Benda, jasad, dan segala yang kasatmata pun, tak sanggup aku jangkau biar hanya seserpih. Iqra`-ku buntu.
Manusia menyepakati satuan-satuan. Namun, ilmu dan pengetahuan tak akan pernah menjangkau ujung ruang dan waktu yang pemahamannya manusia rekrut melalui satuan-satuan. Manusia dikurung di dalam penjara bernama cakrawala, angkasa, tak terhingga. Manusia memprasangkai tata surya, galaksi, misteri alam semesta. Mereka kemudian diganggu oleh probabilitas bahwa jumlah alam semesta—yang satu saja pun tak terjangkau—mustahil hanya satu. Bagaimana jika ternyata tak terhingga pula?
Betapa kerdilnya aku. Setiap Iqra` mencerminkan kekerdilanku.
***
Melalui serial “Daur” ini, secara khusus Cak Nun ingin mengajak anak-cucunya dan kita semua untuk menyelami keluasaan dan kedalaman Al-Quran dalam bingkai kedekatan batin manusia kepada firman Allah yang luasnya tak terkira.
EMHA AINUN NADJIB, lahir pada 27 Mei 1953 di Jombang, Jawa Timur. Pernah meguru di Pondok Pesantren Gontor, dan “singgah” di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Emha Ainun Nadjib merupakan cendekiawan sekaligus budayawan yang piawai dalam menggagas dan menoreh katakata. Tulisan-tulisannya, baik esai, kolom, cerpen, dan puisi-puisinya banyak menghiasi pelbagai media cetak terkemuka.
Pada 1980-an aktif mengikuti kegiatan kesenian internasional, seperti Lokakarya Teater di Filipina (1980); International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, AS (1984); Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984); serta Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman Barat (1985).
Cukup banyak dari karya-karyanya, baik sajak maupun esai, yang telah dibukukan. Di antara sajak yang telah terbit, antara lain “M” Frustasi (1976), Sajak Sepanjang Jalan (1978), Syair Lautan Jilbab (1989), Seribu Masjid Satu Jumlahnya (1990), dan Cahaya Maha Cahaya (1991).
Adapun kumpulan esainya yang telah terbit, antara lain Arus Bawah (2014), Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (2015 dan 2018), Gelandangan di Kampung Sendiri (2015 dan 2018), Sedang Tuhan pun Cemburu (2015 dan 2018), 99 untuk Tuhanku (2015), Istriku Seribu (2015), Kagum kepada
Orang Indonesia (2015), Titik Nadir Demokrasi (2016), Tidak. Jibril Tidak Pensiun! (2016), Daur I: Anak Asuh Bernama Indonesia (2017), Daur II: Iblis Tidak Butuh Pengikut (2017), Daur III: Mencari Buah Simalakama (2017), Daur IV: Kapal Nuh Abad 21 (2017), Kiai Hologram (2018), dan Pemimpin yang Tuhan (2018).
“Masyarakat dunia yang menemukan Tuhan di suatu tempat dan tidak menyadari Tuhan di tempat yang lain; yang rajin bertamu pada Tuhan di rumah ibadah kemudian Tuhan abstain dari dirinya dalam urusan-urusan lain; yang menomorsatukan Tuhan dalam skala prioritas peribadatan, tetapi menomorduakan, menomortigakan, bahkan meniadakan Tuhan di hampir setiap urusan keduniaan.”
“Allah berhak menanamkan ilham atau hidayah kepada seseorang yang tidak suci jasad, bahkan rohaninya. Bukankah hidayah justru perkenan Allah kepada manusia kotor untuk disucikan? Allah memegang hak absolut atas apa saja. Ia Mahasuci dari bantahan manusia.”
“Kehati-hatian adalah kewaspadaan. Kewaspadaan adalah mengetahui batas di antara kurang dan lebih. Kehati-hatian adalah regulasi; kemampuan untuk menakar dan mengindentifikasi ketepatan antara keluasan dan kesempitan, antara kemerdekaan dan keterbatasan. Salah satu alat kehati-hatian adalah regulasi yang dikerjakan oleh logika. Logika merupakan tulang punggung dari fungsi akal. Kalau syarat penafsiran yang juga hasil anjuran dari logika justru mencurigai dan menegasikan logika, itulah pertanyaan dan keluhan utamaku pada Allah dan Baginda Rasulullah.”
