Saat ini, terdapat dua sikap yang ditampilkan masyarakat dalam memperlakukan agama, yang kedua-duanya justru membahayakan bagi agama itu sendiri. Sebagian menganggap agama tidak lagi relevan dengan rasionalitas zaman—karena apa yang ditawarkan agama sudah dapat dipenuhi oleh sains, kapitalisme, dan otoritas politik.
Sebaliknya, sebagian yang lain menjalankan agama dengan fanatisme berlebihan hingga agama menjelma menjadi doktrin yang dibarengi sikap kaku terhadap berbagai perubahan dunia, keras terhadap kehadiran (paham) orang lain, dan cenderung tertutup.
Buku ini, yang oleh penulis disebut sebagai bagian dari pengalaman keberagamaan/keberislaman seorang rakyat Indonesia, menjelaskan pentingnya agama sebagai jalan manusia yang secara fitrah ingin mencari Kebenaran Tertinggi. Buku ini juga menawarkan cara beragama secara benar dan terbuka terhadap kemajuan manusia yang terus berkembang.
Komaruddin Hidayat, lahir di Desa Pabelan, Magelang, dekat Candi Borobudur, 18 Oktober 1953. Setelah menyelesaikan studinya di Pondok Pesantren Pabelan di desa tempat kelahirannya, dia meneruskan kuliah di UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Jakarta—waktu itu masih bernama IAIN—Jurusan Ilmu Perbandingan Agama.
Sambil kuliah, Mas Komar—demikian panggilan akrabnya—bekerja sebagai wartawan sehingga bidang tulis-menulis sudah lama menjadi salah satu hobinya. Pendidikan tingkat Master dan Doktor diambil di Middle East Technical University
(METU), Ankara, Turki, dalam bidang fi lsafat. Selain itu, dia juga pernah mengambil Post-Doctorate Research Program di McGill Univesity, Montreal, Canada selama satu semester. Program serupa pernah juga dilakukannya di Harfort Seminary Connecticut, USA.
Dari tangannya, sudah terbit beberapa buku dan artikel lepas di koran ibu kota. Buku yang telah diterbitkan antara lain: Agama Masa Depan; Tragedi Raja Midas; Tuhan Begitu Dekat; Wahyu di Langit Wahyu di Bumi; Menafsirkan Kehendak Tuhan; Psikologi Kematian; Psikologi Kematian 2 (pernah diterbitkan dengan judul Berdamai dengan Kematian); Passing Over; Melintas Batas Agama; Politik Panjat Pinang; Psikologi Beribadah; Wisdom of Life; Reinventing Indonesia
(editor/penulis); Menjadi Indonesia (editor); Jejak-Jejak Kehidupan; Spiritual Side of Golf; Ungkapan Hikmah (pernah diterbitkan dengan judul 250 Wisdoms); Membuka Mata, Menangkap Makna; Psikologi Beragama; Memahami Bahasa
Agama; dan Agama Punya 1000 Nyawa.
Jabatan resmi yang pernah diembannya adalah Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta sejak awal 2007. Sebelumnya dia pernah menjadi dosen tamu di UGM, UI, UII, dan UMJ. Selain itu, dia juga aktif berpartisipasi dalam berbagai LSM, terutama yang berkaitan dengan dialog lintas agama, baik di dalam maupun luar negeri. Salah satunya sebagai Delegasi RI dalam Dialog Lintas Agama (Interfaith Dialog Indonesia dengan Negara-Negara Eropa, Amerika, dan Rusia) tahun 2009−sekarang. Memberikan pelatihan bagi guru-guru adalah salah satu kegiatan yang dia minati selama ini.
-Tulisan-tulisan Pak Komaruddin Hidayat selalu enak untuk dinikmati, ringan dan mengalir, walaupun tema yang dibicarakan cukup berat.
Wawancara Penulis.
