Cantik, pintar, kaya—dan lajang—Emma Woodhouse begitu puas dengan kehidupannya, sampai-sampai dia merasa tidak membutuhkan cinta maupun pernikahan. Satu-satunya hal yang menyenangkan dirinya adalah mencampuri kehidupan cinta orang lain.
Tetapi, ketika dia mengabaikan peringatan teman baiknya, Mr. Knightley, dan berusaha untuk mengatur perjodohan Harriet Smith, anak didiknya, semua perbuatannya terbongkar dan berujung pada akibat yang tidak dia harapkan.
Dengan karakter yang tidak sempurna tetapi menarik, serta penggambaran yang jenaka dan tajam, Emma sering kali dianggap sebagai karya terbaik Jane Austen.
Bab 1
Emma Woodhouse adalah seorang yang cantik, pandai, dan kaya. Sebagai gadis yang beruntung bisa tinggal di rumah yang nyaman dan mempunyai sifat yang cenderung mudah bahagia, Emma sepertinya dikaruniai sifat menyenangkan dan anugerah-anugerah terbaik dalam kehidupan. Dia telah melewati hampir dua puluh satu tahun hidupnya di dunia ini dengan sangat sedikit masalah yang dapat membuatnya merasa tertekan atau kesal.
Emma adalah anak bungsu dari seorang ayah yang penuh kasih sayang serta suka memanjakan, dan setelah pernikahan kakak perempuannya, Emma menjadi nyonya rumah di kediaman ayahnya selagi masih belia. Ibunya sudah lama meninggal, sehingga Emma hanya memiliki ingatan yang samar-samar akan belaian kasih sayangnya. Peran ibunya digantikan oleh seorang wanita baik hati yang bekerja sebagai pengasuhnya, wanita yang memberinya kasih sayang.
Enam belas tahun sudah Miss Taylor bekerja di rumah keluarga Mr. Woodhouse. Miss Taylor lebih berperan sebagai teman daripada pengasuh, dan sangat menyayangi kedua putri Mr. Woodhouse, terutama Emma. Keakraban Miss Taylor dan Emma lebih mendekati kedekatan antara kakak dan adik. Bahkan, sebelum Miss Taylor berhenti bertugas sebagai pengasuh, sifatnya yang lembut membuat wanita itu hampir tidak pernah menetapkan larangan. Ketika kewenangannya sebagai pengasuh telah berakhir, mereka pun hidup bersama sebagai sahabat yang sangat karib, dan Emma dapat melakukan apa saja semaunya; masih sangat menghormati pendapat Miss Taylor, tetapi lebih meyakini pendapatnya sendiri.
Akibatnya, masalah utama Emma adalah dia memiliki kekuasaan untuk bersikap semaunya sendiri, dan kecenderungan terlalu menganggap tinggi dirinya sendiri. Ini merupakan kelemahan yang menjadi kendala baginya untuk memperoleh kesenangan. Namun, kendala tersebut saat ini belum begitu disadari, sehingga belum dapat digolongkan sebagai nasib buruk.
Kesedihan pun tiba—kesedihan yang ringan saja—meski bukan dalam bentuk yang tidak disukai ... Miss Taylor menikah. Perasaan kehilangan atas perginya Miss Taylor-lah yang pertama-tama menimbulkan kesedihan. Pada hari perkawinan sahabatnya itu, untuk pertama kalinya Emma merenung dengan muram mengenai kelanjutan masa depannya. Setelah upacara perkawinan usai, dan pengantin baru itu pergi, Emma dan ayahnya hanya makan malam berdua, tanpa kemungkinan adanya orang ketiga ikut menikmati malam yang panjang itu. Ayahnya bermaksud tidur setelah makan, seperti biasanya, dan setelah itu Emma akan duduk sendirian serta merasakan kehilangan seorang teman.
Perkawinan itu memang menjanjikan kebahagiaan bagi Miss Taylor. Mr. Weston orang yang baik sekali, cukup kaya, dengan usia yang mapan, dan perangai yang menyenangkan. Dia juga memiliki rasa persahabatan dan rela berkorban, persis seperti harapan Emma sebagai mak comblang. Tetapi, tetap saja ada sisi yang menimbulkan kesedihan bagi Emma. Kerinduannya terhadap kehadiran Miss Taylor semakin terasa dari hari ke hari. Emma mengenang kebaikan Miss Taylor—kebaikan dan kasih sayangnya selama enam belas tahun—betapa Miss Taylor mengajarinya, dan betapa perempuan itu mengajaknya bermain sejak ia berusia lima tahun—betapa Emma mengagumi kesediaannya untuk menemani dan menjaganya agar senantiasa sehat—dan merawatnya selama ia menderita berbagai penyakit anak kecil. Ada perasaan utang budi yang disertai perasaan syukur.
