Bukannya bersyukur, Kia justru merasa tertimpa musibah saat tahu dirinya masuk ke kelas unggulan. Gimana nggak? Tuntutan belajar ekstra, otomatis bikin cewek itu nggak bisa lagi berleha-leha dan bebas main game Piano Tiles seperti biasa. Benar-benar bencana!
Ditambah lagi, Kia harus menghadapi teman sekelas superketus yang selalu bikin ia naik pitam, Andra. Cowok sang juara umum sekolah itu tentu saja berkebalikan dengan Kia. Nggak heran, tiap bertemu, dapat dipastikan mereka adu mulut. Fix, mereka akan jadi musuh bebuyutan.
Ketika selanjutnya Kia dan Andra harus terjebak dalam berbagai peliknya masalah persahabatan dan cinta segi banyak, akankah pepatah “bertengkar-tengkar dahulu, tak sengaja dekat kemudian” betulan terjadi di antara mereka?
Ainur Rahmah. Akrab disapa Ayi. Kelahiran tahun 2000. Anak SMA yang nggak pernah setuju dengan teori, “Masa SMA adalah masa paling indah.”
Mudah dikenali karena kantung mata yang bersaing dengan panda.
Di dalam kelas termasuk tipe pendiam—diam-diam sering tidur waktu pelajaran.
Suka menolong dalam hal menghabiskan kuota teman yang berlebihan.
Punya banyak pacar, yang semuanya seratus persen fiksi.
Hidup bahagia dalam imajinasi sendiri.
Baca juga karya Ayi sebelumnya, Milan (Bentang Belia, 2018)
Instagram & Wattpad: @ainurrahmah12
Surel: [email protected]
Pal in Love merupakan karya kedua dari Ainur Rahmah, penulis buku laris Milan. Pal in Love telah dibaca lebih dari 1,3 juta kali di Wattpad. Bercerita tentang kisah sahabat jadi cinta yang digemari pembaca Belia, Pal in Love tak hanya menyuguhkan romansa remaja, tapi juga kegigihan mengejar prestasi di sekolah. Andra dan Kia sama-sama ingin mengejar cita-cita mereka untuk bisa diterima di kampus terbaik. Kisah di buku ini menjadi menarik karena dipenuhi dengan intrik-intrik cinta remaja yang menghadirkan cinta segi banyak nan pelik. Tanpa menggurui sama sekali, kisah remaja ini menyuguhkan sari-sari makna positif untuk pembaca remaja. Kamu, remaja, wajib baca kisah Kia dan Andra di buku ini! Dan, bersiaplah untuk baper bersama-sama!
Testimoni
“Membaca cerita Pal in Love membuat selera baca aku naik. Cerita ini, bener-bener fresh banget beda dari yang lainnya. Cara kak Ainur Rahmah mendeskripsikan setiap adegan, benar-benar membuat aku ikut terhanyut dalam setiap momennya. Selain itu cerita ini suskes membuat aku jatuh cinta kepada setiap tokohnya, terutama Kia!”
—Asri Aci, penulis Perfect Couple, Shea
"Ainur selalu bisa menggambarkan pahit manis masa putih-abu. Unexpected, Pal in Love lebih indah dari yang kubayangkan. Feel tiap tokoh terasa banget. Baca novel ini berasa jadi Kia banget! Recommended!"
—Pit Sansi, penulis My Ice Boy, My Ice Girl, Just be Mine
Membaca cerita ini, bener bener gak akan rugi. Alur ceritanya dibuat kompleks dan mengaduk aduk perasaan, tentang bagaimana cara mengartikan dan menyikapicinta diantara persahabatan. Tapi penyajiannya tetap segar dengan selipan humor dan scene-scene romantis yang bikin gigit bantal saking bapernya! Recommend, andyou'll Pal in Love with this book!
—Af'idah Wafiq Zahiroh (Pembaca Pal in Love di wattpad)
Yang pernah ngalamin cinlok awas baper baca Pal in Love! Tokoh Andra yang cuek-cuek perhatian, dan Kia yang susah banget peka, dijamin bikin readers gemes! Ditambah lagi, alur dan konflik cerita bener-bener greget, bikin melting, ikut dilema dan pastinya memancing penasaran.Sukses banget deh Ayimenjungkir balikkan emosi pembaca!
—Alifia Nur Afia (Pembaca Pal in Love di wattpad)
Ayi selalu bisa memberikan kejutan di dalam kisah yang ia tuliskan. Konflik demi konflik yang nggak putus membuatku makin penasaran hingga selesai menyunting buku ini!
