"Para pembaca akan mengagumi keberanian Ashcraft yang luar biasa."
—Publishers Weekly
"Debut yang dramatis ... sangat menyentuh."
—Kirkus Reviews
"Kisah ini membuktikan bahwa semangat manusia tak mudah padam."
—Herb McCormick, Cruising World magazine
CUPLIKAN BAB 1 PADA SAAT-SAAT GENTING
Mendengar suara dentang kaki jangkar ketika benda itu ditambatkan di atas kapal, aku mengalihkan perhatianku pada Richard. Dia melambai kepadaku dengan sikap penuh kejayaan—“Ayo pergi!” Aku pun menjalankan kapal ke depan. Selagi aku mengendalikan mesin, Hazana mengerahkan kecepatannya dan kami berlayar meninggalkan Pelabuhan Papeete di Pulau Tahiti. Waktu itu 22 September 1983, pukul 13.30. Dalam kurun sebulan, kami akan kembali ke San Diego, California. Kalau saja aku bisa merasa lebih bersemangat. Aku tidak suka meninggalkan Pasifik Selatan. Bukannya aku tidak mau bertemu dengan keluarga dan teman-temanku lagi, hanya saja, semua ini terasa terlalu cepat. Kami baru saja meninggalkan California selama enam bulan, dan tadinya berencana untuk berpesiar ke Kepulauan Pasifik Selatan dan New Zealand sebelum kembali ke rumah. Perubahan rencana ini membuat perasaanku bercampur aduk.
Tetapi seperti kata Richard, pekerjaan mengantarkan kapal ini adalah mimpi yang menjadi kenyataan—terlalu berharga untuk dilewatkan. Seruan-seruan dari pesisir menarik perhatianku. Saat aku berbalik, kulihat beberapa teman kami melambaikan ucapan selamat tinggal. Aku berdiri di kursi kemudi dan ikut melambai dengan kedua tangan tinggi di udara selagi mengemudi dengan kaki kiri telanjangku. Aku merasakan sengatan di jempol kakiku saat Richard mengambil alih kemudi dengan satu tangan dan melingkarkan tangannya yang satu lagi di pinggangku. Aku menunduk menatap matanya yang sebiru porselen. Kedua matanya dipenuhi kegembiraan. Dia menarikku mendekat dan mencium perutku yang tertutup kain pareu. Aku tidak tahan untuk tersenyum, dia seperti anak kecil di tengah semangatnya.
“Jangkarnya sudah diangkat, Cinta.”
“Yap, jangkarnya sudah diangkat!” aku mengekor.
Mataku berkaca-kaca saat aku memberikan lambaian terakhir pada teman-teman yang kini terlihat seperti tiang-tiang lampu di dermaga. Rasa tersekat yang familier di tenggorokanku mengingatkanku betapa beratnya untuk pergi, memikirkan bahwa kau mungkin tidak akan bertemu dengan mereka lagi. Meskipun kami akan kembali secepatnya, aku mengingatkan diriku bahwa teman-teman kami barangkali tidak akan berada di situ lagi. Para pelaut tidak tinggal lama di satu tempat—mereka selalu berkelana. Aku mengambil alih kemudi selagi Richard mengangkat layar utama. Menarik napas dalam-dalam, aku memindai cakrawala. Pulau Moorea tampak mencolok dan membentang ke arah barat laut. Oh, betapa aku sangat mencintai laut! Selagi aku mengemudikan kapal di tengah embusan angin, layar utama berderak dan melecut ketika Richard menaikan kain kanvas itu ke atas. Ketika perahu mengikuti arah angin, layar yang tadinya tergulung tersebut berkibar selicin tetesan hujan di kaca jendela. Hazana condong ke samping dengan nyaman. Betapa Trintella ini kapal yang luar biasa, pikirku. Memiliki presisi sampai dua belas meter. Sangat mewah jika dibandingkan dengan Mayaluga kami.
Memerhatikan Richard merapikan layar Hazana, aku merenungkan tentang betapa berat baginya mengucapkan selamat tinggal pada Mayaluga. Dia merakit kapal itu di Afrika Selatan, dan dia menamainya dengan kata dari bahasa Swazi, yang berarti, “Ia yang bertolak ke cakrawala”. Mayaluga telah menjadi rumah Richard selama bertahun-tahun, dan dia telah berlayar bersama kapal berukuran sepuluh meter itu setengah jalan mengelilingi dunia. Rangka Mayaluga licin dan indah dilihat, interiornya merupakan impian seorang perajin, dengan tiang-tiang dek mahoni terlaminasi yang berkilauan di tengah lapisan-lapisan pernis sehalus beledu dan kayu jati dan langkan dari kayu holly.
Menolak untuk berpikir terlalu dalam tentang apa yang hendak kami tinggalkan, kami berdua menyibukkan diri selama hari-hari terakhir berlayar dengan Mayaluga. Aku mengepak semua pakaian dan benda pribadi yang akan kami butuhkan untuk mengunjungi dan melayari dua belahan dunia selama empat bulan ke depan. Kaus untuk musim gugur di San Diego. Jaket untuk Natal di Inggris. Baju hangat untuk awal musim dingin sekembalinya ke San Diego. Pareu dan celana pendek untuk sekembalinya kami pada akhir Januari ke Tahiti. Richard, sementara itu, mempersiapkan Mayaluga untuk kami tinggalkan selama bulan-bulan tersebut.
Mayaluga akan aman di Teluk Mataiea. Teman kami, Haipade, yang tinggal di teluk itu bersama istrinya Antoinette dan tiga anak mereka, berjanji untuk menyalakan mesinnya seminggu sekali. Kami melakukan perawatan spesial, menaikkan semua bantalan dan papan-papan agar udara lembap di Tahiti bisa bersirkulasi. Kami membiarkan kerai besarnya membubung untuk melindungi badan kapal mengilap itu dari sengatan matahari dan retakan-retakan ....