Ada yang bilang bahwa setiap anak yang lahir pasti membawa piring nasinya sendiri. Meski mengecewakan, harus diakui bahwa itu hanya ada di generasi zaman dulu. Pada generasi sekarang, anak tidak lahir dengan membawa piring nasinya sendiri. Anak harus belajar untuk bisa memilikinya.
***
Han Hee Seok adalah seorang ayah yang sangat mencintai keluarganya. Kehidupan mereka memang sulit, sewa rumah yang menunggak, hidangan sederhana di atas meja makan, sepatu sekolah anak-anak yang kian lusuh, hingga SPP yang tak terbayarkan. Namun ia tak pernah menyerah pada keadaan dan memilih melakoni hidupnya dengan penuh tawa.
Tawanya seketika berganti dengan keresahan yang amat sangat ketika putri sulungnya, Geoul, menginjak bangku SMP. Rapornya penuh angka merah, jauh di bawah standar nilai teman-temannya yang lain. Geoul sering mengeluh bahwa ia satu-satunya siswa yang tidak mengikuti kursus. Padahal persaingan mendapat nilai terbaik benar-benar berat. Ibarat kaki yang terlambat melangkah, tidak mungkin lagi jadi “yang teratas”.
Meski sulit, Han Hee Seouk tak mau jadi ayah yang mewariskan kemiskinan. Ia bertekad menjadi “pelatih” yang memicu semangat Geoul. Mereka berlari bersama layaknya marathon, mempertahankan kecepatan dan berusaha fokus pada tujuan. Tapi kali ini, hubungan antara ayah dan anak pun ikut diuji. Hingga Han Hee Seouk kembali bertanya-tanya, sudahkah ia menjadi ayah yang baik bagi putrinya?