Saya sedang mengajar di salah satu kamar di dalam ruang bawah tanah milik sebuah keluarga, ketika salah seorang wanita di rumah itu berteriak panik. Taliban datang! Saya meminta para murid bertiarap di lantai dan melarang mereka bersuara. Lampu pun dimatikan. Dalam kegelapan, terdengarkan suara langkah kaki di atas kepala kami.
Negara tragedi itu bernama Afghanistan.
Selama puluhan tahun, Afghanistan tertimpa bencana perang yang tak berkesudahan. Mereka bilang, begitu Taliban dienyahkan dari kekuasaan, keadilan akan kembali.
Akan tetapi, semua itu hanya dusta belaka, debu di mata dunia.
Diusir, diburu, bahkan diancam dibunuh. Itulah kenyataan yang saya hadapi sebagai anggota termuda dalam Parlemen Afghanistan.
Situasi tragis inilah yang ingin saya ubah bersama banyak orang lain?“menyuarakan mereka yang tak punya suara,†beribu-ribu dan berjuta-juta rakyat Afghanistan yang telah menanggung beban puluhan tahun perang serta ketidakadilan.
Walau nyawa jadi taruhannya.