—Dila Sari, editor Pal in Love
Cuplikan
Mengemasi barang adalah salah satu hal yang wajib dilakukan sebelum pindah rumah. Dan malam ini, seorang gadis bernama Elila Kiandra sedang melakukannya. Tanpa keluh atau gerutu, Kia— begitu panggilannya—memasukkan pakaian dan barang-barang lain ke koper dan tas dengan bersemangat. Bibirnya lincah mengikuti lirik lagu band 5 Seconds of Summer yang tersetel di ponsel. Sejak pertama mengetahuinya, cewek itu memang menyambut kepindahtugasan sang papa dari Surabaya menuju Jakarta dengan gembira.
Beres. Akhirnya, Kia selesai berkemas-kemas. Dia lalu menjatuhkan tubuh ke atas kasur. Matanya terpejam menghindari tusukan cahaya lampu dari langit-langit kamar, sementara kakinya masih bergelantungan menyentuh karpet di bawah ranjang. Peluh di dahinya menggambarkan lelah, tapi bibirnya yang masih terus bernyanyi membuktikan bahwa lelah itu sama sekali tidak memengaruhi suasana hatinya.
Sesuatu yang hampir terlupakan membuat Kia berjingkat tiba-tiba. Cewek itu langsung meninggalkan kasur dan beranjak menghampiri meja belajar di sebelah lemari. Ada laci di bagian bawahnya. Menggunakan kunci, Kia dengan mudah membuka laci yang tadinya tertutup rapat. Diambilnya sekotak kardus kecil dari dalam sana. “Ah, untung aja nggak sampai kelupaan!” gumam Kia. Ia sudah duduk bersila di atas kasur dan mulai membuka kardus yang baru diambilnya. Dengan senyum mengembang Kia meneliti satu per satu mainan paling berharga dari masa kecilnya di panti asuhan sebelum diadopsi keluarga yang sekarang. Sudah tampak usang, tapi kenangannya tak pernah luntur.
Kia memandangi selembar foto berbingkai pigura kerang. Tiga gadis kecil tampak tersenyum lebar di sana, salah seorangnya Kia, yang ada di tengah dan berbaju merah. Tanpa melepaskan pandangan, Kia merebahkan tubuh kembali, saatnya menjelajahi memori.
Panti Asuhan Kasih Sayang, Jakarta, tujuh setengah tahun lalu ...
Tiga pasang suami istri membuat ruang kerja kepala panti penuh hari ini. Tiga pria dan tiga wanita itu memang sering wara-wiri belakangan ini untuk mengurus berbagai persyaratan adopsi. Dan hari ini, sebab semua syarat sudah lengkap, mereka diperbolehkan untuk membawa pulang anak yang sudah resmi menjadi bagian keluarga masing-masing.
“Tunggu sebentar, ya, Bapak-Bapak, Ibu-Ibu .... Mungkin anak-anak masih bersiap di dalam,” kepala panti asuhan, Bunda Ana, berkata ramah.
“Tidak apa-apa, Bunda, kami mengerti. Mungkin mereka juga masih pamit sama teman-teman yang lain,” salah seorang wanita menjawab, sedangkan yang lainnya hanya mengangguk.
Bunda Ana tersenyum lega dan membiarkan mereka mengobrol dengan santai.
Sementara itu, di dalam kamar, tiga gadis kelas tiga sekolah dasar sedang saling memeluk, satu di antara mereka menangis sampai hidungnya basah.
Nazla—si gadis berbando—jadi yang pertama melerai pelukan. Ia menggerakkan tangan untuk menghapus air mata sahabatnya. “Jangan nangis terus, Ina. Kapan-kapan kita, kan, bisa ketemu lagi,” hiburnya. Kia berusaha tidak ikut menangis seperti Ina. Gadis yang sehari-hari memang terlihat tomboi ketimbang dua teman sekamarnya itu memang paling tidak suka menunjukkan wajah menangisnya. Sebab, ia malu sendiri pada kebiasaannya menjuluki Ina “si cengeng”.
“Nanti kalau aku kangen kalian gimana? Huaaa!” Ina menangis lagi. Nazla langsung memeluknya.
