Favorite Classisc Romance
“Semakin luas kulihat dunia,
semakin aku yakin tak ada pria
yang bisa sungguh-sungguh kucintai.”
Elinor dan Marianne Dashwood, dua saudari dengan kepribadian bertolak belakang. Elinor, sang kakak, mengutamakan akal sehat, sementara Marianne mementingkan perasaan. Walau demikian, keduanya sama-sama ingin menemukan cinta sejati dan menikah untuk membahagiakan ibu mereka.
Namun, pada masa banyak orang lebih mementingkan status dan harta daripada cinta sejati, dapatkah Elinor dan Marianne menikah dengan pria idaman mereka? Apalagi ibu mereka, meski keturunan bangsawan, hanyalah seorang janda miskin tanpa harta. Di tengah pergaulan kaum bangsawan yang penuh kepalsuan, akankah dua bersaudari ini bisa menemukan ketulusan?
Sense and Sensibility, novel pertama Jane Austen yang dirilis pada 1811. Novel ini telah menjadi inspirasi ratusan karya modern, diadaptasi menjadi drama, teater, film layar lebar, hingga serial televisi.
JILID SATU
Bab 1
Keluarga Dashwood sudah lama menetap di Sussex. Perkebunan mereka luas, dan kediaman mereka berada di Norland Park—yang terletak di tengah-tengah perkebunan tersebut. Dari generasi ke generasi, mereka berperilaku dengan sangat terhormat sehingga selalu menimbulkan kesan baik. Mendiang pemilik perkebunan itu adalah pria lajang lanjut usia, dan selama bertahun-tahun tinggal di sana dengan ditemani adik perempuannya. Namun, kematian sang adik, yang terjadi sepuluh tahun sebelum kematiannya sendiri, menimbulkan perubahan besar di kediamannya. Untuk mengobati rasa kehilangan, sang pria tua mengundang sang keponakan—Mr. Henry Dashwood dan keluarga—untuk tinggal di rumah tersebut. Henry Dashwood merupakan ahli waris resmi Perkebunan Norland, orang yang memang diinginkan oleh Mr. Dashwood tua untuk menjadi ahli warisnya.
Hari-hari pria tua itu dihabiskan bersama para keponakannya. Keterikatannya dengan mereka terus bertambah seiring dengan berjalannya waktu. Perhatian rutin yang diberikan oleh Mr. dan Mrs. Henry Dashwood terhadapnya—yang timbul bukan hanya karena tuntutan kewajiban, melainkan juga dari kebaikan hati—membuat Mr. Dashwood merasa nyaman dalam usia senja. Dan keceriaan anak-anak di rumah itu pun semakin membuat dia gembira.
Dari pernikahan pertamanya, Mr. Henry Dashwood memiliki seorang anak laki-laki: sedangkan dari pernikahannya yang sekarang membuahkan tiga orang anak perempuan. Anak laki-laki Mr. Henry Dashwood sudah lumayan tercukupi oleh harta dari ibunya. Istri pertama Mr. Henry Dashwood kaya raya, dan putranya telah mendapatkan setengah harta yang menjadi haknya. Belum lagi, pemuda itu mendapatkan tambahan kekayaan dari pernikahannya sendiri. Karena itulah, bagi putra Mr. Henry Dashwood, warisan dari Perkebunan Norland tidak terlalu penting daripada bagi ketiga adik perempuannya. Harta tiga gadis itu relatif kecil kalau belum ditalangi oleh warisan tersebut. Ibu mereka tidak memiliki apa pun; ayah mereka hanya memiliki tujuh ribu poundsterling di tabungan. Setengah dari harta kekayaan istri pertama Mr. Henry Dashwood ditabung hanya untuk putranya kelak, dan Mr. Henry Dashwood hanya bisa memperoleh bunga dari tabungan tersebut.
Pria tua terhormat itu akhirnya wafat. Surat wasiatnya dibacakan, dan sebagaimana semua surat wasiat, surat itu pun menimbulkan kekecewaan sekaligus kegembiraan yang sama besarnya. Mr. Dashwood tua bukannya tidak adil atau tidak tahu berterima kasih—dia toh tidak sepenuhnya menghalangi keponakannya untuk mewarisi perkebunan miliknya. Namun, Mr. Dashwood tua memberikan persyaratan-persyaratan dengan sedemikian rupa sehingga menurunkan nilai dari warisannya.