Namun, selama tujuh tahun terakhir ini, hubungan yang setara dan tulus antara mereka berdua, apalagi setelah pernikahan Isabella, merupakan kenangan yang lebih hangat dan berharga. Miss Taylor telah menjadi sahabat dan teman yang jarang dimiliki orang: cerdas, berpengetahuan luas, cekatan, lembut, menguasai seluk-beluk keluarga, tertarik pada segala hal tentang keluarga itu, dan terutama sangat tertarik pada Emma, pada setiap kesenangan serta rencana-rencananya. Miss Taylor adalah orang yang dapat Emma ajak bercakap-cakap mengenai gejolak pikirannya kapan pun pikiran-pikiran itu timbul, dan memberinya kasih sayang tanpa pernah kurang.
Mana mungkin Emma dapat menerima perubahan ini? Memang benar sahabatnya itu hanya tinggal kurang dari satu kilometer dari rumah mereka, tetapi Emma menyadari adanya perbedaan besar antara Mrs. Weston, yang tinggal kurang dari satu kilometer dari mereka itu, dan Miss Taylor yang tinggal di rumah mereka. Dan dengan segala kelebihan, kecekatan, dan kegemarannya, Emma terancam akan menderita kesepian secara intelektual. Dia sangat mencintai ayahnya, tapi ayahnya tidak dapat menjadi temannya. Ayahnya tidak dapat mengimbanginya dalam percakapan, baik yang rasional maupun bercanda. Jurang yang lebar dalam usia (karena Mr. Woodhouse menikah dalam usia yang tidak muda lagi) semakin bertambah dengan kondisi fisik dan kebiasaan ayahnya. Sebagai orang yang mudah sakit sepanjang hidupnya, tanpa banyak kegiatan baik secara pikiran maupun fisik, ayah Emma tampak lebih tua beberapa tahun daripada usia yang sebenarnya. Dan, meskipun dia disayangi atas keramahan dan perangainya yang lembut, kelemahan fisik Mr. Woodhouse membuatnya tidak selalu bisa menemani Emma setiap saat.
Kakak Emma, yang secara relatif menjadi agak jauh karena perkawinannya, sudah menetap di London. Kendati jaraknya hanya sekitar dua puluh lima kilometer dari rumah, Isabella tidak dapat dihubungi setiap hari. Sering sekali malam-malam jadi terasa panjang di Hartfield pada bulan Oktober dan November, dan pada hari Natal barulah Isabella dan suaminya, serta anak-anak mereka yang masih kecil, datang dan membuat rumah terasa penuh. Pada saat itulah mereka dapat bergembira bersama lagi.
Highbury adalah desa besar yang padat penduduk sehingga hampir seperti kota. Di desa yang menjadi tempat berdirinya Hartfield milik Mr. Woodhouse, Emma sama sekali tidak punya tandingan. Keluarga Woodhouse-lah yang pertama kali tinggal di sana. Semua orang menghormati mereka. Emma punya banyak kenalan sebab ayahnya sopan kepada siapa saja, tetapi tak seorang pun di antara para kenalan itu yang dapat menggantikan Miss Taylor, walaupun hanya setengah hari. Itu perubahan yang menyedihkan, dan tak urung Emma menghela napas penuh sesal serta mengharapkan hal-hal yang mustahil terjadi, sampai ayahnya terbangun dan sangat penting baginya untuk bersikap riang. Semangat ayahnya perlu dibangkitkan.
Mr. Woodhouse penggugup, mudah merasa tertekan, menyayangi setiap orang yang dekat dengannya, dan tidak suka berpisah dengan mereka, serta membenci perubahan dalam bentuk apa pun. Perkawinan, sebagai sumber perubahan, selalu tidak disetujuinya. Sampai saat ini dia belum rela terhadap perkawinan anaknya sendiri, dan tidak dapat membicarakannya tanpa disertai perasaan iba, meskipun perkawinan itu berdasarkan cinta. Saat ini, dia menanggapi perpisahan dengan Miss Taylor dengan sikap yang sama. Dan, mengingat kebiasaannya yang agak egois dan tidak pernah bisa mengerti bahwa orang lain dapat merasakan hal yang berbeda dengannya, dia yakin sekali Miss Taylor telah melakukan hal yang menyedihkan bagi dirinya sendiri dan mereka, dan pasti akan jauh lebih bahagia jika Miss Taylor menghabiskan sisa hidupnya di Hartfield daripada menjadi istri Mr. Weston. Emma tersenyum dan mengobrol seriang mungkin, agar ayahnya tidak terpaku pada ingatan-ingatan seperti itu. Tetapi ketika waktu minum teh tiba, mustahil bagi Mr. Woodhouse untuk tidak mengucapkan kata-kata yang selalu dikatakannya pada waktu makan malam.
