Jazz, Parfum, dan Insiden—diterbitkan kali pertama pada 1996—merupakan karya sastra pertama yang berani mengangkat “horor” pendudukan militer di Timor Timur. Ketika pemerintah membungkam media massa untuk mengangkat kasus di Dili tersebut, buku ini tampil sebagai karya kritis yang mampu lolos dari sensor pemerintah. Memainkan fakta, fiksi, dan nonfiksi, novel ini menghadirkan apa yang saat itu tabu untuk dibicarakan.
Inilah karya Seno Gumira Ajidarma yang telah mengubah wajah sastra dan politik Indonesia untuk selamanya.
Cara memandang Seno—juga caranya menulis—adalah sesuatu yang baru dalam sastra Indonesia. Jazz terdiri dari pergantian peristiwa cinta dan gairah yang berlangsung dengan cepat dan berlalu begitu saja. Hal ini berlawanan dengan bagian-bagian yang bercerita tentang kekerasan militer yang brutal, dilakukan oleh para tentara yang tak ternamai dan tak terlihat. Konteks semacam ini, bagaimanapun, sangat jelas bagi pembaca Indonesia yang punya pengetahuan mendalam atas lingkungannya. Seno menulis dengan jernih, langsung, dan mematahkan banyak aturan-aturan sastra, membuatnya sulit untuk dimasukkan dalam kotak-kotak tertentu. Jazz adalah karya yang seimbang, jujur, dan penulisnya seperti tidak terlalu peduli dengan kecenderungan sastra.
Andy Fuller
Peneliti sastra dan sepakbola Universitas Melbourne, pengelola readingsideways.net.
Tentang Penulis:
SENO GUMIRA AJIDARMA mulai bekerja sebagai wartawan, berpindah-pindah dari satu media ke media lain, sambil tetap menulis cerita. Pada awal 1992 ia dilepaskan dari tugasnya sebagai redaktur pelaksana Jakarta Jakarta karena pemberitaan mengenai Insiden Dili di majalah itu.
Peristiwa itu mendorong penulisan sejumlah cerita berdasarkan berita itu yang kemudian terkumpul dalam buku Saksi Mata; Jazz, Parfum, dan Insiden; serta Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara terbitan Bentang Budaya pada. Buku-buku tersebut mendapat sambutan yang baik dari masyarakat, dan meraih berbagai penghargaan.