Mr. Henry Dashwood tadinya berharap agar sebagian warisan jatuh pada istri dan ketiga putrinya saja, tetapi yang mendapat bagian paling besar justru anak laki-laki dan cucunya—bocah yang baru berusia empat tahun. Itu membuat Mr. Henry Dashwood gagal memenuhi kebutuhan orang-orang yang paling dia sayangi, orang-orang yang justru sangat membutuhkan harta dari perkebunan itu dari setiap kayu berkualitas tinggi yang terjual. Hampir seluruh harta si pria tua diperuntukkan bagi kesejahteraan bocah tersebut. Rupanya, kunjungan sesekali sang bocah bersama sang ibu dan ayahnya ke Norland telah menumbuhkan rasa sayang dalam diri sang pria tua. Padahal, daya tarik bocah tersebut sama saja dengan anak-anak berusia dua-tiga tahun lainnya; ocehan cadel, kekeraskepalaan, kecerdikan yang memperdaya, kebisingan-kebisingan. Namun, semua itu, toh, berhasil menandingi perhatian yang diberikan sang keponakan perempuan beserta tiga anak gadisnya selama bertahun-tahun. Pria tua itu tidak bermaksud buruk, tentu saja, dan sebagai tanda kasih sayangnya pada tiga gadis tersebut, dia mewariskan seribu poundsterling kepada masing-masing dari mereka.
Kekecewaan Mr. Henry Dashwood awalnya sangat besar; tetapi beliau pada dasarnya adalah orang yang berperangai ceria dan periang. Dengan bijak, beliau merencanakan untuk melanjutkan hidupnya, berhemat, menabung dari hasil perkebunan yang cukup melimpah, juga mencanangkan berbagai bentuk peningkatan kualitas hidup. Sayang sekali, Mr. Henry Dashwood hanya sempat menikmati warisannya selama setahun. Beliau wafat dan menyusul sang paman tak lama kemudian. Uang sebesar sepuluh ribu poundsterling, beserta warisan dari Mr. Dashwood tua, adalah satu-satunya yang tersisa bagi janda dan anak-anak perempuan beliau saat ini.
Mr. Henry Dashwood sempat memanggil putranya saat kondisi beliau mulai kritis. Dengan sisa kekuatannya, Mr. Henry Dashwood menyarankan putranya untuk memikirkan kesejahteraan ibu tiri dan adik-adiknya.
Perasaan Mr. John Dashwood terhadap keluarganya tidaklah terlalu dalam, tetapi saat itu dia terenyuh oleh pesan ayahnya yang datang pada saat-saat sulit. Mr. John Dashwood pun berjanji untuk sebisa mungkin menyenangkan keluarganya, mengingat bahwa sang ayah yang biasanya santai itu tampak bersungguh-sungguh memohon padanya. Mr. John Dashwood merenung, memikirkan seberapa besar yang bisa dia lakukan untuk keluarga ini.
Mr. John Dashwood bukan pria berperangai buruk. Hatinya terlalu dingin dan dia terlalu egoistis untuk bisa memiliki perangai buruk. Pada dasarnya, dia dihormati karena setiap kali dia memutuskan untuk melepaskan tanggung jawabnya, dia melakukannya dengan sikap yang sopan. Seandainya dulu dia menikahi wanita yang lebih ramah, mungkin Mr. John Dashwood bisa lebih dihormati lagi; bahkan Mr. John Dashwood sendiri bisa menjadi seorang pria ramah pula. Namun, Mr. John Dashwood masih sangat muda ketika memutuskan menikah, dan dia sangat mencintai istrinya, Mrs. John Dashwood, yang merupakan karikatur kuat dari dirinya, tapi dengan pola pikir lebih sempit dan sifat lebih egoistis.
Setelah berjanji kepada ayahnya, Mr. John Dashwood berpikir untuk menambah harta adik-adik perempuannya dengan memberi mereka masing-masing seribu poundsterling.Dia berpikir itu adil. Mr. John Dashwood, toh, tetap akan mendapatkan empat ribu poundsterling per tahun, belum lagi pemasukannya yang sekarang, ditambah lagi setengah harta milik ibunya. Hati Mr. John Dashwood menghangat. Dia merasa sudah menjadi seorang dermawan. “Ya, aku akan memberi mereka tiga ribu poundsterling: itu mudah dan mulia! Itu cukup untuk membuat mereka senang. Tiga ribu poundstering! Aku bisa menyisihkan jumlah yang masuk akal itu tanpa perlu banyak repot.” Mr. John Dashwood memikirkannya selama berhari-hari dan sudah membuat keputusan. Dia tidak menyesal.
Tak lama setelah pemakaman Mr. Henry Dashwood, Mrs. John Dashwood datang bersama putra dan pelayan-pelayannya tanpa memberi tahu ibu mertuanya terlebih dahulu. Tak ada yang bisa menghalangi kedatangannya—rumah itu, toh, sudah jadi milik suaminya sejak kematian Mr. Henry Dashwood. Yang jadi masalah ialah perilaku tidak ramah wanita muda tersebut. Bagi sang ibu mertua yang gampang tersinggung, perilaku seperti itu sangatlah tidak menyenangkan. Mrs. Dashwood memiliki penghormatan besar terhadap orang lain, memiliki sifat dermawan yang luar biasa; tetapi dia tidak akan pernah bisa menyukai orang yang sudah menyinggung perasaannya. Di sisi lain, Mrs. John Dashwood memang tidak pernah disukai oleh keluarga suaminya, dan sampai sekarang pun dia tidak pernah menunjukkan perhatiannya ketika dibutuhkan.
