Pada zaman ini, kita bisa melihat bagaimana media sosial menjadi tempat memuntahkan segala kekesalan. Mengumpat, mencaci, dan merendahkan orang lain tanpa beban. Tak beda dalam kehidupan non-maya sehari-hari—orang demikian mudah hilang kesabaran dan berkonflik karena masalah kecil.
Pada suatu riwayat ketika seseorang mendatangi Nabi Saw., meminta nasihat, Rasulullah hanya mengatakan kepadanya, “Jangan marah”, dan beliau mengulangnya tiga kali. Nabi Saw. tak menasihati orang itu dengan teologi yang rumit, atau etika yang sulit, dan bukan pula masalah fiqih yang mendalam. Beliau hanya menasihati soal akhlak, sesuai sabda beliau, “Agama adalah muamalah (interaksi antarmanusia).” (HR Al-Hakim). Tanpa akhlak hubungan antarmanusia tidak akan terbangun dengan baik.
Buku ini disarikan dari ceramah-ceramah Yasir Qadhi, seorang tokoh asal Amerika yang cukup berhasil menampilkan wajah akhlak Islam di Negeri Paman Sam.
Abu Ammaar Yasir Qadhi dilahirkan di Houston, Texas, dari sebuah keluarga imigran Pakistan. Ketika berusia lima tahun, keluarga membawanya pindah ke Jeddah, Arab Saudi. Di sana, ia mempelajari hadis sampai kemudian meraih gelar magister bidang teologi dari Islamic University of Medina. Pada 2005, ia kembali ke Amerika Serikat dan menyelesaikan Ph.D. dalam Studi Agama dari Universitas Yale, dan mendirikan Al-Maghrib Institute. Yasir Qadhi telah menulis banyak buku, menerbitkan artikel akademis, dan muncul di banyak stasiun TV di seluruh dunia.
- Ditulis oleh Ulama yang sangat popular di dunia Islam Barat.
- Tema-tema yang diangkat, sederhana dan sangat kekinian.
- Isi tulisan tidak menggurui, sederhana, dan mengalir jadi akan mudah dipahami baik oleh kalangan remaja maupun orang dewasa.
Pengakuan Yasir Qadhi tentang Syiah
https://ejajufri.wordpress.com/2014/04/18/yasir-qadhi-bicara-tentang-syiah/
Abu Ammaar Yasir Qadhi dilahirkan di Houston, Texas, dari sebuah keluarga imigran Pakistan. Ketika berusia lima tahun, keluarga membawanya pindah ke Jeddah, Arab Saudi. Di sana, ia mempelajari hadis sampai kemudian meraih gelar magister bidang teologi dari Islamic University of Medina. Pada tahun 2005, ia kembali ke Amerika Serikat dan menjadi salah seorang penceramah paling populer sekaligus pendiri AlMaghrib Institute yang mengajarkan teologi salafi.
Selama kurang lebih sembilan tahun belajar di Arab Saudi, Yasir Qadhi jelas terpengaruh oleh ideologi yang diajarkan. Dia sendiri yang mengatakan, “Dua puluh tahun yang lalu ketika saya masih remaja, saya menyebut diri saya sebagai muslim salafi.” Tapi dengan berat, ia mengakui adanya kekeliruan atas apa yang diyakini seperti dalam hal metodologi yang digunakan oleh salafi dengan langsung menafsirkan sumber agama dan mendakwahinya sebagai yang paling benar. Meski ia tetap menyatakan bahwa di dalam salafi terdapat beragam kelompok.
Pria yang meraih gelar doktor tentang pemikiran Ibnu Taimiah ini mengatakan bahwa di dalam Majmu’ Al-Fatawa dinyatakan: hanya karena seseorang berasal dari kelompok yang benar, bukan berarti dia akan masuk surga. Begitu pula, seseorang yang berasal dari kelompok yang salah bisa jadi meraih tempat tinggi di surga karena orang tersebut melakukan amal salih dengan ikhlas. Seseorang yang merasa berada di akidah yang benar, bisa jatuh ke posisi yang rendah karena kesombongan di hati dan perbuatan dosa yang dilakukannya.
Yasir Qadhi percaya bahwa hanya dengan keberanian memulai dialog, seluruh sekte dan mazhab yang ada dalam Islam dapat maju bersama. Islam yang diajarkan melalui Alquran dan Rasulullah tidak pernah memaksakan keyakinan apalagi dengan kekerasan fisik.
