Buku SIAPA SEBENARNYA MARKESOT? - Emha Ainun… | Mizanstore
Ketersediaan : Tersedia

SIAPA SEBENARNYA MARKESOT?

    Deskripsi Singkat

    Setelah beberapa kali menyelenggarakan perkumpulan pengajian yang membahas mengenai tafsir Al-Quran, Markesot mulai dibicarakan orang-orang. Mereka bertanya-tanya mengenai latar belakang ilmu agama yang dimiliki Markesot. Apalagi selama ini, dia tidak dikenal sebagai ulama, ustaz, maupun santri lulusan madrasah sekalipun. Sementara itu, Markesot merasa berkecil hati. Ia bertanya-tanya apakah manusia biasa… Baca Selengkapnya...

    Rp 69.000 Rp 35.000
    -
    +

    Setelah beberapa kali menyelenggarakan perkumpulan pengajian yang membahas mengenai tafsir Al-Quran, Markesot mulai dibicarakan orang-orang. Mereka bertanya-tanya mengenai latar belakang ilmu agama yang dimiliki Markesot. Apalagi selama ini, dia tidak dikenal sebagai ulama, ustaz, maupun santri lulusan madrasah sekalipun.

    Sementara itu, Markesot merasa berkecil hati. Ia bertanya-tanya apakah manusia biasa seperti dirinya memang tidak diperbolehkan memesrai Al-Quran dengan cara yang demikian? Mana mungkin seseorang hanya membaca Al-Quran dengan bibirnya, tanpa hati dan pikirannya ikut terlibat? Sengaja atau tak sengaja, meniati atau tidak, hati langsung bergetar dan akal langsung bekerja, pikirnya.

    ***

    Melalui kisah Markesot, Emha Ainun Nadjib “menggandeng” kita untuk memiliki jati diri seorang pembelajar: manusia yang terus mencari kebenaran, tanpa pernah sekalipun merasa paling benar terhadap penafsirannya sendiri.


    “Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut Allah padanya, tergetar hatinya, dan jika dilantunkan ayat-ayat-Nya maka bertambahlah imannya.” (QS Al-Anfal: 2)

    ... ini bukan soal Islam atau apa pun papan nama yang biasa disematkan orang yang mengurung diri dalam kotak identitas itu. Ini soal pembelajaran dan latihan cara berjalan, meneliti ketepatan jalan. Kita pastikan arah perjalanan hidup kita adalah fi sabilillah. Kemudian, kita utamakan meletakkan kendaraan jasad kita di syariatul-Ilah. Lantas, pastikan menemukan getaran hariqatu-hubbillah. Dan, akhirnya waspada terhadap presisi as-shirat al-mustaqim ilallah.


     

    Tentang Emha Ainun Nadjib

    Emha Ainun Nadjib

    EMHA AINUN NADJIB, lahir pada 27 Mei 1953 di Jombang, Jawa Timur. Pernah meguru di Pondok Pesantren Gontor, dan “singgah” di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Emha Ainun Nadjib merupakan cendekiawan sekaligus budayawan yang piawai dalam menggagas dan menoreh katakata. Tulisan-tulisannya, baik esai, kolom, cerpen, dan puisi-puisinya banyak menghiasi pelbagai media cetak terkemuka. Pada 1980-an aktif mengikuti kegiatan kesenian internasional, seperti Lokakarya Teater di Filipina (1980); International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, AS (1984); Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984); serta Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman Barat (1985). Cukup banyak dari karya-karyanya, baik sajak maupun esai, yang telah dibukukan. Di antara sajak yang telah terbit, antara lain “M” Frustasi (1976), Sajak Sepanjang Jalan (1978), Syair Lautan Jilbab (1989), Seribu Masjid Satu Jumlahnya (1990), dan Cahaya Maha Cahaya (1991). Adapun kumpulan esainya yang telah diterbitkan oleh Bentang Pustaka, antara lain Arus Bawah (2014), Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (2015 dan 2018), Gelandangan di Kampung Sendiri (2015 dan 2018), Sedang Tuhan pun Cemburu (2015 dan 2018), 99 untuk Tuhanku (2015), Istriku Seribu (2015), Kagum kepada Orang Indonesia (2015), Orang Maiyah (2015) Titik Nadir Demokrasi (2016), Tidak. Jibril Tidak Pensiun! (2016), Daur I: Anak Asuh Bernama Indonesia (2017), Daur II: Iblis Tidak Butuh Pengikut (2017), Daur III: Mencari Buah Simalakama (2017), Daur IV: Kapal Nuh Abad 21 (2017), Kiai Hologram (2018), Pemimpin yang Tuhan (2018), Markesot Belajar Ngaji (2019), Siapa Sebenarnya Markesot? (2019), Sinau Bareng Markesot (2019), Lockdown 309 Tahun (2020), dan Apa yang Benar Bukan Siapa yang Benar (2020). 




