Seperti burung-burung
dalam syair Attar
kudamba Simurghku
Tapi apa bekalku
selain tubuh lumpuh
Penuh luka arang keranjang ini?
Alkimia Cinta menorehkan syair-syair indah yang dapat membawa Anda terbang menuju makrifat ketuhanan. Kumpulan syair ini, dengan kelenturan bahasa yang dipakainya, sekaligus mampu meringkaskan gagasan-gagasan subtil dan mendalam tasawuf-filosofis ('irfan), menjadikannya semacam “pointers” bagi pemula di bidang ini.
Lebih dari itu, syair-syair makrifat ini dituturkan secara menawan dan menyentuh, dan dilengkapi syarah yang akan membantu pembaca menyelami maknanya. Maka, jadilah buku Alkimia Cinta ini gerbang untuk menikmati kedalaman panorama spiritualitas Islam, sekaligus semacam catatan-catatan pengingat tentang berbagai ajaran dasarnya.
Alkimia Cinta berisi puisi-puisi cinta bernapaskan ketuhanan. Setiap baitnya mengandung syair indah yang menyentil kita, mengingatkan kita pada kebesaran Sang Pencipta. Kumpulan puisi ini juga dilengkapi dengan syarah, yaitu penjelasan yang berpedoman pada surat di Al-quran dan hadist. Jadi, tak hanya kata-kata indah yang menyejukkan hati, tetapi juga dilengkapi dengan penjelasan yang baik untuk menambah wawasan akan tasawuf Islam. Ditulis oleh Haidar Bagir, seorang ahli tasawuf dan penggagas Gerakan Islam Cinta di Indonesia, sosok yang sudah sangat termashyur di bidangnya, Alkimia Cinta ini direkomendasikan dibaca oleh setiap insan.
PENGANTAR PENERBIT
Kali pertama memungut kata “alkimia” ke dalam kamus kata-kata saya adalah melalui perjumpaan singkat, tapi mendalam, bersama Paulo Coelho. Kata itu awalnya datang dalam wujud kata benda yang menunjukkan makna seseorang yang dapat mengubah esensi satu benda menjadi bentuk lain yang lebih superior. Inilah alkemis. Sebelum abad ke-17 dan divonis sebagai sebuah praktik sains semu,
dan melahirkan ilmu kimia sebagai anak sah ilmu pengetahuan yang rasional, empiris, dan ilmiah, alkimia sebagaimana astrologi juga diakui sebagai pengetahuan. Sebagian praktisi alkimia mengejar transmutasi logam menjadi emas, mencari unsur-unsur kimia baru seperti asam nitrat atau asam sulfur, atau ramuan eliksir yang dapat memberikan manusia umur panjang. Namun, tidak sedikit di antaranya yang mencari cara mendekatkan dirinya dengan kosmos. Relasi manusia dan kosmos ini memang tak terelakkan. Di bawah alam raya mahaluas kita selalu terperangah dengan keagungan semesta yang
dahsyat sekaligus misterius. Tak heran, karena alasan yang kurang lebih sama, Hermes Trismegistus telah lebih dulu membuat postulat “apa yang ada di langit sesungguhnya sama dengan yang ada di bumi, demikian juga sebaliknya”. Sejauh tertentu dalam ilmu Tasawuf, kita-manusia diletakkan berdampingan dengan kosmos sebagai semesta kecil. Dengan pendekatan ini, sebuah horison baru mendadak terpampang jelas, relasi semesta kecil-semesta besar, mikrokosmos-makrokosmos sebetulnya hendak menyampaikan bahwa sesuatu yang magis, menakjubkan, dan tak kalah dahsyat ada di dalam kita. Seluruh hidup kita yang secara skala sangat atomistik ini sesungguhnya berdenyut bersama dengan semesta raya yang diliputi ketakberhinggaan. Dalam perjalanannya manusia menempuh pelbagai transmutasi, digosok dan ditempa dalam cinta, melewati sejumlah stasiun untuk kemudian lepas dari cangkangnya menuju hidup panjang abadi bersama Sang Kekasih. Buku Alkimia Cinta yang ditulis dalam bentuk syair dan diberikan penjelasan dalam bentuk syarah ini mengajak pembaca membuka lapis demi lapis kegaiban dalam diri manusia. Layaknya alkemis, penulis secara sangat perlahan memanaskan, menempa, mengubah, dan menyiapkan kita untuk menyingkap rahasia dari balik tabir yang selama ini kita kira tidak pernah ada. Bersiaplah. Perjalanan ini akan segera kita mulai.
