Buku SENI MERAYU TUHAN - Husein Ja‘far… | Mizanstore
Ketersediaan : Tersedia

SENI MERAYU TUHAN

    Deskripsi Singkat

    “Allah Maha indah dan menyukai keindahan, maka dekati Dia dengan rayuan yang begitu romantis. Sebab, amal kita bukanlah‘alat tukar’untuk surga, melainkan hanya Rahmat-Nya yang membawa kita ke surga.” Jika Tuhan Maha Pengasih, masih perlukah kita merayu-Nya? Tentu saja perlu dan hanya itulah cara kita menjemput rahmat-Nya. Bahkan, sebelum kita merayu-Nya … Baca Selengkapnya...

    Rp 69.000 Rp 55.200
    -
    +

    “Allah Maha indah dan menyukai keindahan, maka dekati Dia dengan rayuan yang begitu romantis. Sebab, amal kita bukanlah‘alat tukar’untuk surga, melainkan hanya Rahmat-Nya yang membawa kita ke surga.”

    Jika Tuhan Maha Pengasih, masih perlukah kita merayu-Nya? Tentu saja perlu dan hanya itulah cara kita menjemput rahmat-Nya. Bahkan, sebelum kita merayu-Nya 

    dengan romantis,

    Tuhan telah memberi nikmat yang unlimited. Jangankan untuk membalas nikmat-Nya, untuk

    menghitungnya pun kita tak akan mampu!

    “Maka,”tulis Husein Ja‘far Al-Hadar, “kita memerlukan seni merayu Tuhan, agar cinta dan rahmat-Nya senantiasa berdegup di hati kita.”

    Dalam buku Seni Merayu Tuhan, Husein menawarkan perspektif seni—dalam arti yang luas—kepada pembaca untuk memahami berbagai fenomena keberagamaan kontemporer, mulai dari kesalehan ritual, sosial, hingga digital.

    Dengan gaya “dakwah milenialis”, bahasa yang popular, dan jenaka, Husein mengemas buku ini dengan segar dan mudah dicerna oleh berbagai kelompok anak muda, tanpa kehilangan daya nalar dan kritisnya.
     



    Keunggulan Buku

    Tuhan itu sudah kasih “deposit” duluan ke kita. Bahkan, dengan deposit yang unlimited. Deposit itu berupa nikmat. Padahal kita belum ngapa-ngapain, sudah dikasih nikmat yang tiada terhingga. Seperti saat kita masih di dalam perut ibu hingga masih balita, belum juga kita ibadah apapun, Tuhan telah berikan berbagai nikmat pada kita: dari yang paling mendasar adalah ruh untuk kita hidup hingga rezeki tanpa kita bekerja dimana di dalam perut ibu kita langsung mendapat rezeki delivery ke dalam perut ibu dan ke tubuh kita tanpa diminta, dicari, atau bahkan sekadar dikunyah. 

    Eh, wait, aneh juga ya kalau kita bekerja dan masih khawatir tak dapat jatah rezeki-Nya. Padahal bayi di dalam perut ibu aja diantar rezeki-Nya. Tuhan bisa tersinggung itu.

    Sebegitu unlimited-nya nikmat Tuhan atas kita hingga jangankan untuk dibalas, sekadar menjaga salah satu nikmat paling sederhana saja, sering kita abai. Sehingga kata Nabi Saw dalam sabdanya riwayat Imam Bukhari, ada salah satu nikmat yang sering kita abai, yakni sehat. Saat pandemi, baru sadar nikmatnya oksigen. Saat sakit kencing batu, baru sadar nikmatnya kencing. Apalagi nikmatnya gigi, sungguh baru terasa kalau sakit. Eh, nikmatnya hati juga, baru terasa kalau sudah ditinggalkan oleh yang dicinta. Duh!