    Keunggulan Buku

    • Selain membahas mengenai tafsir ayat Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari, buku ini menjadi begitu istimewa karena menampilkan sosok Markesot. https://bentangpustaka.com/siapa-sebenarnya-markesot/
    • Seri Daur merupakan catatan harian Emha Ainun Nadjib yang ditulis sepanjang tahun 2017—2018. Tulisan-tulisan dalam buku ini bertujuan untuk mengajak para pembaca  melakukan dekonstruksi pemahaman nilai, pola komunikasi, metode perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi masalah masyarakat.
    • Berbeda dengan Serial Daur sebelumnya, dalam buku ini Cak Nun lebih banyak membahas mengenai persoalan keseharian manusia dalam membaca sekitarnya. Cak Nun menunjukkan contoh-contoh nyata bagaimana cara menjadikan Al Qur’an sebagai sebenar-benarnya petunjuk.

     

     


    PENGANTAR

    Izinkan saya mengawali kata pengantar ini dengan menyebut sebuah forum. Namanya: Pengajian Padhangmbulan. Forum ini telah dimulakan pada awal 1990-an dan diselenggarakan di desa Mentoro, Sumobito, Jombang. Dua orang pengampu duduk di hadapan para jamaah. Mereka tak lain adalah sepasang kakak beradik, Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) dan Cak Fuad (Ahmad Fuad Effendy). Hingga saat ini, pengajian bulanan itu terus berlangsung dan memasuki tahun ke 26. Selain itu, pengajian ini telah mengilhami banyak “anak-anak” pengajian yang sama di pelbagai tempat.

    Sebenarnya Padhangmbulan bisa juga disebut sebagai pengajian tafsir Al Qur'an karena memang core dan relnya adalah mendalami ayat-ayat Al Qur'an. Cak Fuad dimohonkan menguraikan pembacaan tekstual atas ayat-ayat al-Qur'an. Tekstual di sini tidak dalam arti menafsirkan secara literal dan skripturalis kaku sempit, melainkan membaca ayat untuk dipaparkan khasanah tafsir dari berbagai ulama atau kitab-kitab tafsir. Dari situ sebuah pemahaman coba didapatkan.

    Di sisi lain, Cak Nun bertugas mengampu tafsir kontekstual. Beliau mencoba membaca realitas sosial, politik, budaya, dan kehidupan sehari-hari dengan menggunakan pemahaman Al Qur'an yang telah dipaparkan Cak Fuad terlebih dahulu. Dengan kombinasi dua tafsir ini, tekstual dan kontekstual, Padhangmbulan membangun pondasinya. Dan segala hal yang berlangsung di Padhangmbulan—diskusi, keakraban, pemberdayaan ekonomi, kerja sama, pengembangan seni dan budaya, dan macam-macam kegiatan lainnya—tetap kokoh ditopang oleh pondasi tersebut.