Ketika secara spesifik berbicara tentang Syiah, Yasir Qadhi tegas menyatakan, “Saya seorang suni yang taat, yang belajar dan mengajarkan tentang akidah suni. Saya bisa saja tidak sependapat dengan akidah Syiah, tapi saya tidak akan pernah mengizinkan suni manapun untuk menyerang secara fisik seorang pengikut Syiah atau meledakkan masjid dan makam Syiah. Sekuat apapun akidah saya, saya menentang siapapun yang memaksakan akidahnya terhadap orang lain baik dengan tongkat, pedang, ataupun bom.”
Yakini apa yang ingin Anda yakini; bantahlah apa yang ingin Anda bantah, tapi biarkan orang lain meyakini apa yang mereka yakini.
Setelah belajar dari kekeliruannya, Yasir Qadhi mengatakan bahwa para pendakwah, ulama, ayatullah dari seluruh kelompok harus mengerti bahwa ada waktu, tempat, pendengar, bahasa, dan metodologi yang tepat ketika membahas tema-tema yang kontroversial. Bisa jadi para penceramah tidak bermaksud menyebarkan kebencian, tapi dengan menggeneralisasi, para pengikut dan pendengar bisa terpengaruh untuk melakukan tindakan kekerasan.
Yasir Qadhi bercerita bahwa tulisan dan ceramahnya yang berapi-api dan penuh fitnahan masih terus menghantuinya sampai saat ini. Dia mengatakan, “Saya masih bisa memaklumi bahwa saat itu saya masih sangat muda, sekitar dua puluh tahunan. Tapi hal itu tetap tidak bisa mengubah kenyataan bahwa saya telah berbuat kekeliruan.”
Islam memerintahkan kita untuk bekerja sama dengan siapapun, dari mazhab dan kelompok manapun, selama berhubungan dengan hal-hal yang positif, seperti kebenaran dan ketakwaan. Hanya karena kita bekerja sama dengan kelompok yang berbeda dalam satu area, bukan berarti kita harus bekerja sama di seluruh area yang ada.
Figur yang bisa dijadikan pemersatu antara suni dengan Syiah, menurut Yasir Qadhi, adalah Ali bin Abi Thalib. Ketika menjabat sebagai khalifah, Ali memerintahkan Ibnu Abbas untuk berdialog dan meyakinkan kelompok Khawarij bahwa mereka keliru. Selesai berdialog, sepertiga dari kelompok Khawarij kembali menjadi pengikut Ali. Apa yang dikatakan Imam Ali kepada dua pertiga yang lain? “Jika kalian tetap dengan akidah kalian, kami tidak punya hak lagi. Selama kalian tidak mengganggu kami, kami tidak akan mengganggu kalian.”
Yasir Qadhi mengatakan, apapun kelompok dan mazhab yang diyakini, jalanilah sebuah golden rule yang pernah disampaikan oleh Yesus dan Nabi Muhammad saw. yaitu perlakukan orang lain sebagaimana kalian ingin orang lain memperlakukan kalian.
--------------------------------------------------------------------------------------------
Ulama Bukan Psikiater Atau Terapis – Yasir Qadhi
https://nakindonesia.wordpress.com/2018/06/10/ulama-bukan-psikiater-atau-terapis/
Ternyata saya keliru. Sangat keliru.
Depresi adalah sesuatu yang nyata. Memang keyakinan, keluarga, teman, dan banyak factor lainnya bisa menolong, namun kesemuanya ini bukanlah garansi bahwa depresi itu tidak ada.
Mereka yang mengkhususkan diri di dalam studi Islam pada dasarnya selalu di rujuk oleh umat untuk menyelesaikan setiap masalah. Namun yang bertanya dan yang ditanya, keduanya harus memahami bidang keahlian mereka.
Saya telah berguru selama 10 tahun pada salah satu sekolah agama yang tergolong paling keras di dunia. Telah saya pelajari berbagai ilmu dan telah saya baca ratusan buku. Tidak sekalipun topik konseling dibahas (saya tidak menyarankan setiap sekolah agama untuk membahasnya, meskipun akan sangat bagus jika bisa demikian).
Keadaan standarnya adalah, seorang ulama ditanyai dengan pertanyaan yang menyangkut aspek hukum atau agama. Tanyakan kepadanya ayat, hadis, atau aturan fikih yang tidak Anda pahami.
Namun, dan saya katakan ini dengan lantang dan jelas, rerata Syekh tidak memenuhi syarat untuk menjadi konselor keluarga, penasehat perkawinan, atau psikiater yang dapat membantu Anda menangani gangguan obsesif kompulsif (Obsessive Compulsive Disorder), depresi, trauma mental, pelecehan seksual, ketergantungan obat, atau pengidap masalah lain yang belum terbiasa mereka tangani. (Jelas saja beberapa dari mereka telah mengambil pelatihan lain paska sekolah agamanya – tapi saya tidak bicara tentang kelompok ini).