“Kasihan Miss Taylor! Kuharap dia kembali ke sini lagi. Sayang sekali Mr. Weston jatuh cinta padanya!”
“Aku tidak setuju denganmu, Ayah. Mr. Weston orang yang periang, menyenangkan, dan baik sekali, sehingga dia berhak sepenuhnya untuk memperoleh istri yang baik ... dan tentunya Ayah tidak boleh mengharapkan Miss Taylor tinggal bersama kita selamanya untuk menghadapi sifat-sifatku yang aneh, padahal dia dapat punya rumah sendiri, kan?”
“Punya rumah sendiri! Tapi, apa untungnya punya rumah sendiri? Rumah ini besarnya tiga kali lipat dibandingkan dengan rumahnya. Dan sifat-sifatmu tidak aneh, Sayangku.”
“Kita dapat sering mengunjungi mereka, dan mereka pun dapat sering bertandang ke sini! Kita dapat sering bertemu. Kita harus melakukannya—kita harus pergi dan melakukan kunjungan pasca-pernikahan secepatnya.”
“Sayangku, bagaimana mungkin aku mencapai tempat sejauh itu? Aku tidak dapat berjalan sejauh itu. Randalls jauh sekali.”
“Memang tidak, Ayah, tak ada yang memintamu berjalan kaki. Kita harus naik kereta.”
“Kereta! Tapi, James tidak akan senang mengemudikan kuda untuk jarak sedekat itu, lagi pula di mana kita akan menitipkan kuda itu selagi kita berkunjung?”
“Bisa dititipkan di kandang kuda Mr. Weston, Ayah. Ayah tahu, kan, rumah mereka sudah ada kandang kudanya. Kita sudah membicarakannya bersama Mr. Weston tadi malam. Sedangkan mengenai James, percayalah, dia selalu senang pergi ke Randalls, karena anak perempuannya bekerja sebagai pelayan di sana. Aku yakin dia tidak akan sesemangat itu jika disuruh mengantarkan kita ke tempat lain. Ini toh gara-gara Ayah juga. Ayah yang menyuruh Hannah bekerja di tempat yang baik itu. Tak seorang pun teringat pada Hannah sampai Ayah menyebut namanya. James sangat berterima kasih padamu.”
“Aku senang sekali karena ingat pada gadis itu. Untunglah sebab aku tidak ingin James merasa terabaikan gara-gara apa pun. Lagi pula, Hannah pasti bisa menjadi pelayan yang baik sekali. Dia sopan, halus budi bahasanya. Aku sangat menyukai gadis itu. Setiap kali aku bertemu dengannya, dia selalu memberi hormat dan menanyakan kabarku, dengan cara yang sangat manis. Dan, kalau kau memanggilnya ke sini untuk menjahit, kulihat dia langsung mengunci pintu pelan-pelan dan tidak membantingnya. Aku yakin dia akan menjadi pelayan yang baik, dan memberi ketenangan kepada Miss Taylor yang malang karena ada orang yang sudah dikenal sebelumnya di rumah barunya yang asing. Setiap kali James menengok anak perempuannya, Miss Taylor bisa mendengar berita tentang kita. James bisa bercerita kepadanya tentang keadaan kita semua.”
Emma menimpali perkataan ayahnya dengan kata-kata yang optimistis, sehingga kebahagiaan ayahnya tidak pudar, dan berharap, dengan bantuan kartu backgammon, ayahnya dapat terhibur sepanjang petang itu, dan biar Emma saja yang masih merasakan kesepian atas kehilangan Mrs. Taylor. Meja backgammon dipasang, tetapi tak lama kemudian datanglah seorang tamu yang membuat mereka tidak jadi bermain.