    Sampai saat ini, tidak terlalu sulit untuk menyadari dan merasakan bahwa pada semua forum yang Cak Nun ampu dan inisiasi—baik yang regular di sejumlah kota maupun Sinau Bareng atas undangan berbagai pihak dan segmen masyarakat—Al Qur'an dan Al hadits senantiasa merupakan foundational text. Pada Sinau Bareng di Universitas Tidar, Magelang belum lama ini, Wakil Rektor turut mengatakan bahwa di dalam Sinau Bareng dan Maiyah segala sesuatu dikembalikan kepada Al Qur'an dan Sunnah.

    Jauh sebelum pengajian Padhangmbulan lahir, Cak Nun adalah sosok penulis sangat produktif yang menurut pengamatan saya, memiliki kecenderungan pemikiran yang sangat kuat terhadap nafas Al Qur'an. Hal tersebut terlihat dari cukup banyak digunakannya terminologi, istilah, atau ungkapan Al Qur'an dalam tulisan-tulisan beliau.

    Sejumlah ayat tertentu bahkan dipakai secara langsung sebagai pendekatan dalam membangun konsepsi atau pemahaman. Misalnya, melalui dua ayat terakhir (22—24) Surat Al-Hasyr, Cak Nun menemukan dan mengartikulasikan paradigma kepemimpinan, termasuk memotret bagaimana seyogyanya kepemimpinan dunia dibangun.

    Pada waktu itu, lewat esai-esainya yang hadir di mana-mana, para pembaca dapat melihat betapa artikulatifnya Cak Nun dalam memetik pesan Al Qur'an untuk membahas dan memberikan perspektif suatu persoalan. Ini bukan saja khas, tapi juga menunjukkan sebuah kemampuan, karena tak semua cendekiawan piawai dan ciamik dalam menghadirkan percik-percikan ayat di dalam media mainstream yang, katakanlah, sekuler. Kemampuan dan terutama kekhasan yang saya maksud di atas, bagi saya pribadi, hanya bisa lahir dari (sekaligus menggambarkan) suatu kedekatan yang sangat intens pada diri Cak Nun terhadap Al Qur'an.

    Kedekatan itu barangkali terbentuk karena latar belakang keluarga beliau yang memang hidup dalam atmosfer keislaman sangat kuat. Kedua orang tua Cak Nun adalah aktivis di desanya yang getol menyelenggarakan berbagai kegiatan untuk warga sekitar. Suatu cita keislaman pastilah bersemayam kuat di dalam diri beliau-beliau ini. Kultur masa kecil Cak Nun yang sering menghabiskan waktu di langgar memupuk kedekatannya pada Al Qur'an, meski ini juga lazim dialami orang-orang Islam di desa atau kampung pada masa itu. Selain itu, Cak Nun sendiri juga sempat menempa diri beberapa tahun belajar di Pondok Pesantren Gontor. Namun, latar belakang kultural itu, pada pendapat subjektif saya, barulah permulaaan. Kedekatan itu kian menguat karena beliau semakin terpesona dan kagum pada kedalaman kandungan Al Qur'an. Dari situlah interaksi personalnya kepada Al Qur'an berjalan terus. Di sini, saya melihat bahwa Cak Nun adalah satu contoh pribadi yang karib dengan Al Qur'an.

    Hingga kini, kekariban itu terus berjalan. Dalam forum-forum Maiyahan dan Sinau Bareng, kita dengan mudah menemukan ekspresi kekariban tersebut.  Saya ambil sebuah contoh. Pada kesempatan Majelis Mocopat Syafaat beberapa bulan lalu, seorang praktisi Yoga dari Australia bertanya tentang pandangan Islam mengenai lingkungan dan kehidupan.

