Wacana ekonomi Islam—seperti halnya ide negara Islam—merupakan sebuah wacana baru dalam konteks kebangkitan Islam di era modern. Menyertai gagasan tersebut, pada paruh dasawarsa kedua abad ke-20, lahir pula gagasan pendirian bank Islam. Selain didorong motif pasar (market driven), gagasan tersebut juga didorong oleh motif nilai (value driven) untuk menggantikan sistem bunga bank yang dianggap riba.
Di Tanah Air, pemikiran awal mengenai sistem ekonomi Islam baru berkembang pada paruh kedua tahun 1980-an. Di antara tokoh yang kritis terhadap wacana tersebut adalah ekonom muslim Sjafruddin Prawiranegara. Dalam International Economic Conference di London (1977), yang bertemakan “Muslem World and the Future of Economic Order”, ia menyampaikan makalah bernada retoris, “Is There a Particular Islamic Economic Concept or System?”—sebuah pertanyaan yang sebenarnya telah ia jawab sendiri dalam sebuah risalahnya yang terbit pada 1967. Dia menolak konsep sistem ekonomi Islam yang legalistik. Sebagai gantinya, dia menawarkan sistem ekonomi “sosialisme-religius” yang berpatron pada sistem moral Islam.
Buku ini membedah secara komprehensif bagaimana sistem ekonomi Islam berkembang dan berdialektika di Tanah Air, lewat tinjauan yang mendasar dari aspek ontologis, epistemologis, hingga aksiologis. Dalam dataran pragmatis, diskursus sistem ekonomi Islam di Indonesia lebih didominasi oleh konsep sistem ekonomi syariah. Akibatnya, sistem ekonomi Islam sering dipahami berdasarkan keidentikannya dengan sistem ekonomi legal berdasar hukum syariah—yang semestinya konsep ekonomi Islam memiliki jangkauan jauh lebih luas dari itu. Namun demikian, apa pun modelnya, praktik sistem ekonomi Islam sudah seharusnya bermuara pada terwujudnya kesejahteraan sosial umat.