    Bahkan, jangankan untuk menjaganya, sekadar menghitungnya ‘pun kita tak bisa. Persis sebagaimana difirmankan Allah dalam Surat An-Nahl ayat 18, “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya…”

    Maka, masihkah kita pede menukarkan amal baik kita dengan tiket surga, di tengah samudera nikmat tak terhingga yang diberikan Tuhan pada kita? Shalat kita seumur hidup, ditukar dengan salah satu nikmat fisik kita, syukur-syukur kalau impas. Apalagi nikmat iman, dengan amal yang mana yang bisa ditukarkannya?

    Loh, bukankah memang kita diperintah Tuhan beramal agar masuk surga sebagaimana dalam Surat Az-Zukhruf ayat 72 dan surat Al-Waqi’ah ayat 24? Memang! Syarat masuk surga itu amal, tapi yang menjadikan pasti masuk surga adalah rahmat Tuhan. Oleh karena itu, dalam Tafsir Ibnu Katsir misalnya terkait Surat Az-Zukhruf ayat 72, posisi amal itu sebagai pengetuk pintu rahmat-Nya. Itupun belum tentu terbuka. Sebab, kata Nabi Muhammad dalam sabdanya dalam riwayat Imam Muslim dari Sayyidina Jabir bin Abdillah, “Tidak ada amalan seorang ‘pun yang bisa memasukkannya ke dalam surga dan menyelamatkannya dari neraka. Tidak juga denganku. Kecuali dengan rahmat dari Allah” 

    Dalam hadis qudsi riwayat Hakim dari Jabir bin Abdullah juga diceritakan bahwa di akhirat nanti ada seorang hamba yang telah beribadah selama 500 tahun. Ia ‘pun dipersilakan oleh Allah untuk memasuki surga. “Wahai hamba-Ku, masuklah engkau ke dalam surga karena rahmat-Ku.” 

    Namun, ia menyangkal dalam hati tentang mengapa ia masuk surga lantaran rahmat-Nya? Bukankah ia telah beribadah selama 500 tahun? 

    Lalu ia bertanya, “Ya Rabbi, mengapa aku tidak dimasukkan ke dalam surga karena amalku?” Allah ‘pun memperlihatkan nikmat yang telah diberikan-Nya baginya. Nikmat Allah tersebut ditimbang dengan seluruh amal ibadah yang telah ia kerjakan, ternyata nikmat penglihatan dari sebelah matanya saja sudah melebihi ibadah 500 tahunnya. Maka ia ‘pun tertunduk di hadapan Allah dan menyadari betapa kecilnya nilai ibadahnya. 

    Oleh karena itu, ketika Sayyidah ‘Aisyah melihat Nabi shalat malam begitu panjang tiap malam, ia bertanya, “Ya Rasulullah, bukankah Allah telah mengampuni dosamu yang terdahulu dan yang akan datang?" Maksudnya, mengapa Nabi masih beribadah sunnah sebegitunya, apalagi Nabi sudah dijamin masuk surga dan merupakan makhluk termulia? Nabi bersabda dalam sabdanya riwayat Imam bukhari, “Bukankah lebih elok jika aku menjadi hamba yang bersyukur?!”

    Karenanya, amal baik saja tak cukup, ia perlu dihias secara indah menjadi “amal baik yang indah”. Sebab “Allah Maha Indah dan menyukai keindahan,” begitu sabda Nabi Muhammad sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim dari sahabat Abdullah bin Mas’ud. Dekati Dia dengan rayuan yang begitu romantis. Karena amal kita bukan “alat tukar” untuk surga, melainkan rahmat-Nya lah tiket masuk surga. Sehingga tak ada jalan lain dari amal itu kecuali dilakukan dengan indah dengan seni merayu agar Tuhan merasakan getaran cinta kita atas-Nya dalam amal itu hingga Dia mau memberi rahmat-Nya atas kita. Oleh karena itu kita butuh seni merayu Tuhan.

    Lalu bagaimana seni merayu Tuhan itu?

    Pada prinsipnya, seni merayu Tuhan adalah ber-ihsanIhsan itu, sebagaimana disabdakan Nabi Muhammad dalam “hadis Jibril” yang begitu populer yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Sayyidina Umar bin Khattab, “Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Kalaupun engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.” 

