Pengantar Penerbit
Apa jadinya bila semar mendadak lenyap? tak ada kabar, tak ada sebab. Hilang begitu saja. Emha Ainun Nadjib sengaja menjadikan tokoh yang sering dipakai sebagai citra sosok yang punya kekuatan melebihi dewa tapi sekaligus bersahaja laiknya jelata ini sebagai kunci untuk masuk ke dalam proses permenungan. Peristiwa hilangnya Semar mengajak kita untuk merunut kembali hakikat rakyat, demokrasi, kekuasaan, politik, dan kesejahteraan.
“Arus Bawah” pernah terbit bersambung di harian Berita Buana pada 28 Januari sampai 31 Maret 1991 dan menjadi buku pada 1994. Novel-esai ini menarik untuk dibaca lagi meskipun situasi Indonesia mungkin sudah banyak berubah dibandingkan saat novel ini ditulis. Saat itu Indonesia berada pada masa Orde Baru yang punya kehati-hatian luar biasa pada setiap suara dari rakyat. Orang tidak bisa sembarangan beropini atau berpolitik tanpa waswas akan diciduk aparat. Media massa dibungkam. Aparat juga punya kekuasaan hampir tanpa kontrol sehingga bisa sewenang-wenang, utamanya kepada rakyat bawah.
Gerakan arus bawah telah menguat dan menciptakan sebuah gelombang besar bernama Reformasi pada 1998. Bangsa ini sekarang dalam situasi demokrasi yang lebih aspiratif, lebih terbuka dibandingkan zaman Orde Baru. Dengan munculnya internet dan media sosial, kata pemberangusan juga seperti sudah arkaik. Rakyat pun sudah bisa memilih langsung pemimpin negara ini. Namun, apakah bangsa ini benar-benar sudah demokratis? Benarkah rakyat sudah lebih bisa menyalurkan aspirasinya? Apakah penguasa sudah lebih adil kepada rakyat?
Sebagai sebuah proses, bangsa Indonesia belum selesai. Itu sebabnya kita perlu menengok lagi pertanyaan-pertanyaan yang lebih sering bernada gugatan dari para Punakawan dalam novel ini. Apakah kita benar-benar membutuhkan Semar sehingga perlu dicari? Atau, kita sedang berpura-pura membutuhkan Semar? Jangan-jangan Semar tak ke mana-mana ….
Bentang Pustaka
NUKILAN
Kiai Semar Menghilang, Yatim Piatu Kehidupan
Kiai semar lenyap dari Karang Kedempel.
Kiai Semar lenyap, tetapi jangan-jangan tak seorang pun dari penduduk Karang Kedempel yang merasa perlu mencarinya.
Orang yang kehilangan, setidaknya akan ingat bahwa ia kehilangan. Tetapi, kalau terlalu lama ia kehilangan sesuatu, akhirnya yang hilang tidak hanya sesuatu itu, tetapi juga rasa kehilangan itu sendiri.
Kiai Semar lenyap, alam berduka, tetapi orang tidak.
Langit menutupi mukanya dengan berlapis-lapis mendung, dan dari sela jari-jarinya meleleh gerimis, jatuh setetes demi setetes. Angin kaku. Pohon-pohon, dedaunan, menundukkan wajahnya dalam-dalam.
Akan tetapi, orang tidak. Penduduk Karang Kedempel bahkan tak bisa melihat air mukanya sendiri, yang sebenarnya memancarkan kesepian karena kehilangan itu. Mereka tetap bekerja seperti biasa, berkeringat, tertawa, tidur, dan mungkin tak merasa perlu untuk bangun seandainya pun ada gunung meletus atau seluruh kehidupan Karang Kedempel bubar mendadak.
Padahal, Gareng gugup tak alang kepalang!
Soalnya dahulu Semar-lah yang mengajaknya ke Karang Kedempel. Sebagai Prabu Mercu, raja jin taklukan Dewa Ismoyo yang juga bernama Kiai Semar, ia diajak turun dari jagat Jonggring Saloka ke alam bumi Karang Kedempel untuk menjadi anggota Punakawan. Lha, kok, sekarang Kiai Semar minggat begitu saja.
Terbangun mendadak dari tidurnya, Gareng melompat berlari ke rumah Petruk. Terengah-engah ia langsung menjatuhkan diri terduduk di lincak di depan rumah adiknya itu.
“Semar hilang! Semar hilang!” Suaranya terengah-engah. “Truk, Bapak hilang! Bapak hilang!”
Petruk tersenyum-senyum saja sambil meneruskan membelah kayu-kayu bakar dengan pecok-nya.
“Semar hilang! Semar hilang! Semar hilang!” Gareng mengulang lagi dengan nada lebih tinggi.
Akan tetapi, Petruk memang selalu lebih dingin melayani setiap persoalan. Tentu saja: kantongnya memang bolong adanya.
