Suatu hari nanti: Akankah kita bertemu lagi atau akan hilang begitu saja dimamah Bumi dan mimpi-mimpi tentang rumah merah jambu yang belum jadi? Mungkin kita tidak akan menjalin asmara bila seorang pengarang tidak memaksa kita-dua orang yang tidak tahu apa-apa-untuk menunjukkan kemesraan di hadapan pembaca. Keparatnya adalah, ratusan tahun kemudian kisah kita diimani sebagai cinta abadi yang mengalalhkan kesetiaan nabi-nabi pada wahyu. Meski begitu, sebagaimana doa semua tokoh cerita, kita berharap menemukan pembaca yang tidak hanya menyilakan kita merasakan decak kekaguman, gremeng gerutuan, dan helaan napas kekesalan mereka pada kekasih yang berselingkuh, tapi juga yang diam-diam akan menghidupkan kita di kepala mereka dengan cara yang paling manusiawi. Salah satunya adalah, dengan memberi jalan kepada kita untuk menyelingkuhi perjanjian yang indah namun sebenarnya tak pernah ada.
Benny menulis "cinta yang tidak kukuh sebagai kesetiaan tunggal" dengan rinci rujukan yang meyakinkan.
-Kurnia Effendi
Bagi Benny, cinta adalah sesuatu yang paradoks. Menjunjung dan atau membencinya adalah sebuah kesalahan.
-M. Irfan Hidayatullah
Benny Arnas lahir di Lubuklinggau, Sumatra Selatan, 8 Mei 1983. Ia menulis (sastra) pada tahun 2008 ketika berusia 25 tahun. Di pengujung tahun tersebut, cerpen pertamanya, "Dua Beranak Temurun", langsung dimuat Kompas. Setelah itu, cerpen-cerpennya merambah ke Koran Tempo, Jawa Pos, Republika, Horison, Media Indonesia, dan lain-lain. Penghargaan pertamanya dalam dunia mengarang adalah Esai Terbaik Sumatra Selatan lewat esainya "Kerlip Cahaya dari Lereng Siguntang" (2008). Lewat cerpennya "Tentang Perempuan Tua dari Kampung Bukit Batu yang Mengambil Uang Getah Para dengan Mengendarai Kereta Unta Sejauh Puluhan Kilometer ke Pasar Kecamatan", ia beroleh Hadiah Sastra Pat Petulai dari media di Bengkulu (2009); tulisannya "Sebelas Potong Cerita Neknang" dipilih oleh Lingkar Pena Publishing House dan Mizan sebagai Kisah Inspiratif Terbaik Indonesia (2009); karena dedikasinya pada sastra, Gubernur Sumatra Selatan menganugerahinya Anugerah Kesenian Batanghari Sembilan (2009); cerpennya, "Taman Pohon Ibu", beroleh Hadiah Sastra Krakatau (2010); dua cerpennya—"Jackarta de Marselamah" dan "Palung Bunga"—menjadi cerpen pilihan Jakarta International Literary Festival (2011); cerpennya "Air Akar" dinobatkan sebagai Karya Fiksi Terbaik Tulis Nusantara oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif setelah menyingkirkan lebih dari 13.000 naskah (2012); Bukunya Bulan Celurit Api mendapatkan Anugerah Pena sebagai Kumpulan Cerpen Terpuji (2013); Jawa Pos menobatkannya sebagai Tokoh Muda Sastra Indonesia (2013); dan Balai Bahasa Sumatra Selatan menganugerahi cerpennya, "Hikayat Persiden Kurap", sebagai Cerpen Media Massa Sumatra Selatan Terbaik (2014). Eric Stockholm & Perselingkuhan-Perselingkuhan yang Lain adalah bukunya yang kesembilan setelah Tanjung Luka (2015), Cinta Paling Setia (2015), Cinta Tak Pernah Tua (2014), Parigan (2014), Bersetia (2014), Jatuh dari Cinta (2011), Bulan Celurit Api (2010), dan Meminang Fatimah (2009).
Lebih dekat dengannya di Twitter @bennyarnas atau surat elektronik [email protected]
SKU | QN-58 |
ISBN | 978-602-1637-81-4 |
Berat | 180 Gram |
Dimensi (P/L/T) | 13 Cm / 21 Cm/ 0 Cm |
Halaman | 228 |
Jenis Cover | Soft Cover |