Tamunya adalah Mr. Knightley, seorang pria bijaksana berusia sekitar tiga puluh tujuh atau tiga puluh delapan tahun, yang bukan hanya teman lama keluarga itu melainkan juga kakak ipar Isabella. Pria itu tinggal kira-kira satu setengah kilometer dari Highbury, sering berkunjung secara teratur, dan kedatangannya selalu diterima dengan tangan terbuka. Kali ini dia disambut dengan lebih hangat daripada biasanya, karena dia baru pulang dari rumah keluarga John Knightley di London. Sekarang, Mr. Knightley bertandang ke Hartfield untuk menyampaikan bahwa keadaan di Brunswick Square baik-baik saja. Kunjungannya ini menyenangkan dan membuat Mr. Woodhouse bersemangat untuk sementara. Mr. Knightley periang, dan perangainya ini selalu menguntungkan baginya.
Pertanyaan Mr. Woodhouse tentang “Isabella yang malang” serta anak-anaknya dijawabnya dengan sangat memuaskan. Setelah itu, Mr. Woodhouse berkata dengan penuh syukur, “Kau baik sekali, Mr. Knightley, mau ke sini meskipun sudah malam untuk mengunjungi kami. Kurasa perjalananmu kurang menyenangkan.”
“Sama sekali tidak, Sir. Malam ini bulan bersinar dengan indahnya, dan udaranya nyaman sehingga aku tidak perlu mendekat ke perapian.”
“Tapi mungkin lembap dan kotor. Semoga kau tidak terkena flu.”
“Kotor? Coba lihat sepatuku. Tidak ada nodanya.”
“Wah, itu mengherankan, sebab hujan deras sering turun di sini. Hujannya lebat sekali selama setengah jam selagi kami sarapan tadi. Aku sampai ingin mereka menunda acara perkawinan.”
“Ngomong-ngomong, aku tidak akan buru-buru mengucapkan selamat. Aku menyadari bagaimana perasaan kalian, sehingga aku tidak akan tergesa-gesa mengucapkan selamat, tapi kuharap semuanya berjalan lancar. Bagaimana tadi? Siapa yang paling banyak menangis?”
“Ah! Kasihan Miss Taylor! Ini benar-benar menyedihkan.”
“Kasihan Mr. dan Miss Woodhouse, kurasa itu yang lebih tepat. Tapi, kurasa aku tidak dapat berkata ‘kasihan Miss Taylor.’ Aku sangat menghargaimu dan Emma, tapi hanya kalau kalian sendiri dan sedang tidak bersama. Bagaimanapun, lebih mudah membuat senang satu orang daripada dua.”
“Terutama jika salah seorang di antara dua orang itu makhluk yang suka mengkhayal dan menjengkelkan,” Emma bercanda. “Itulah yang terlintas dalam pikiranmu, dan pasti akan kau ucapkan seandainya ayahku tidak ada di sini.”
“Kau benar, Anakku,” kata Mr. Woodhouse sambil menghela napas. “Kurasa terkadang aku memang suka mengkhayal dan menjengkelkan.”
“Ayah sayang. Jangan menganggap dirimu yang kumaksud, atau menduga Mr. Knightley bermaksud bicara mengenai dirimu. Itu tidak benar. Oh, tidak. Yang kumaksud itu justru aku sendiri. Mr. Knightley senang mencari-cari kesalahanku, sambil bercanda, ini hanya bercanda. Kami selalu berterus terang satu sama lain.”
Mr. Knightley sebetulnya merupakan salah satu dari sedikit orang yang dapat melihat kekurangan Emma Woodhouse, dan satu-satunya orang yang berani mengatakannya kepada gadis itu. Dan, meskipun Emma sendiri tidak terlalu sependapat, gadis itu tahu ayahnya pasti juga sangat tidak setuju dengan keterusterangan Mr. Knightley. Sehingga, dia tidak meneruskan pendapat Mr. Knightley tentangnya kepada Mr. Woodhouse. Emma tidak ingin ayahnya tahu bahwa tidak semua orang menganggap gadis bungsunya sempurna.
“Emma tahu, aku tidak pernah menyanjung-nyanjungnya,” kata Mr. Knightley, “tapi, aku memang tidak seperti orang lain. Miss Taylor sudah terbiasa membuat senang dua orang, dan sekarang dia hanya perlu menyenangkan satu orang. Jadi, kemungkinannya dia pasti berhasil.”