Jika Anda butuh pertolongan, silahkan datang kepada mereka yang ahli. Tentu insya Allah keluarga, teman, Syekh di lingkungan Anda, dan sebagainya bisa menjadi mekanisme pendukung sekunder dalam beberapa hal (kembali, ini ditinjau kasus per kasus), namun sadarilah orang pertama yang harus Anda temui jika Anda menghadapi depresi adalah serang terapis ahli, bukan seseorang dengan bacaan Qur’an yang indah atau seseorang yang bisa memberi kuliah akademik yang menarik tentang Islam.
Qur’an mengatakan kepada kita:
“Sesungguhnya bersama kesulitan, ada kemudahan. Bersama kesulitan, ada kemudahan.” [Surat Al-Insyirah, ayat 5-6]
“Dan jangan bunuh dirimu sendiri, karena sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.” [Surat An-Nisa, ayat 29].
Semoga Allah menolong kita untuk mengatasi masalah kita, dan mengampuni semua kesalahan dan dosa kita.
---------------------------------------------------------------------------------------------
Mesin Cetak Dan Kemunduran Umat Islam – Yasir Qadhi
https://nakindonesia.wordpress.com/2018/06/03/mesin-cetak-dan-kemunduran-umat-islam/
Sebagaimana yang kita tahu Muslim pernah berjaya di zaman dahulu kala, mulai dari jaman kepemimpinan awal para sahabat yang membuka Persia dan Al Quds, terbukanya Konstantinopel dan perluasan wilayah ke daerah lain, dan juga banyak sekali para ahli ilmu yang lahir di era keemasan Islam.
Tapi era keemasan itu hanya berlangsung sampai sekitar tahun 1500-an Masehi saja, di tahun 1600-an ke atas maka dimulailah era kejatuhan peradaban Islam dan kebangkitan negara barat. Hingga akhirnya pada saat kita sekarang Islam justru terkesan identik dengan ketinggalan jaman dan ketidakmakmuran.
Apa yang salah? Kenapa kejayaan itu hilang? Kenapa di sekitar tahun 1500-an tersebut umat Islam mengalami kemunduran dan Barat justru mengalami kebangkitan? Sheikh Yasir Qadhi dalam kajiannya kali ini membahas salah satu penyebabnya dari ‘kacamata duniawi’.
Dan salah satu penyebabnya adalah karena Muslim kala itu menolak beradaptasi dengan modernitas, yakni tepatnya ketika mereka menolak mengimplementasikan teknologi percetakan.
Kertas sendiri awalnya berasal dari negeri China, tapi di China sendiri kertas tidaklah diproduksi secara masal kala itu. Hanya kalangan tertentu saja yang memiliki ilmu untuk membuat kertas dan juga memiliki kertas.
Sekitar tahun 751 masehi (abad pertama kalender hijriah) terjadi perang Talas di bawah kekhalifahan dinasti Abbasiah, yakni perang antara Muslim dengan sekelompok kecil bangsa China. Ada beberapa tawanan perang dari musuh yang kemudian dibebaskan dengan syarat harus mau mengajarkan teknologi pembuatan kertas.
Maka sejak saat itulah umat muslim mulai menggunakan kertas untuk keperluan birokrasi dan juga ilmu yang kemudian umat muslim pulalah yang memproduksi kertas secara masal pertama kali.
Sebelumnya umat muslim hanya menggunakan daun lontar, kulit unta dan juga daun kurma saja untuk mendokumentasikan sesuatu yang memiliki banyak kelemahan, yakni material tersebut mudah terurai dan memiliki volume yang besar jika dokumennya banyak (jika ditumpuk).
Karena beredarnya kertas yang volumenya relatif kecil dan lebih tahan lama itulah yang menyebabkan ilmu mulai tersebar di kalangan umat muslim dengan lebih mudah.
Kertas yang ditumpuk dan kemudian di-bundle seperti buku yang sering kita lihat seperti sekarang awalnya dilakukan oleh umat muslim. Inilah yang membuat umat muslim maju, Sedangkan di Eropa saat itu belum mengenal kertas dan dari segi ilmu jauh tertinggal dari muslim.
Sampai akhirnya terjadilah perang Salib pertama dan orang-orang Eropa mulai melihat kegunaan kertas dan menawan muslim untuk mengajarkan mereka membuat kertas.
