ucap Huda.

    Aspek maskulinitas

    Huda pun mengamini adanya aspek maskulinitas dalam problematika masyarakat, terutama remaja pria, di Indonesia. Bahayanya, masalah ini dapat membawa para remaja terjerembab dalam liang terorisme.

    Merujuk pada data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, ada 500 WNI yang kini sudah hijrah ke Suriah dan Irak untuk bertempur dengan ISIS. Di antara 500 orang tersebut, Huda menceritakan Wildan, Yazid, dan Fauzan, tiga remaja yang tewas dalam medan perang ISIS di Irak dan Suriah.

    Menurut Huda, Wildan menjadi pengebom bunuh diri karena ada masalah di keluarganya. Ayahnya melakukan poligami.

    Sementara itu, Yazid tidak dekat dengan ayahnya. Bapak dari Yazid merupakan anggota angkatan bersenjata sehingga hubungan dengan anaknya sangat kaku. 

    Begitu pula dengan Fauzan yang tidak terlalu mengenal sosok ayahnya karena sudah meninggal dunia sejak lama.

    "Mereka punya passion untuk terlihat heroik. Mereka tidak ingin di-bully terus-terusan. Ada gelora untuk tidak dianggap perempuan, tidak macho. Ingin dilihat maskulin," kata Huda.

    Geopolitik memakan korban

    Dari pengalamannya menggarap film berdurasi 49 menit ini, Huda menarik kesimpulan bahwa terorisme ini sebenarnya adalah permainan geopolitik yang memakan korban nyata.

    "Kasusnya di Suriah, tapi Turki punya kepentingan. Begitu pula Rusia, China, AS, dan Arab Saudi. Banyak orang yang kembali dari sana, cerita ke saya bahwa senjata mereka buatan China, semua amir mereka dari Saudi punya uang dolar banyak. Terorisme itu sebenarnya permaianan geopolitik, tapi korbannya anak-anak alay seperti ini yang matinya beneran," ujar pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian ini.

    Kini, kata Huda, tantangannya bagi pemerintah adalah untuk mencari cara yang modern guna menggaet perhatian anak-anak muda agar tidak terpengaruh dengan propaganda kelompok teror di internet.

    "Gunakan digital literacy. Seperti saya ini contohnya, buat film agar menarik perhatian. Jika dilihat itu saya bikin cut to cut-nya cepat supaya anak muda tidak cepat bosan. Harus cari cara untuk mendapatkan perhatian mereka bahwa mereka tidak perlu seperti itu," katanya.

    Film Jihad Selfie digarap pada Maret 2015 hingga Mei 2016 dengan berbagai lokasi, seperti Melbourne, Istanbul, Kayseri, Kairo, Bali dan Jakarta. Film ini akan diputar di berbagai universitas, LSM, lembaga pemerintah dan penjara di seluruh Indonesia. Pemutaran film akan diikuti dengan diskusi seputar radikalisme di Indonesia. (den)

    -----


    Jihad Selfie: Fenomena Anak Muda Indonesia Terjaring ISIS Melalui Medsos

    https://www.kompasiana.com/dinamars/593621ff1393730e4151f94d/jihad-selfie-fenomena-anak-muda-indonesia-terjaring-isis-melalui-medsos

    Berita pagi ini yang saya dengar, Arab Saudi memutus hubungan diplomatik dengan Qatar atas dasar negeri itu menjadi pendukung aksi-aksi teror di dunia yang diboncengi Al-Qaida dan ISIS. Padahal, kedua negara Teluk ini sebelumnya merupakan sekutu yang sangat akrab. Aksi teror yang dimaksud, dan banyak terjadi selama beberapa tahun terakhir, berupa bom bunuh diri yang dilakukan oleh para ‘jihadis muda’ yang direkrut dari seluruh dunia. Termasuk dari Indonesia.

    Peristiwa bom bunuh diri pun tidak hanya terjadi di negara-negara di Eropa seperti yang selama ini sudah sering kita dengar, melainkan juga di Indonesia. Masih segar di ingatan kita, bom bunuh diri di kawasan Thamrin pada tahun 2016 (baca: Teror Lagi di Kota Paris) ketika saya masih berkantor di kawasan sibuk Jakarta tersebut, dan terakhir pada tahun ini di Kampung Melayu, hanya dua hari menjelang bulan Ramadan.

    Ironisnya, para jihadis muda, begitulah sang pelaku bom bunuh diri menyebut dirinya, rata-rata bergabung ke dalam jaringan internasional ISIS melalui media sosial Facebook. Padahal, mereka pun tahu bahwa Facebook punya orang Yahudi, dan segala macam hal yang ada kaitannya dengan Yahudi biasanya dianggap musuh bebuyutan.

    Entah mengapa kali ini aksi tersebut kelihatan sangat kontradiktif. Kalau menurut salah seorang narasumber yang diwawancarai Bapak Noor Huda Ismail melalui film dokumenter Jihad Selfie, “Facebook kan sebagai wadahnya. Ini mempercepat proses perubahan revolusi. Orang kafir yang membuatnya, kita yang memanfaatkannya.”

