“Pengangkatan M. Natsir sebagai Pahlawan Nasional pada era Reformasi bisa menjadi bukti, kita masih siuman dalam menilai sejarah bangsa sendiri. NKRI hari ini adalah fakta keras dari hasil keringat politik Natsir melalui Mosi integrasinya yang sangat fundamental itu. Buku ini penting dibaca karena menguraikan fakta-fakta sejarah perjuangan Natsir yang sangat mencintai Indonesia.”
—Ahmad Syafii Maarif, Mantan Ketua PP Muhammadiyah dan Pendiri MAARIF Institute
Seabrek atribut bisa kita sematkan pada Mohammad Natsir—dia adalah cendekiawan, pejuang, politikus, ulama, sekaligus negarawan Indonesia. Dia sempat menjadi menteri kesayangan Bung Karno, menjabat Perdana Menteri, tapi lantas menjelma penentang yang gigih saat Bung Karno menggelar Demokrasi Terpimpin. Mosi Integral merupakan karya utamanya. Berkat mosi ini, Indonesia urung tercabik-cabik. Bagi umat Islam, Natsir adalah tokoh kebangkitan Islam yang fenomenanya setara dengan Sayyid Quthub dari Ikhwanul Muslimun dan Abul A’la Al-Maududi dari Jama’at Al-Islami. Lantaran itu, Natsir tak hanya pahlawan bagi Indonesia, Dunia Islam pun mengakuinya peran dan pemikirannya.
Natsir adalah patron berpolitik nan santun. Dia dan D.N. Aidit sering berdebat keras di DPR dan Konstituante. Tapi, di luar sidang, keduanya bersahabat. Natsir juga contoh pribadi yang bersahaja. Sebagai pejabat negara, dia tak hidup bermewah-mewah, bahkan dia mengenakan jas tambalan. Santun, bersahaja, tapi teguh pendirian—semuanya adalah teladan yang langka kini. Dengan membaca buku ini, semoga kita dapat mengikuti jejaknya yang amat berharga itu.
Anwar Ibrahim, mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia:
“Saya tidak melihat Pak Natsir sebagai demokrat yang terisolasi. Beliau berada di dalam tradisi Islam Indonesia yang inklusif, seperti Tjokroaminoto, H. Agus Salim, dan Wahid Hasyim.”
Adnan Buyung Nasution, advokat senior
“Pak Natsir adalah bintang di Konstituante. Pikirannya mendalam dan filosofis.”
Yusril Ihza Mahendra, Mantan Menteri Sekretaris Negara:
“Sepanjang saya mengenal Pak Natsir dan bergaul erat dengan beliau, kesan saya, Pak Natsir adalah pribadi yang amat jujur dan bersahaja.”
Drs. M. Dzulfikriddin, M.AG., lahir di Lahat, Sumatra Selatan pada 5 Juli 1968. Beliau menamatkan pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Muara Enim, Sumatra Selatan pada 1980. Kemudian, beliau melanjutkan sekolahnya ke Pondok Pesantren Pabelan, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah dari 1980 hingga 1981. Kulliyyatul Mu‘allimin Al-Islamiyah (KMI) Pondok Modern “Darussalam” Gontor, Ponorogo di Jawa Timur pun sempat menjadi tempat pilihan beliau untuk menuntut ilmu sejak 1981 sampai 1986. Selain itu, Dzulfikriddin pun pernah tercatat sebagai Sekretaris Majelis Tarjih Pengurus Daerah Muhammadiyah Kota Madya Palembang, periode 1995-2000. Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah pada Fakultas Syari‘ah IAIN Raden Fatah, Palembang, dari Januari 1999 hingga Juni 2001. Anggota Majelis Tarjih & Pengembangan Pemikiran Islam Pengurus Wilayah Muhammadiyah Provinsi Sumatra Selatan, periode 2001-2006. Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Pascasarjana Sumatra Selatan (IMPASS) di Jakarta, periode 2001-2002. Ketua Majelis Tarjih & Pengembangan Pemikiran Islam Pengurus Daerah Muhammadiyah Kota Palembang, periode 2002-2006. Ketua Umum Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM) Darussalam Gontor Ponorogo, Cabang Palembang Periode 2002-2006. Ketua Umum Lembaga Amil Zakat (LAZ) Al-Muzakky Palembang, Periode 2004-2006. Kemudian, Dzulfikriddin menjabat Sekretaris Majelis Tarjih & Tajdid PW Muhammadiyah Provinsi Sumatra Selatan, periode 2006-2011. Anggota Pengurus Badan Amil Zakat (BAZ) Provinsi Sumatra Selatan, periode 2006-2010. Pembantu Dekan I Fakultas Syari‘ah IAIN Raden Fatah, Palembang, periode 2006-2010. Ketua Umum Majelis Sinergi Kalam (MASIKA) ICMI Orwil Sumatra Selatan, periode 2007-2010
SKU | UM-278 |
ISBN | 978-979-433-578-9 |
Berat | 360 Gram |
Dimensi (P/L/T) | 16 Cm / 24 Cm/ 0 Cm |
Halaman | 248 |
Jenis Cover | Soft Cover |