KATA PENGANTAR
Izinkan saya mengawali kata pengantar ini dengan menyebut sebuah forum. Namanya: Pengajian Padhangmbulan. Forum ini telah dimulakan pada awal 1990-an dan diselenggarakan di desa Mentoro, Sumobito, Jombang. Dua orang pengampu duduk di hadapan para jamaah. Mereka tak lain adalah sepasang kakak beradik, Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) dan Cak Fuad (Ahmad Fuad Effendy). Hingga saat ini, pengajian bulanan itu terus berlangsung dan memasuki tahun ke 26. Selain itu, pengajian ini telah mengilhami banyak “anak-anak” pengajian yang sama di pelbagai tempat.
Sebenarnya Padhangmbulan bisa juga disebut sebagai pengajian tafsir Al Qur'an karena memang core dan relnya adalah mendalami ayat-ayat Al Qur'an. Cak Fuad dimohonkan menguraikan pembacaan tekstual atas ayat-ayat al-Qur'an. Tekstual di sini tidak dalam arti menafsirkan secara literal dan skripturalis kaku sempit, melainkan membaca ayat untuk dipaparkan khasanah tafsir dari berbagai ulama atau kitab-kitab tafsir. Dari situ sebuah pemahaman coba didapatkan.
Di sisi lain, Cak Nun bertugas mengampu tafsir kontekstual. Beliau mencoba membaca realitas sosial, politik, budaya, dan kehidupan sehari-hari dengan menggunakan pemahaman Al Qur'an yang telah dipaparkan Cak Fuad terlebih dahulu. Dengan kombinasi dua tafsir ini, tekstual dan kontekstual, Padhangmbulan membangun pondasinya. Dan segala hal yang berlangsung di Padhangmbulan—diskusi, keakraban, pemberdayaan ekonomi, kerja sama, pengembangan seni dan budaya, dan macam-macam kegiatan lainnya—tetap kokoh ditopang oleh pondasi tersebut.
Sampai saat ini, tidak terlalu sulit untuk menyadari dan merasakan bahwa pada semua forum yang Cak Nun ampu dan inisiasi—baik yang regular di sejumlah kota maupun Sinau Bareng atas undangan berbagai pihak dan segmen masyarakat—Al Qur'an dan Al hadits senantiasa merupakan foundational text. Pada Sinau Bareng di Universitas Tidar, Magelang belum lama ini, Wakil Rektor turut mengatakan bahwa di dalam Sinau Bareng dan Maiyah segala sesuatu dikembalikan kepada Al Qur'an dan Sunnah.
Jauh sebelum pengajian Padhangmbulan lahir, Cak Nun adalah sosok penulis sangat produktif yang menurut pengamatan saya, memiliki kecenderungan pemikiran yang sangat kuat terhadap nafas Al Qur'an. Hal tersebut terlihat dari cukup banyak digunakannya terminologi, istilah, atau ungkapan Al Qur'an dalam tulisan-tulisan beliau.
Sejumlah ayat tertentu bahkan dipakai secara langsung sebagai pendekatan dalam membangun konsepsi atau pemahaman. Misalnya, melalui dua ayat terakhir (22—24) Surat Al-Hasyr, Cak Nun menemukan dan mengartikulasikan paradigma kepemimpinan, termasuk memotret bagaimana seyogyanya kepemimpinan dunia dibangun.
Pada waktu itu, lewat esai-esainya yang hadir di mana-mana, para pembaca dapat melihat betapa artikulatifnya Cak Nun dalam memetik pesan Al Qur'an untuk membahas dan memberikan perspektif suatu persoalan. Ini bukan saja khas, tapi juga menunjukkan sebuah kemampuan, karena tak semua cendekiawan piawai dan ciamik dalam menghadirkan percik-percikan ayat di dalam media mainstream yang, katakanlah, sekuler. Kemampuan dan terutama kekhasan yang saya maksud di atas, bagi saya pribadi, hanya bisa lahir dari (sekaligus menggambarkan) suatu kedekatan yang sangat intens pada diri Cak Nun terhadap Al Qur'an.