ICMI: Islam yang Disebarkan di Indonesia Ramah dan Toleran
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/17/07/25/otn40j425-icmi-islam-yang-disebarkan-di-indonesia-ramah-dan-toleran
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Dewan Pakar ICMI, Komaruddin Hidayat, mengatakan ajaran Islam yang dibawa masuk ke Indonesia memiliki ciri inklusif dan bermuatan tasawuf. Dengan begitu, Islam yang menyebar di Indonesia bersifat akomodatif serta toleran.
Dia menyebut, Islam yang datang ke Indonesia dibawa oleh para pedagang, bukan oleh militer. "Bukan ekspansi kekuasaan seperti Islam yang disebarkan ke Eropa. Cirinya apa? Inklusif yaitu mencari teman, akomodatif, toleran,” ujar Komaruddin, dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Selasa (25/7).
Menurut Komaruddin, dengan semangat tasawuf, berdagang dan berdakwah secara damai, maka Islam amat mudah diterima oleh masyarakat Indonesia, terutama yang tinggal di daerah pesisir yang juga merupakan pusat perdagangan. Penyebaran Islam, kata dia, khususnya di wilayah pantai juga mempunyai andil membentuk komunikasi dan kohesi sosial nusantara. Hal ini disebabkan penyebaran Islam menggunakan bahasa Melayu.
Peran para Wali Songo menjadikan simbolisasi keislaman Indonesia inklusif, santun dan ramah. Wali Songo menjadi simbol Islam yang akomodatif, santun, menghargai seni, dan tidak frontal yang merupakan simbolisasi dari keislaman yang inklusif dan ramah.
Komaruddin mengatakan, ada perbedaan antara umat Islam di Indonesia dengan Timur Tengah. Perbedaan tersebut tampak dari karakeristik umat Islam di Indonesia dengan perjuangkan demokrasi. Menurut dia, umat Islam di Indonesia mempunyai jasa membangun akar-akar demokratisasi. "Demokrasi itu cirinya partisipasi masyarakat, kebebasan bergerak, peduli pada politik negara. Ini yang tidak dimiliki di Timur Tengah,” kata Komaruddin.
----
Dikotomi Pendidikan Agama Harus Disudahi
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/13/11/13/mw6mj2-dikotomi-pendidikan-agama-harus-disudahi
REPUBLIKA.CO.ID,
Intitusi pendidikan Islam harus meningkatkan kualitasnya.
JAKARTA — Dikotomi pendidikan agama Islam dengan pendidikan umum yang terus terjadi harus segera disudahi. Agama dan pendidikan harus berjalan seiring.
Cendekiawan Muslim Komaruddin Hidayat menyatakan, Indonesia harus kembali menyambung benang sejarah yang pernah terputus.
“Sejarah Islam menunjukkan, antara agama dan pendidikan tidak terpisahkan,” katanya pada peresmian gedung FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Senin (11/11).
Dia menyayangkan bagaimana masyarakat kemudian membuat dikotomi antara pendidikan agama Islam dan pendidikan umum.
Untuk memahami dan menyelesaikan masalah ini, kata dia, masyarakat harus bisa memahami ilmu umum dan melihat kaitannya pada ilmu agama. Hal inilah yang diupayakan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah.
Universitas ini membuka banyak fakultas umum. Tidak hanya fokus mengedepankan kajian dan ilmu-ilmu agama. Hal ini sesuai dengan mandat yang diterima UIN, yaitu sebagai penjaga modernisasi dan memajukan perguruan tinggi Islam di Kementerian Agama (Kemenag).
Kenyataannya dalam sejarah, keilmuan Islam pernah sangat berkembang dan melahirkan para ilmuwan Muslim mumpuni.
UIN Jakarta juga memiliki visi dan misi menyatukan kalangan pesantren dan madrasah agar dapat ikut serta dalam pengembangan bangsa secara umum.