“Nah,” kata Emma, ingin mengalihkan percakapan, “kalau kau ingin tahu tentang acara perkawinan itu, dengan senang hati aku akan mengatakan kepadamu bahwa kami bersikap dengan baik sekali. Semua orang datang tepat waktu, semua orang berdandan dengan sebaik-baiknya, tidak ada air mata, dan hampir tidak ada yang cemberut. Oh, tidak, lagi pula kami hanya akan terpisah kurang dari satu kilometer, dan jelas dapat bertemu setiap hari.”
“Emma sayang bisa menerima semua dengan baik,” kata Mr. Woodhouse. “Tetapi, Mr. Knightley, sebenarnya dia sangat sedih karena kehilangan Miss Taylor yang malang, dan aku yakin dia akan merasa sangat kehilangan.”
Emma memalingkan wajah, berusaha menahan air mata sekaligus senyum.
“Sudah jelas Emma pasti akan kehilangan teman baik seperti Miss Taylor,” timpal Mr. Knightley. “Kita berdua sangat mengenal baik Emma untuk bisa memastikan itu. Tetapi, Emma pasti tahu betapa perkawinan ini sangat menguntungkan bagi Miss Taylor. Dia tahu bahwa sudah waktunya Miss Taylor hidup mapan di rumahnya sendiri, dan betapa pentingnya bagi wanita itu untuk mendapatkan harta yang layak. Jadi, rasa senang Emma pasti mengalahkan rasa sedihnya. Setiap teman Miss Taylor pasti bahagia melihat wanita itu bisa menikah dengan bahagia.”
“Dan, kau melupakan satu hal lagi yang menggembirakan bagiku,” kata Emma, “kegembiraan yang paling membahagiakan adalah ... aku sendiri yang menjodohkan mereka. Aku yang menjodohkan mereka empat tahun yang lalu, dan sekarang perkawinan itu benar-benar terlaksana, yang membuktikan bahwa aku benar, padahal begitu banyak orang berkata Mr. Weston tidak akan menikah lagi. Tentunya aku bahagia sekali.”
Mr. Knightley menggelengkan kepala. Ayah Emma dengan penuh kasih sayang menjawab, “Ah, Sayangku, kuharap kau tidak lagi menjodoh-jodohkan orang dan meramalkan sesuatu, sebab apa pun yang kau katakan selalu terwujud. Jangan menjodohkan orang lagi, ya.”
“Aku berjanji tidak akan menjodohkan diriku sendiri, Ayah, tapi aku tetap harus melakukannya bagi orang lain. Itu kegembiraan yang paling besar di dunia! Apalagi setelah keberhasilan sebesar itu. Setiap orang berkata Mr. Weston tidak akan menikah lagi. Ya, ampun, tidak mungkin, kata orang. Mr. Weston sudah menduda begitu lama, dan kelihatannya merasa sangat nyaman hidup tanpa istri, begitu sibuk entah itu menjalankan bisnisnya di kota atau menghabiskan waktunya bersama teman-temannya di sini, selalu diterima di mana pun, selalu ceria. Mr. Weston tidak akan menghabiskan satu malam pun selama setahun sendirian saja seandainya dia tidak menyukainya. Oh, tidak akan! Mr. Weston jelas tidak akan menikah lagi. Sebagian orang bahkan membicarakan janji yang dibuatnya kepada istrinya ketika istrinya sakit keras, atau tentang anak dan pamannya yang tidak mengizinkannya menikah lagi. Semua omong kosong tersebut menjadi bahan pembicaraan orang, tapi aku tidak percaya sedikit pun.”
“Aku tidak mengerti yang kau maksud dengan keberhasilan,” kata Mr. Knightley. “Keberhasilan membutuhkan usaha. Semua waktu yang kau miliki pasti sudah habis, seandainya kau memang benar-benar menggunakan waktu empat tahun ini untuk mewujudkan perkawinan Miss Taylor. Tugas yang mulia bagi seorang wanita muda. Tetapi, dan menurutku ini yang terjadi, jika menjodohkan mereka, seperti istilahmu itu, hanya berarti membuat rencana dan iseng-iseng berbicara sendiri di dalam hati pada saat luangmu, ‘Kurasa bagus sekali bagi Miss Taylor jika Mr. Weston menikah dengannya,’ dan mengulang-ulang ucapanmu berkali-kali, mengapa kau menyebutnya sebagai keberhasilan? Apa andilmu? Apa yang kau banggakan? Kau hanya menebak dan kebetulan tebakanmu benar. Hanya itu saja.”