Kedekatan itu barangkali terbentuk karena latar belakang keluarga beliau yang memang hidup dalam atmosfer keislaman sangat kuat. Kedua orang tua Cak Nun adalah aktivis di desanya yang getol menyelenggarakan berbagai kegiatan untuk warga sekitar. Suatu cita keislaman pastilah bersemayam kuat di dalam diri beliau-beliau ini. Kultur masa kecil Cak Nun yang sering menghabiskan waktu di langgar memupuk kedekatannya pada Al Qur'an, meski ini juga lazim dialami orang-orang Islam di desa atau kampung pada masa itu. Selain itu, Cak Nun sendiri juga sempat menempa diri beberapa tahun belajar di Pondok Pesantren Gontor. Namun, latar belakang kultural itu, pada pendapat subjektif saya, barulah permulaaan. Kedekatan itu kian menguat karena beliau semakin terpesona dan kagum pada kedalaman kandungan Al Qur'an. Dari situlah interaksi personalnya kepada Al Qur'an berjalan terus. Di sini, saya melihat bahwa Cak Nun adalah satu contoh pribadi yang karib dengan Al Qur'an.
Hingga kini, kekariban itu terus berjalan. Dalam forum-forum Maiyahan dan Sinau Bareng, kita dengan mudah menemukan ekspresi kekariban tersebut. Saya ambil sebuah contoh. Pada kesempatan Majelis Mocopat Syafaat beberapa bulan lalu, seorang praktisi Yoga dari Australia bertanya tentang pandangan Islam mengenai lingkungan dan kehidupan.
Dengan tak terduga dan tangkas, Cak Nun mengatakan (dan aslinya sebelum ditanya pun sudah bermaksud akan mengutarakannya) bahwa “Persis pada titik pertanyaan Anda itulah tujuan manusia diciptakan oleh Allah.” Lalu, Cak Nun mengutip ayat yang mengisahkan protes malaikat kepada Allah saat hendak menciptakan Adam sebagai khalifatullah. Malaikat mempertanyakan mengapa Allah menciptakan manusia yang suka menumpahkan darah dan menciptakan kerusakan di muka bumi. Tetapi, Allah dengan tegas mengatakan, “Aku lebih mengerti.” Di mata Cak Nun ayat ini dapat menginformasikan kepada kita bahwa sesungguhnya manusia itu diciptakan supaya mereka punya visi menjaga kehidupan dengan sebaik-baiknya.
Daur V, yang dihadirkan oleh Penerbit Bentang Pustaka ini, pada mulanya adalah Daur putaran kedua yang saban hari hadir di caknun.com. Pada putaran kedua ini, secara khusus Cak Nun ingin memanfaatkan halaman-halaman itu untuk mengajak anak-cucunya, para Jamaah, dan tentu para pembaca sekalian untuk menyelami keluasaan dan kedalaman Al Qur'an dalam bingkai kedekatan batin manusia kepada firman Allah yang luasnya tak terkira itu. Cak Nun mengajak kita meng-iqra’, dengan terlebih dahulu meresapi betapa kata “iqra’” sendiri pun memiliki makna yang luar biasa luas.
Sebagai sebuah proses pendalaman dan tadabbur kepada Al Qur'an, hal-hal disajikan Cak Nun dalam Markesot Belajar Ngaji ini amat memperkaya wawasan kita mengenai upaya memahami al-Qur'an, yang tak semata-mata terwakili oleh metode-metode yang secara akademis disebut sebagai Ulumul Qur'an. Buku ini akan memperkaya, memperindah, dan menunjukkan betapa banyak celah tadabbur yang belum kita masuki.
Kita bersyukur bahwa dengan terbitnya buku ini, Cak Nun tak bosan-bosan mengingatkan kita untuk tidak terjebak pada kesempitan pengetahuan kita sendiri, sebab pengetahuan Allah begitu luas dan kaya, dan kita tak boleh berhenti mencari dan memetiknya. Semua ini demi agar kita mampu membangun hidup dengan visi yang luas dan jauh ke depan.
Selamat membaca.
Helmi Mustofa
Progres
(Sekretariat Cak Nun dan Kiai Kanjeng)
SKU | BS-530 |
ISBN | 978-602-291-516-4 |
Berat | 300 Gram |
Dimensi (P/L/T) | 13 Cm / 21 Cm/ 0 Cm |
Halaman | 252 |
Jenis Cover | Soft Cover |