Yogyakarta, Agustus 2021
Salman Faridi
CEO Bentang Pustaka
Syair Sufi Atau Cuma Pointers Saja
Buku Alkimia Cinta ini tidak pernah saya rencanakan sama sekali sebelumnya. Pada Ramadan tahun 2020, tiba-tiba gagasan menulis syair tasawuf mengembang dalam benak saya. Sebelum lebih jauh, baiklah saya katakan bahwa apa yang saya sebut syair ini bisa jadi belum layak disebut sebagai syair. Mungkin lebih tepat prosa liris. Atau barangkali cuma prosa biasa, yang saya buat dengan gaya efisien,
lalu saya atur supaya tampak sebagai syair. Meski tidak menghambat—malah sebenarnya membantu—syair ini sengaja saya tulis dalam batasan jumlah karakter posting di Twitter. Dan, memang satu demi satu akhirnya benar-benar saya twitkan. Bagaimana saya berani menyebut tulisan-tulisan saya ini sebagai syair, padahal menulis cerpen pun saya tak becus? Paling banter saya bisa menulis esai. Itu pun tak terampil-terampil amat.
Kembali ke laptop!
Setelah mengecambahnya gagasan menulis syair itu, almost in no time satu demi satu syair mengalir darinya. Sama sekali tak saya duga akan lahir 60 tambah 1 syair pendek (yang 1 menjadi syair
pembuka buku). Ya, mengalir begitu saja. Saya katakan mengalir, bukan saja dalam hal pengungkapan dan penyusunan aspek bahasa puitisnya, melainkan juga dalam gagasan-gagasan yang diungkapkan darinya. Tak saya rencanakan juga pada awalnya bahwa, sebagai suatu kesatuan buku nantinya, ia akan menjadi bahan memperkenalkan gagasan-gagasan mistis-filosofis Islam. Karena saya awalnya hanya menuliskan concern pribadi saya tentang Tuhan, agama, dan kehidupan.
Sesuatu yang secara alami saja memancar dari temperamen reflektif, bahkan sentimental saya. Akan tetapi, mungkin karena concern saya yang menyebar ke mana-mana, ketika selesai saya pun
menyadari bahwa 61 syair pendek saya ini merangkum nyaris semua gagasan sufistik-filosofis—biasa disebut juga ‘irfan—yang paling fundamental, dan membentuk suatu pengantar yang lumayan komprehensif terhadap aliran pemikiran dan praktik Islam ini. Saya katakan alami, karena tampaknya concern saya kepada tasawuf dan ‘irfan ini sudah puluhan tahun mengecambah, hingga akhirnya memenuhi benak saya, lalu mencari jalan keluarnya sendiri. Maka setelah jadi, saya pun bergairah untuk melengkapinya dengan syarah seperlunya. Tujuannya adalah memperjelas makna syair-syair itu, khususnya bagi yang tak terbiasa mengunyah syair, atau tak cukup punya latar belakang dalam bidang tasawuf. Namun, seperti sudah saya singgung sebelumnya, belakangan saya memang ingin menjadikan buku ini sebagai pengantar kepada tasawuf/‘irfan. Nah, persoalannya, bukankah saya sudah menulis beberapa buku di arah ini? Ada Mengenal Tasawuf, ada juga Dari Allah Menuju Allah (Belajar Tasawuf dari Rumi), juga Semesta Cinta (Pengantar kepada Pemikiran Ibn ‘Arabi? Buku ini punya keunikan dan kelebihan sendiri.