UIN ingin lebih merangkul pesantren dan madrasah yang kurang mendapat perhatian. Menurutnya, institusi pendidikan di bawah Kemenag terus berkembang lebih baik di tengah hujaman kritik kepada lembaga pendidikan di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Komarudin menegaskan, ke depan UIN akan terus memperbaiki kualitas dan sarana prasarana pendidikan. Ia pun menjanjikan beberapa tahun ke depan akan membangun Fakultas Pertambangan dan Perminyakan. Ini menunjukkan UIN Jakarta akan terus berkembang cepat dalam waktu yang akan datang.
Hal serupa dikemukakan Menteri Agama Suryadharma Ali. Ia menyatakan agar dikotomi tersebut disudahi. Pendidikan agama Islam yang saat ini berada di bawah naungan Kemenag diharapkan dapat mempelajari ilmu-ilmu umum dan sosial.
Dengan begitu, ketika para siswa pesantren ataupun madrasah lulus, mereka tidak buta atau bingung saat harus terjun ke masyarakat.
“Kampus pendidikan agama harus tahu problematika apa yang ada di masyarakat dan kampus juga ikut memikirkan bagaimana menyelesaikannya,” katanya. Oleh karena itu, sebagai salah satu universitas Islam, UIN harus selalu meningkatkan kualitasnya.
Bukan hanya memperbaiki diri dari segi materi pendidikannya, melainkan juga dari sisi fasilitas yang diberikan untuk para mahasiswa.
Dia mengapreasi UIN yang baru saja meresmikan gedung baru Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Pembangunan gedung FISIP UIN berjalan kurang lebih dua tahun sejak peletakan batu pertama pada 2011.
Menag berharap dengan diresmikannya gedung baru ini pengajaran di fakultas tersebut bisa menjadi semakin baik. Menurutnya, di tengah gairah perpolitikan saat ini, lembaga tinggi pendidikan politik memberikan sumbangsih besar baik dari sisi kajian akademisi maupun politik praktis.
Selain itu, kata dia, ada fenomena menarik, yakni Islam saat ini semakin menarik dalam kajian perpolitikan di kancah internasional.
“Untuk itu, lembaga pendidikan keagamaan seperti UIN harus menjadi lembaga pendidikan yang paripurna. Inilah potensi besar FISIP UIN Jakarta,” katanya.
-----------------------------------------------------------------
Agama di Ruang Publik
https://profkomar.wordpress.com/category/keberagamaan/
Oleh: Komaruddin Hidayat
SEBELUM era kemerdekaan, di Nusantara ini terdapat pusat-pusat keagamaan yang kaya dengan tradisinya yang masih hidup sampai hari ini. Yang dominan tentu saja Islam mengingat jumlah pemeluknya terbesar.
Makanya logis saja jika simbol, tokoh, dan aktivitas keagamaan memenuhi ruang publik, khususnya Islam. Terlebih sekarang ketika iklim kebebasan berekspresi semakin terbuka.
Ada organisasi keagamaan yang sikap dasarnya antisistem demokrasi justru mereka paling efektif dan vokal memanfaatkan instrumen demokrasi untuk berbicara di ruang publik guna menyebarkan gagasannya. Bahkan leluasa menggerakkan massanya melakukan demonstrasi, sebuah aksi yang tak akan bisa dilakukan di negara monarki.
Dalam konteks kehidupan beragama, Indonesia tidak mengenal pemisahan antara ruang negara dan ruang publik. Agama bukanlah urusan privat semata seperti di Barat, tetapi aktivitas dan ekspresi keberagamaan juga aktif mewarnai ruang publik, bahkan masuk ke panggung Istana dengan fasilitas negara.
Dengan kata lain, ruang publik menjadi wilayah yang kadang diperebutkan oleh simbol-simbol negara dan agama. Di sana terdapat rujukan hukum adat, hukum agama dan hukum positif yang kesemuanya bisa tumbuh sejalan dan harmonis, tetapi juga potensial menimbulkan benturan dan konflik loyalitas dari warga masyarakat.