    Dengan tak terduga dan tangkas, Cak Nun mengatakan (dan aslinya sebelum ditanya pun sudah bermaksud akan mengutarakannya) bahwa “Persis pada titik pertanyaan Anda itulah tujuan manusia diciptakan oleh Allah.” Lalu, Cak Nun mengutip ayat yang mengisahkan protes malaikat kepada Allah saat hendak menciptakan Adam sebagai khalifatullah. Malaikat mempertanyakan mengapa Allah menciptakan manusia yang suka menumpahkan darah dan menciptakan kerusakan di muka bumi. Tetapi, Allah dengan tegas mengatakan, “Aku lebih mengerti.” Di mata Cak Nun ayat ini dapat menginformasikan kepada kita bahwa sesungguhnya manusia itu diciptakan supaya mereka punya visi menjaga kehidupan dengan sebaik-baiknya.
    Daur V, yang dihadirkan oleh Penerbit Bentang Pustaka ini, pada mulanya adalah Daur putaran kedua yang saban hari hadir di caknun.com. Pada putaran kedua ini, secara khusus Cak Nun ingin memanfaatkan halaman-halaman itu untuk mengajak anak-cucunya, para Jamaah, dan tentu para pembaca sekalian untuk menyelami keluasaan dan kedalaman Al Qur'an dalam bingkai kedekatan batin manusia kepada firman Allah yang luasnya tak terkira itu. Cak Nun mengajak kita  meng-iqra’, dengan terlebih dahulu meresapi betapa kata “iqra’” sendiri pun memiliki makna yang luar biasa luas.
    Sebagai sebuah proses pendalaman dan tadabbur kepada Al Qur'an, hal-hal disajikan Cak Nun dalam Markesot Belajar Ngaji ini amat memperkaya wawasan kita mengenai upaya memahami al-Qur'an, yang tak semata-mata terwakili oleh metode-metode yang secara akademis disebut sebagai Ulumul Qur'an. Buku ini akan  memperkaya, memperindah, dan menunjukkan betapa banyak celah tadabbur yang belum kita masuki.

    Kita bersyukur bahwa dengan terbitnya buku ini, Cak Nun tak bosan-bosan mengingatkan kita untuk tidak terjebak pada kesempitan pengetahuan kita sendiri, sebab pengetahuan Allah begitu luas dan kaya, dan kita tak boleh berhenti mencari dan memetiknya. Semua ini demi agar kita mampu membangun hidup dengan visi yang luas dan jauh ke depan.
    Selamat membaca.


    Helmi Mustofa
    Progres
    (Sekretariat Cak Nun dan Kiai Kanjeng)





     

     

     

    Resensi

    Membaur ke dalam Daur
    Mahmud Budi

    13 Okt 2017  •  Dibaca normal 2 menit

    Bagi generasi Maiyah yang hidup di era digital, mendapat kesempatan yang begitu spesial. Pasalnya, tulisan-tulisan gress Mbah Nun, bisa dinikmati kembali di website caknun.com. Rubrik ?Daur? misalnya ?yang ditulis sejak tahun 2016 rutin setiap hari bahkan sudah dibukukan, adalah tulisan esai berisi topik beragam, dan sarat nilai mendalam.

    Hanya saja, tulisan-tulisan dalam Daur tidak memberikan nilai secara instan. Contohnya Mbah Nun mengingatkan:

    ?…engkau kukasih pelok, bukan mangga.? Dengan demikian bagi setiap pembaca, jika ingin menggali subtansinya, benar-benar harus membaur ke dalam daur, agar kedalamannya bisa terukur.” –Daur 17 – Darurat Aurat (2)

    Bagaikan memahami Al-Qur`an, jika hendak mengetahui tentang sapi, maka tak harus dicari di Surah Al-Baqarah; memahami gajah tak harus mendalami Surah Al-Fiil; mengetahui tentang lebah, tak mesti menelaah Surah An-Nahl; demikian juga ketika orang hendak meneliti tentang semut, tak harus mentadabburi Surah An-Naml. Demikian seterusnya. Tulisan dalam bentuk seperti ini memang tidak langsung bisa dinikmati, tapi tidak membuat pikiran mati.