Mrs. Dashwood sangat gamang dengan perilaku menantunya, pun sangat membencinya, sampai-sampai dia berencana minggat dari rumah saat sang menantu tiba di sana. Untung saja, putri sulung Mrs. Dashwood berhasil mencegah dan memintanya merenungkan tentang apa gunanya pergi dari rumah. Rasa sayang Mrs. Dashwood terhadap ketiga putrinya akhirnya membuat beliau bertahan untuk tinggal. Demi mereka pula, Mrs. Dashwood memutuskan untuk menghindari perselisihan dengan saudara laki-laki mereka.
Elinor, sang putri sulung yang nasihatnya sangat mencerahkan, memiliki pemahaman yang besar terhadap orang lain, juga berkepala dingin dalam memberikan pendapat. Walaupun masih berusia sembilan belas, dia sanggup menjadi penasihat bagi ibunya. Dia rutin memberi tahu ibunya bahwa kenekatan beliau bisa berujung pada kerugian. Elinor memiliki hati yang baik, berwatak penyayang, sensitif, tetapi tahu bagaimana cara mengatur perasaannya. Itu sesuatu yang masih harus dipelajari oleh ibunya, dan sesuatu yang tidak akan pernah bisa dia ajarkan kepada salah seorang adiknya.
Perangai Marianne hampir menyamai Elinor. Dia peka dan pandai, tetapi sayangnya dia terlalu sensitif dalam hal apa pun—setiap kesedihan dan kebahagiaan yang dirasakannya begitu sulit untuk dikendalikan. Dia dermawan, ramah, menarik; dia memiliki segalanya kecuali kebijaksanaan. Kemiripan Marianne dengan ibunya sungguh luar biasa.
Elinor khawatir terhadap kepekaan adiknya yang berlebihan, tapi Mrs. Dashwood menjunjung tinggi dan menyukai hal tersebut. Keduanya selalu kompak saat berbagi kesedihan. Kegamangan yang sempat menaklukkan mereka akan tumbuh lagi dalam waktu dekat, dicari-cari, dan terus-menerus didaur ulang. Mereka menyerahkan diri sepenuhnya pada penderitaan, menyiksa diri, dan tidak mau mencari penghiburan. Elinor juga sering merasa gelisah, tetapi dia masih mau berjuang dan mengendalikan diri. Dia mampu berkonsultasi dengan kakak laki-lakinya, mampu menerima kedatangan kakak iparnya dan memperlakukan mereka dengan sopan. Setidaknya, Elinor masih bisa sedikit menenangkan ibunya dan menyarankan beliau untuk bersikap seperti dirinya.
Margaret, sang putri bungsu, adalah gadis berperangai baik dan sopan. Namun dia sudah terlalu banyak terpengaruh oleh pola pikir Marianne tanpa mengambil yang bagus-bagus juga. Pada usia tiga belas tahun ini, dia belum mampu menyamai perangai kakak-kakaknya—tidak dalam waktu dekat.[]
Tak pernah diragukan bahwa nama Jane Austen selalu lekat dalam hati pencinta sastra dunia. Novel-novelnya seperti Pride and Prejudice, Emma, dan Sense and Sensibility tak pernah lekang dimakan waktu, bahkan setelah 150 tahun berlalu. Gaya penulisannya banyak menginspirasi penulis-penulis masa kini, juga dikagumi karena kejujuran dan kekhasannya. Novelis Inggris yang lahir pada 1775 ini mengawali karier menulisnya dengan membuat puisi, cerita pendek, dan drama yang hanya ditujukan untuk dirinya sendiri dan keluarganya. Keahliannya adalah menulis cerita dengan genre roman, yang diwarnai fakta tentang keadaan sosial pada masanya.
“Sebuah karya yang sempurna.”
—Eudora Welty, novelis dan cerpenis, pemenang Pulitzer 1973
“Salah satu alasan karya Jane Austen masih diminati pembaca masa kini adalah kisah-kisahnya menggambarkan kehidupan seorang gadis muda yang masih relevan hingga kini.
Karakter-karakter ciptaan Jane Austen menggambarkan bagaimana seorang perempuan bersikap menghadapi perundungan, kekecewaan, kesalahpahaman, dan ketakberdayaan.
Namun, mereka tetap penuh hasrat, harga diri, dan peka. Seratus sembilan puluh tahun telah berlalu sejak kematian Austen, tetapi karya-karyanya abadi.”
—The Guardian
SKU | QN-128 |
ISBN | 978-602-441-269-2 |
Berat | 450 Gram |
Dimensi (P/L/T) | 13 Cm / 21 Cm/ 0 Cm |
Halaman | 464 |
Jenis Cover | Soft Cover |