    Adapun kita, seperti seorang Arab Badui yang dikritik Al-Qur’an dalam Surat Al-Hujurat ayat 14, “Orang-orang Arab Badui berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, “Kami telah tunduk (Islam)”. Karena iman belum masuk ke dalam hatimu.” 

    Saya masih tahap bisa mengklaim bahwa saya sudah melakukan shalat, belum menegakkannya. Padahal yang diminta Allah dalam Al-Qur’an bukan sekadar melakukan shalat, tapi menegakkannya. Artinya, saya masih shalat paling tidak karena takut neraka atau ingin surga, belum lantaran iman. Karenanya dalam Kitab Taurat, Allah pernah bertanya, “Andai surga dan neraka tak ada, apakah kau masih akan menyembah-Ku?”

    Secara praktis, Imam Hasan Al-Bashri, salah satu sufi besar mengajarkan: “Kalau kau ingin Tuhan bicara padamu, bacalah Al-Qur’an. Adapun kalau kau ingin bicara pada Tuhan, shalatlah.” Bacalah Al-Qur’an seolah ia turun kepadamu, shalatlah seolah-olah Tuhan betul-betul berada di hadapanmu, dan dalam semua ibadahmu lakukanlah seolah-olah Tuhan hadir secara langsung dan nyata. 

    Dalam sujud, jatuhkan diri kita sejatuh-jatuhnya seperti posisi fisik kita dimana kepala kita yang kita banggakan itu berada di titik terendah, yaitu tanah. Bayangkan seolah itu sujud terakhir kita. Resapi dengan sungguh-sungguh apa yang kita ikrarkan di awal shalat yang diajarkan Tuhan dalam Surat Al-An’am ayat 162: “inna sholati wanusuki wamahyaya wamamati li-Ilahi Rabbil alamin” (sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam).

    Maka, bagaimana kira-kira kualitas ibadahmu? Ia dijalani sebagai kewajiban semata atau dengan penuh cinta sehingga begitu indah? Kata Jalaludin Rumi, kalau sekadar sebagai kewajiban maka ia akan terasa sebagai beban, namun kalau dijalani atas dasar cinta maka ia akan enjoy dimana ia akan mencapai satu keadaan yang kerap diceritakan oleh para sufi yakni dimana ia akan rindu ibadah sepersekian detik begitu ia selesai dari satu ibadah.

    Seni merayu Tuhan bukan hanya mengandalkan ibadah-ibadah utama (mahdhah) yang diwajibkan Tuhan atas kita melainkan menambahi dengan ibadah-ibadah tambahan (ghoiru mahdhah) yang bisa kita persembahkan pada Tuhan selama tak ada larangannya dari Tuhan. Maka berkesenianlah dalam merayu Tuhan dalam ibadah-ibadah ghoiru mahdhah tersebut. 

    Saya misalnya, yang biasa ngetik di malam hari meniatkan aktivitas intelektual itu sebagai “zikir malam”. Pelukis bisa meniatkan aktivitas melukisnya sebagai ibadah melukis keindahan Tuhan. Driver ojek online, satpam, pedagang, dan apa pun pekerjaan kalian itu niatkan saja dan jalani sebagai seni merayu Tuhan.

    Targetnya adalah sampai kira-kira Tuhan merasakan vibes bahwa kita benar-benar telah menghambakan diri kita sepenuhnya pada Tuhan. Sehingga Tuhan sudi kiranya memberi rahmat pada kita. 

    InsyaAllah!

    Resensi

    Spesifikasi Produk

    SKU UA-243
    ISBN 978-602-441-255-5
    Berat 300 Gram
    Dimensi (P/L/T) 14 Cm / 21 Cm/ 0 Cm
    Halaman 228
    Jenis Cover Soft Cover

    Produk Husein Ja‘far Al-Hadar

















    Produk Rekomendasi