Tiba-tiba Kia teringat sesuatu. Ia menghampiri lemari plastik susun empat yang selama ini menjadi kepunyaannya dan mengambil sesuatu dari laci terbawah. Barang itu hampir saja terlupakan olehnya. Kia kembali lagi ke dekat Nazla dan Ina, lalu meletakkan satu kalung berbandul kata “Pal” ke tangan dua sahabatnya.
“Dua hari lalu, Bunda sama Papa kasih kalung-kalung ini ke aku. Kata mereka, sengaja beli kembar tiga supaya yang dua bisa aku kasih ke kalian. Tapi, aku lupa kasih dan baru ingat sekarang ...,” kata Kia, ia menjeda untuk memakai kalung miliknya sendiri ke leher. “Anggap aja kalung ini simbol persahabatan kita. Jadi, walaupun pisah, kita akan tetap ingat satu sama lain.”
Kata-kata Kia berhasil menghentikan isakan Ina. Bersama Nazla, Ina ikut memakai kalung pemberian Kia. Selanjutnya, tiga sahabat itu kembali berpelukan dengan erat, seakan-akan menunjukkan dalam hati terkecil mereka tidak ada yang mengharapkan perpisahan ini terjadi.
“Janji, ya, kita bersahabat selamanya. Nggak akan berubah karena apa pun yang bakal terjadi nantinya!” seru Nazla.
Kia dan Ina kompak meneriakkan jawaban yang sama. “Janji!”
Salah satu pengurus panti datang menyudahi acara perpisahan sederhana itu. Setelah diberi tahu tidak baik membiarkan para orang tua menunggu terlalu lama, Kia, Nazla, dan Ina keluar dari kamar tanpa membantah. Mereka sudah menggendong tas sekolah berisi barang-barang yang dianggap perlu dibawa.
Menuju ruang kerja Bunda Ana, Kia, Nazla, dan Ina berjalan sambil bergandengan tangan. Barulah, saat sampai di hadapan para orang tua, genggaman mereka terlepas dengan berat. Sudah waktunya berpisah. Kia menyeka air mata yang menggenang di sudut matanya. Selalu begini. Mengenang saat-saat bersama Nazla dan Ina, terutama momen perpisahan itu, Kia pasti tidak sanggup menahan diri. Mendapatkan keluarga yang menyayanginya memang menghadirkan kebahagiaan untuk Kia, tapi tetap saja berat harus terpisah dengan sahabat karib sejak bayi. Bertahun-tahun berlalu, tapi kata rindu tidak pernah berkurang kadarnya barang semili pun.
Itulah sebabnya, Kia sangat antusias dengan kepindahannya ke Kota Jakarta. Selain kota tersebut menjadi saksi masa kecilnya, salah seorang sahabatnya—Nazla—ada di sana. Atas permintaan Kia sendiri, bunda dan papanya setuju memasukkan dia ke sekolah baru yang merupakan SMA swasta unggulan tempat Nazla bersekolah. Kia juga sudah memberi tahu Nazla soal itu dari seminggu lalu.
Yah, walaupun jarang sekali bertemu setelah hari perpisahan itu, Kia dan Nazla memang masih berkomunikasi dengan baik sampai sekarang. Tapi, sayangnya tidak begitu dengan Ina. Sekitar sebulan setelah tinggal bersama orang tua angkat masing-masing, Kia dan Nazla kehilangan kontak dengan Ina. Kata Bunda Ana, Ina pindah ke luar negeri. Dan, itu adalah kabar terakhir. Sebab, semua kontak orang tua angkat Ina yang dimiliki Bunda Ana tidak bisa dihubungi lagi. Sedih sudah pasti, tapi Kia yakin Ina pasti menyimpan rasa rindu yang sama di mana pun berada.
Terdengar Bunda Kia mengetuk pintu sebelum melangkah masuk ke kamar. “Ki, sudah selesai packing-nya? Kalau sudah, bantu Bunda di bawah, dong?”
Kia menegakkan tubuh. “Tinggal dikit, kok, Bun. Lima menit lagi Kia turun, ya,” katanya dan langsung sibuk memasukkan benda-benda di dalam kardus ke koper. “Oke. Bunda tunggu, loh, ya!”
“Siap!” Kia memberi hormat dengan semangat. Bundanya mengacungkan jempol dan berlalu.
SKU | BE-119 |
ISBN | 978-602-430-454-6 |
Berat | 340 Gram |
Dimensi (P/L/T) | 15 Cm / 21 Cm/ 0 Cm |
Halaman | 372 |
Jenis Cover | Soft Cover |