“Dan, apakah kau belum pernah merasakan kesenangan dan kepuasan saat mengetahui tebakanmu benar? Aku iba padamu, Mr. Knightley. Kukira kau lebih pandai daripada ini; karena tebakan yang beruntung tak hanya berkaitan dengan keberuntungan, tetapi ada hubungannya dengan bakat. Dan, tentang kata ‘berhasil’ yang kau perdebatkan, aku setidaknya punya andil dalam hal itu. Kau sudah membeberkan dua kemungkinan menarik; tetapi kurasa ada kemungkinan ketiga—kemungkinan antara tak melakukan apa pun dan melakukan semuanya. Kalau saja aku tidak sering mengusulkan untuk mengundang Mr. Weston ke sini, dan memberikan dorongan-dorongan kecil, juga melancarkan urusan-urusan kecil agar mereka bertemu, mungkin perkawinan mereka tak akan terjadi. Kurasa kau cukup mengenal kehidupan Hartfield dengan baik untuk memahami itu.”
“Pria yang tidak berbelit-belit dan terbuka seperti Weston, dan wanita yang rasional serta tidak mudah terpengaruh seperti Miss Taylor, sebaiknya dibiarkan menangani urusan mereka sendiri. Campur tanganmu hanya akan menyakiti dirimu sendiri daripada membantu mereka.”
“Emma tidak pernah memikirkan diri sendiri, seandainya dia dapat membantu demi kebaikan orang lain,” sela Mr. Woodhouse, yang hanya memahami sebagian dari percakapan mereka. “Tapi, Sayangku, jangan menjadi mak comblang lagi. Itu urusan yang bodoh dan bisa memecah belah hubungan keluarga.”
“Hanya satu kali lagi, Ayah, hanya untuk Mr. Elton. Kasihan Mr. Elton. Kau menyukai Mr. Elton, kan, Ayah? Aku harus mencarikan seorang istri untuknya. Tidak ada wanita di Highbury yang pantas baginya. Padahal, dia sudah satu tahun tinggal di sini, dan punya rumah yang sangat nyaman, sehingga sayang sekali jika dia tetap membujang lebih lama lagi. Dan, sewaktu dia menghadiri acara perkawinan hari ini, sangat terlihat bahwa dia ingin ada seseorang mencarikan jodoh untuknya. Aku menganggap Mr. Elton baik sekali, dan hanya dengan cara ini aku dapat membantunya.”
“Mr. Elton adalah pria muda yang manis dan baik hati. Aku sangat menghargainya. Tetapi, kalau kau ingin memberinya perhatian Sayangku, undang dia untuk makan malam bersama kita. Itu lebih baik. Kurasa Mr. Knightley pasti mau berbaik hati untuk menemaninya.”
“Dengan senang hati, Sir, kapan saja,” kata Mr. Knightley sambil tertawa. “Dan, aku sependapat denganmu bahwa itu jauh lebih baik. Undanglah dia untuk makan malam, Emma, dan siapkan masakan ikan dan ayam, tetapi biarkan dia memilih istrinya sendiri. Percayalah, pria berumur dua puluh tujuh tahun pasti dapat mengurus dirinya sendiri.”[]
Tak pernah diragukan bahwa nama Jane Austen selalu lekat dalam hati pencinta sastra dunia. Novel-novelnya seperti Pride and Prejudice, Emma, dan Sense and Sensibility tak pernah lekang dimakan waktu, bahkan setelah 150 tahun berlalu. Gaya penulisannya banyak menginspirasi penulis-penulis masa kini, juga dikagumi karena kejujuran dan kekhasannya.
Novelis Inggris yang lahir pada tahun 1775 ini mengawali karier menulisnya dengan membuat puisi, cerita pendek, dan drama yang hanya ditujukan untuk dirinya sendiri dan keluarganya. Keahliannya adalah menulis cerita dengan genre roman, yang diwarnai fakta tentang keadaan sosial pada masanya.
Dari seluruh karyanya, tokoh Elizabeth Bennet dalam Pride and Prejudice merupakan tokoh favorit Austen. Perangainya yang tegas, feminis, dan pada saat bersamaan ceria, membuatnya menjadi salah satu tokoh wanita yang paling dikagumi dalam literatur Inggris.
“Austen memiliki sentuhan yang sangat elok
dalam mengubah hal-hal biasa menjadi menarik.”
—Walter Scott, penulis Ivanhoe
SKU | QN-121 |
ISBN | 978-602-402-140-5 |
Berat | 580 Gram |
Dimensi (P/L/T) | 13 Cm / 21 Cm/ 0 Cm |
Halaman | 740 |
Jenis Cover | Soft Cover |