Belakangan muncul gejala segregasi sosial yang hendak membenturkan paradigma keumatan dan kewarganegaraan (citizenship). Yang pertama hendak menempatkan hukum agama di atas hukum negara (hukum positif), yang kedua menempatkan hukum agama subordinat pada hukum positif ketika memasuki ruang publik.
Bagi sekelompok orang, bahkan ada yang memandang pemerintahan yang ada itu thaghut atau berhala karena menempatkan hukum positif di atas kitab suci.
Wacana Politik dan Agama
Dalam ranah pribadi dan keluarga, bisa saja seseorang menempatkan hukum agama paling tinggi. Tapi begitu seseorang masuk jalan raya, hukum negara yang berkuasa, polisi sebagai pengawasnya.
Dalam kehidupan sosial, wacana keagamaan akhir-akhir ini semakin memenuhi ruang publik seperti di mimbar televisi, ceramah-ceramah, dan media sosial (medsos) berbasis internet. Orang pun merasa paling akrab dengan medsos sehingga penggunanya mengalami perkembangan luar biasa.
Namun sangat disayangkan, banyak isinya yang provokatif, sampah, bahkan ada yang berimplikasi memecah-belah persahabatan. Terutama ketika agama dikaitkan dengan aspirasi pilihan-pilihan politik, lalu menjadi sulit dibedakan antara medsos yang berisi siraman rohani, pencerahan iman, perluasan ilmu dan provokasi politik.
Mengenai berkembangnya simbol agama di ruang publik, yang juga fenomenal adalah aksi dan mobilisasi massa yang terpusat di lapangan Monas dan sekitarnya pada 2 Desember 2016.
Uniknya, di medsos pun terjadi diskusi mengenai berapa kira-kira jumlah pesertanya. Ada yang menyebutnya di atas 7 juta, ada yang menaksir hanya
------------------------------------------------------------------
Beberapa Nukilan dalam Buku Ini.
Persoalannya saat ini, tanpa melalui proses berpikir dan pengembaraan intelektual yang cukup, sebagian orang tiba-tiba melompat menuju iman. Karena itu, lompatannya sering kali meleset tidak sampai kepada tujuan, sehingga melahirkan “fanatisme” yang destruktif. Beragama dengan marah. Bukan ramah dan menenteramkan.
Orang beriman meyakini bahwa muara akhir perjalanan manusia adalah Tuhan. Sekian banyak agama sejatinya berfungsi bagaikan kanal-kanal sungai yang mengantarkan air
ke lautan. Karena dalam diri manusia terdapat ruh ilahi, maka setiap manusia bergerak menuju Tuhan.
Di antara berbagai jawaban yang ditawarkan untuk memenuhi rasa ingin tahu manusia tentang hakikat Penciptanya dan hakikat dirinya, penjelasan yang ditawarkan agama paling memuaskan. Ini karena agama dalam sebagian penjelasannya tentang Tuhan, tidak untuk membuat rumusan-rumusan atau teori.
Kehadiran nabi sebagai utusan Tuhan untuk menyeru kepada kebaikan dan keselamatan merupakan bentuk kasih sayang Tuhan kepada manusia. Oleh karena itu,
agama sesungguhnya bentuk kasih Tuhan agar manusia menemukan petunjuk dalam
menjalankan perannya sebagai khalifah di muka bumi.
Dalam Islam tidak dikenal adanya konsep pemisahan antara iman, agama, dan spiritualitas. Ketiganya adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan, berfungsi sebagai pijakan dan penerang dalam kehidupan.
SKU | NA-200 |
ISBN | 978-602-385-637-4 |
Berat | 240 Gram |
Dimensi (P/L/T) | 14 Cm / 20 Cm/ 0 Cm |
Halaman | 264 |
Jenis Cover | Soft Cover |