Medium syair biasanya dipakai untuk mengungkapkan keindahan, di samping menyampaikan gagasan-gagasan yang subtil. Termasuk gagasan-gagasan filosofis dan mistis. Namun, ada kelebihan lain dari syair sebagai medium pengajaran. Kenyataannya, tak sedikit buku yang menyampaikan pengajaran ilmu-ilmu tertentu dalam bentuk syair, dalam khazanah kepustakaan Islam. Ada Alfiyah Ibnu Malik untuk mengajarkan tata bahasa Arab, hingga Syarh Manzhumah karya Sabzawari untuk mengajarkan filsafat mistis Hikmah Muta‘aliyah. Nah, buku ini tentu tak sepenting kedua judul yang saya sebutkan tadi, tapi
fungsinya sama. Setidaknya itu yang saya bayangkan. Memang syair punya kelebihan dalam hal sifatnya yang meringkaskan ide-ide yang luas dan lebih dalam. Dan, bisa dipastikan itu berkat kelenturan
gaya bahasa yang dipergunakan, menjadikannya mampu menampung lebih banyak dari wadahnya yang kasatmata. Dalam hal syair, itulah jumlah kalimat dan kata-katanya. Nah, sifat ringkas ini sekaligus bisa juga menjadi semacam catatan ringkasan atas keluasan dan kedalaman substansi yang hendak disampaikannya. Katakanlah semacam pointers. Bagi banyak orang, termasuk saya, pointers atau ringkasan amatlah penting dalam upaya memahami bahan-bahan pengajaran apa pun. Maka, syair saya ini bisa dibaca di awal, lalu disambung dengan membaca syarahnya, dan ditutup dengan membaca syairnya lagi. Diharapkan, ringkasan ini bisa berfungsi ganda, membuka jalan pemahaman di awal, dan menjadi pengikat pemahaman di akhir. Kalaupun suatu saat kita lupa maka dengan hanya membaca syair ini kita diharapkan bisa langsung mengingat bahan-bahan lebih luas dan dalam, yang sudah pernah kita pelajari sebelumnya. Dengan begini saya berharap buku sederhana ini bisa membantu pembaca, dalam memahami dasar-dasar tasawuf dan ‘irfan—yang, otherwise, akan lebih sulit dicerna. Sesedikit apa pun, saya berharap buku ini bisa membantu pembaca. Kalau bukan karena kandungan-intrinsiknya, setidaknya dari berkah yang dipancarkannya—jika Allah menghendaki.
Catatan akhir: Saya bukannya tidak tahu bahwa mensyarah puisi sendiri adalah sesuatu yang sama sekali tidak lazim, atau malah bisa menggelikan. Sebagian orang mungkin akan menganggap saya jahil tentang sifat syair atau puisi yang seharusnya dibiarkan terbuka bagi penafsiran subjektif pembacanya. Bagi semacam intersubjektivitas antara penulis dan pembacanya. Sebagian malah memberi otonomi penuh kepada pembaca untuk memberi tafsir apa pun, tanpa mesti terkait dengan maksud asli penulisnya. Tapi, seperti saya uraikan sebelumnya, memang di sini saya menggunakan syair sebagai alat untuk menyampaikan wacana, yang hampir-hampir sepenuhnya diskursif. Meski unsur-unsur imajinasi bukannya sama sekali absen dalam syair-syair ini, ruang bagi imajinasi sesungguhnya lebih terdapat dalam bahan-bahan syarah yang bersifat ‘irfani itu, ketimbang dalam syairnya sendiri. Mudah-mudahan para pembaca budiman mafhum.
Jakarta, Juli 2021
Haidar Bagir
SKU | BJ-019 |
ISBN | 978-602-291-848-6 |
Berat | 120 Gram |
Dimensi (P/L/T) | 13 Cm / 21 Cm/ 0 Cm |
Halaman | 144 |
Jenis Cover | Soft Cover |