    Jika mereka sudah berhasil bergabung dengan ISIS, dengan bangga para pelaku bom bunuh diri akan mengunggah foto dirinya mengenakan segala atribut seperti senapan laras panjang dan ikat kepala bertuliskan lafaz tauhid atau baju serba hitam seperti tentara, juga di akun ‘Yahudi’ tersebut. Konon model perekrutan semacam ini sangat berbeda dengan perekrutan para jihadis zaman perang Afghanistan.
    Yah, setidaknya dari buku-buku mengenai aksi jihad yang pernah saya baca pada zaman kuliah, mereka yang ingin terjun ke medan peperangan di Chechnya, Kabul, Beirut, harus melalui proses yang sangat panjang dan selektif secara lahir bathin di gurun atau lokasi yang minim kenyamanan sampai akhirnya mereka teruji sanggup bertahan di kondisi serba kurang (tidak ada alat penghangat, makan seadanya, tidak mandi berhari-hari, dan lain-lain).

    Kini, melalui film dokumenter berdurasi 45 menit yang digarap sebagai materi penelitian studi doktoralnya di Monash University, Noor Huda Ismail memaparkan bahwa perekrutan para calon jihadis yang dilakukan oleh jaringan Negara Islam Internasional ISIS ini menyasari siapa saja tidak pandang bulu melalui media online. Adalah seorang siswa asal Indonesia, Teuku Akbar Maulana, yang sedang mengenyam pendidikan setingkat SMA di sebuah sekolah di Kayseri, Turki.

    Ia kepincut aksi temannya, Yazid, yang mengunggah foto dirinya di facebook mengenakan atribut yang saya ceritakan di atas tadi. Yazid pun memperlihatkan dialog-dialog intens-nya di Facebook dengan salah seorang anggota ISIS kepada Akbar, yang membuat Akbar terpana dan semakin ingin bergabung dengan ISIS.

    Dalam Jihad Selfie, Akbar bertutur keinginannya bergabung dengan ISIS disebabkan oleh hasratnya menjadi bagian dari suatu perubahan dunia yang lebih besar. Slogan ISIS hidup mulia atau mati syahid sangat menggugah hatinya untuk berbuat sesuatu yang membuat dirinya terlihat lebih cool, lebih eksis. “Saya lihat foto-foto beliau [Yazid]. Gagah sekali pegang tembak [maksudnya terlihat keren memikul senapan],” ujar Akbar. Keberadaan sosial media di masa sekarang ini sangat membantu keinginan pemuda-pemudi seperti Akbar agar lebih dikenal dunia, namun sayangnya… dengan cara yang keliru.
    Selain Yazid, ada juga pemuda seusianya asal Indonesia yang ikut terjun ke medan peperangan di Syria dan tewas, walaupun tidak jelas apakah matinya karena ikut terkena bom atau lebih karena kondisi medan sesungguhnya lebih keras ketimbang di Indonesia. Beruntung, Akbar tidak sempat menginjakkan kakinya ke sana, meskipun diperkirakan masih ada Akbar-Akbar lainnya yang akan terpikat aksi-aksi heroik seperti yang dilakukan Yazid dan rela mengarungi benua tanpa mengenal rimba. Hingga kini, tercatat sudah ada 500 orang asal Indonesia yang terlibat jaringan ISIS sejak tahun 2014. Dan, yang berhasil kembali ke Indonesia baru 152 orang.

    “Ya pokoknya asalkan saya bisa sampai sana (Syria),” jelas Mbak Dete Aliah, produser film Jihad Selfie, mengulangi perkataan salah satu narasumbernya dalam melakukan penelitian mengenai aksi perekrutan ISIS. Mereka yang direkrut ini ada yang datang ke Syria dengan cara dibiayai oleh teman-temannya yang sudah bergabung di ISIS, tapi ada juga yang sampai rela jual mobil bahkan rumah untuk bisa sampai ke sana. Tidak hanya laki-laki, tapi juga perempuan.
    Acara putar film Jihad Selfie yang bertempat di Paviliun 28 Jakarta Selatan pada hari Minggu 4 Juni 2017 yang lalu juga diikuti dengan diskusi menghadirkan para peneliti dari Yayasan Prasasti Perdamaian-YPP (Institute for International Peace Building), Mbak Dete Aliah dan Rizki Maulana. Yang menarik, acara putar film dan diskusi ini diselenggarakan oleh YPP bekerja sama dengan anak-anak muda yang tergabung dalam komunitas Gen KTP.

    Singkatan dari Generasi Kritis, Terbuka dan emPati, komunitas yang beranggotakan remaja sekolah, kampus dan para fresh graduate ini juga mengadakan berbagai kompetisi seperti Short Video Competition dan lomba foto yang nantinya diikutsertakan ke ajang internasional demi menyuarakan visi misi anak muda yang kreatif dan berpikiran kritis serta terbuka dalam menanggapi berbagai konten di media sosial.  ***

     

    Spesifikasi Produk

    SKU NA-188
    ISBN 978-602-385-534-6
    Berat 220 Gram
    Dimensi (P/L/T) 14 Cm / 21 Cm/ 0 Cm
    Halaman 232
    Jenis Cover Soft Cover

    Produk Noor Huda Ismail

















    Produk Rekomendasi