Singkat cerita, orang-orang Eropa kemudian mengembangkan kertas ini dan mereka kemudian membuat mesin cetak, sehingga jika sebuah dokumen ingin diperbanyak maka tidak perlu lagi ditulis manual dengan tangan. Hal inilah yang membuat penyebaran ilmu di Eropa mulai meningkat pesat, mungkin yang sering kita dengar ilmuwan seperti Newton dan Galileo lahir setelah tahun 1500-an Masehi tadi.
Bangsa Eropa kemudian menyebarkan teknologi mesin cetak di setiap wilayah jajahannya, sampai sampai mesin cetak itu mereka implementasikan dan dirikan di daerah terpencil karena pentingnya penyebarluasan ilmu ini. Bayangkan, di awal tahun 1800-an, daerah kecil seperti Hawai, Tahiti juga Meksiko sudah memiliki mesin cetak, Lalu apa yang terjadi di pusat peradaban Islam di Damaskus dan Kairo? Tetap masih ditulis dengan tangan.
Pertanyaannya kenapa peradaban Islam saat itu menolak menggunakan teknologi mesin cetak ini ya dan tetap kekeuh mau tulis tangan? Menurut Yasir Qadhi ada dua alasan utamanya:
1. Karena itu adalah teknologi orang kafir
2. Ada kekhawatiran ilmu tersebar secara tidak terkontrol dan tidak dipertanggung jawabkan
Alasan nomer 2 maksudnya begini. Pada zaman itu, ilmu diturunkan dengan jalur Ijazah. Jalur Ijazah itu maksudnya begini. Jika seseorang ingin mempelajari kitab sahih Bukhari maka orang tersebut harus datang ke gurunya. Kemudian sang guru akan mengajarkan ilmunya dan orang tersebut akan menulis ulang kitab tersebut. Diturunkan satu jalur seperti itu sehingga kualitas ilmu tetap terjaga. Maka ada kekhawatiran dari ulama saat itu jika ada mesin cetak maka semua orang akan pegang kitab dan menginterpretasikan sendiri sendiri.
Lalu kapan mesin cetak mulai ke dunia Islam? Yakni ketika Napoleon Bonaparte menjajah Mesir sekitar tahun 1800-an dan meninggalkan mesin cetak. Bahkan kata Yasir Qadhi, Al Quran pertama hasil cetakan itu pertama kali dibuat oleh orang non muslim.
Lalu apa hikmah yang bisa diambil dari sini? Kalau menurut Sheikh Yasir Qadhi kita butuh para ulama yang tidak hanya menguasai Ilmu Islam tapi juga ulama yang tidak narrow minded.
Mungkin kalau kita sekarang merasa lucu kalau ulama jaman itu tidak mengizinkan penggunaan mesin cetak, tapi kalau kita bawa ke zaman sekarang misalnya seperti ini
Apa jadinya jika sekarang khutbah jumat dilengkapi dengan layar proyektor? Sehingga jemaah salat Jumat bisa melihat materi yang disampaikan penceramahnya?
Tentu banyak yang akan teriak, “Bidah bidah ini bidah.”
Padahal di zaman sekarang ilmu sudah mulai lumrah dikonsumsi dalam bentuk tayangan. Dan jika ada tayangan maka penyampaian materi akan lebih baik. Maka menurut Yasir Qadhi disinilah perlunya antara ilmu dan modernitas.
Rasulullah shalallahu alaihi wassalam sendiri tidak anti dengan perubahan, sebagaimana yang mungkin kita tahu, setelah perang Badr, Rasulullah perintahkan kepada tawanan dari suku Quraish untuk mengajarkan membaca dan menulis kepada umat Islam, karena pada saat itu kemampuan tersebut sedikit sekali dimiliki di tanah Hijaz.
Adapula kisah ketika Rasulullah menerima dan menerapkan usulan Salman Al Farisi untuk membangun parit ketika perang Khandaq, padahal ‘teknologi’ itu gak pernah dilihat sebelumnya, hanya ada di Persia.
Atau kisah cincin stempel Rasulullah. Di mana ketika ingin mengirim surat kepada raja Persia dan Romawi, surat tersebut ‘kode tiknya’ harus dibubuhi dengan stempel. Dan Rasulullah pun menerima usulan tersebut.
SKU | NA-158 |
ISBN | 978-602-385-680-0 |
Berat | 220 Gram |
Dimensi (P/L/T) | 14 Cm / 21 Cm/ 0 Cm |
Halaman | 240 |
Jenis Cover | Soft Cover |