“Kenapa si tua bangka itu main kucing-kucingan?” sungut Gareng. Kemudian, ia meneruskan, “Dusun kita ini sedang amat membutuhkan kehadirannya. Dusun kita yang semakin rusak ini ...!!!”
Tiba-tiba kalimat Gareng berbelok ke kata-kata makian sebab Petruk meletakkan pecok-nya dan berlalu ke belakang rumah. “Semar hilang! Semar hilang! Semar hilang! Kamu tidak punya telinga! Kamu tidak punya perasaan! Kamu tidak punya keprihatinan!”
Akan tetapi, ketika sejenak kemudian ternyata Petruk muncul kembali dengan membawa sejumlah ubi godok, Gareng mengembalikan kata-katanya ke jalan semula. “Bapak itu orang yang sok jual mahal. Sudah tua bangka pakai ngambek segala. Hari depan dusun kita amat kangen pada keperigelan tangannya. Sekarang kita semua menjadi anak hilang. Seluruh penduduk dusun ini menjadi yatim piatu sejarah. Apakah ia merasa jengkel kepada Pak Lurah sehingga tak bersedia lagi menjadi Punakawan?”
Gareng mengambil ubi, menggigit, dan mengunyahnya sambil meneruskan ceramah, “Apakah ia menganggap Pak Lurah sudah sedemikian tak pantas untuk ditemani karena ia sedemikian tak tahu diri? Salahnya orang memanggil Bapak dengan Ki Lurah Semar. Pak Lurah yang asli jadi cemburu sehingga sebutan lurah diganti menjadi kades.”
Petruk mengambil ubi sekaligus tiga biji. Karena, ia tahu kakaknya akan semakin meluncurkan beratus-ratus kalimat yang tinggi-tinggi untuk menutupi perhatian Petruk terhadap jumlah ubi yang dimakannya.
Dan, Gareng, sambil meneruskan pidato tunggalnya, mengambil seluruh gumpalan ubi yang tersisa. “Apakah Semar memuntahkan kembali bumi dari perutnya? Apakah ia telah menyorong balik sang waktu bagi dirinya sendiri, kembali menyelusup ke rahim Dewi Wirandi, ibundanya, serta pupus di cahaya mata Sang Hyang Mahatunggal, ayahandanya, yang memang telah amat lama dirindukannya?”
Petruk bertepuk tangan panjang sambil bersorak riuh sendirian, “Hidup Gareng! Hidup Gareng!”
Kakaknya memang dikenal sebagai filsuf desa yang cukup mumpuni. Ia tidak hanya piawai dalam berpikir dan merenungi persoalan-persoalan hidup, tetapi juga boleh ditandingkan dalam hal mengemukakan hasil perenungannya. Jangankan masalah-masalah kemasyarakatan, bunyi katak pun direnungkan oleh Gareng. Gareng sanggup menemukan hubungan antara lugut atau rawe dengan korupsi pembukuan desa, antara cara beradu dahi para kambing jantan dengan kepalsuan hati kebudayaan manusia, atau antara berkurangnya jumlah burung bangau dengan sisi Kitab Suci Purba atau garis edar galaksi-galaksi alam semesta!
Apalagi, peristiwa hilangnya Semar!
Petruk khawatir rasa kehilangan pada diri Gareng akan mendorong pemikirannya terlalu maju sehingga gila. Pasti kakaknya yang berhidung raksasa—sehingga memiliki daya penciuman puluhan kali lipat dari manusia normal—itu akan sibuk tiap saat mencari tempat dan manusia untuk mendengarkan ungkapan dan renungan-renungannya. Petruk merasa waswas bahwa pada hari-hari mendatang ini ia akan sedemikian disibukkan oleh kakaknya yang butuh pendengar. Karena kemudian yang menjadi penting adalah ungkapan-ungkapan Gareng itu sendiri, bukan lagi arti hilangnya Kiai Semar.
KUTIPAN
"Tapi, cinta dan penghormatan harus bisa dibedakan dengan perbudakan, kekuasaan, atau ketaatan buta. Manusia, apa pun posisinya, harus belajar bergaul dalam kesejajaran harkat, dalam keadilan dan keseimbangan nilai di antara mereka." (Hal. 22)
Setiap kekuasaan itu cenderung menumpas dirinya sendiri. Rakyat itu sendiri tak bergantung kepada kekuasaan. Hanya kekuasaan yang sangat bergantung kepada rakyat. Seperti kesementaraan bergantung kepada keabadian. (Hal. 111)
ENDORSEMENT
Zaman terus berjalan, melangkah, dan berubah. Novel-esai berjudul “Arus Bawah” ini dulu, 20 tahun silam, telah terbit menjumpai pembaca. Menggedor kesadaran orang-orang, yang hidup tapi tak selalu berdaya dalam kepungan kekuasaan Orde Baru. Menyusupkan dan menyebarkan virus budaya carangan, di atas berlangsungnya mainstream kekuasaan dan politik kala itu, yang baku, pakem, dan hendak dilanggengkan.
Helmi Mustofa, dikutip dari www.caknun.com