    Meski tidak bisa dipahami secara instan, bukan berarti makna yang ditulis Mbah Nun dalam Daur membuat para pembaca bosan. Dengan gaya penulisan yang cerdas, mengalir, lincah, deskriptif, hidup, serta diperkaya dengan diksi-diksi memikat dan tokoh-tokoh imaginer seperti: Markesot, Jitul, Saimon, dan lain sebagainya, membuat Daur semakin dirindukan dan membuat penasaran. ?Mengerti atau tidak, kalau sehari tidak membaca Daur kok rasanya tidak enak,? begitu kira-kira yang berkesan setelah membaca Daur.

    Kadang pembaca diajak berpikir mengenai silang-sengkarutnya negara dengan segenap masalahnya, di waktu lain diajak mengenai pembahasan-pembahasan yang terkesan remeh dalam fenomena keseharian, tapi sebenanya fundamental dalam kehidupan sehari-hari. Uniknya, semua topik yang ditulis, baik dari yang paling susah maupun yang mudah, semua pada dasarnya berjalin-kelindan, berhubungan, bagai suatu lingkaran.

    Dengan pola demikian, Daur memiliki keistimewaan tersendiri bagi pembaca. Sebagai bacaan, ia bukan sekadar menarik perhatian, tapi juga mencerahkan; tidak menggurui, tapi mengajak pembaca berpikir mandiri. Bukan sekadar berwacana, tapi mengajak mencari solusi bersama. Tidak membuat harapan seseorang redup, tapi semakin hidup. Tidak membuat orang berpikir statis, tapi dinamis. Tidak membuat jauh dari kebenaran, tapi justru bersama-sama mencari kebenaran sejati Tuhan, dan lain sebagainya.

    Sepanjang membaca Daur I dan II (yang penulisannya masih berjalan hingga saat ini), memang subtansi dan keistimewaan itu tetap tersaji. Namun, bagi yang rajin membaca Daur hingga sekarang, Daur II memiliki pola yang lebih unik. Bila di Daur I, Cak Nun amat jarang –?kalau tidak boleh dikatakan sama sekali tidak– mengutip ayat dan hadits di setiap tulisannya. Maka di Daur II,  selalu disisipi dengan ayat Al-Qur`an atau Hadits. Bukan berarti Daur I subtansinya terlepas dari cara pandang nilai Al-Qur`an dan Hadits, tapi Daur II, membuat pembaca ?seakan lebih diajak memahami setiap permasalahan dilandasi dengan metode tadabbur yang berlandaskan Al-Qur`an dan Hadits.

    Kebanyakan Kaum Muslimin hari ini, entah karena atmosfer pendidikan keIslaman yang bagaimana: semakin tidak ?merasa memiliki? Al-Qur`an secara langsung dan otentik pada dirinya masing-masing maupun bersama-sama sebagai Ummat. Mereka tidak berada dalam hubungan primer dengan Kitab Suci yang mereka yakini.?” –Daur II-242 – Tidak Percaya Diri Terhadap Al-Qur`an

    Dari sini bisa dicermati, mungkin kesimpulan saya salah. Pola yang dipakai Mbah Nun pada Daur II seakan menawarkan metode lebih tegas kepada pembaca agar melihat segala sesuatu dengan kembali kepada pandangan Al-Qur`an, yang metodenya dengan tadabbur.

    Dengan bahasa lain, menerapkan iqra` pada setiap ayat baik tersurat maupun tersirat atau fenomena apa pun dengan ?ainillah (cara pandang Allah) bukan dengan cara pandang manusia yang dha?if. Lebih dari itu, juga tidak lepas dari bimbingan dan gondhelan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘?alaihi wasallam. Wallahu a?lam.

    sumber: 
    https://www.caknun.com/2017/membaur-ke-dalam-daur/

    Spesifikasi Produk

    SKU BS-534
    ISBN 978-602-291-614-7
    Berat 200 Gram
    Dimensi (P/L/T) 13 Cm / 20 Cm/ 0 Cm
    Halaman 224
    Jenis Cover Soft Cover

    Produk Emha Ainun Nadjib

















    Produk Rekomendasi